"Sri, umurmu wis piro?"
"Selikur, Mbok. Napa to nanyain umur?"
"Apa gak malu, itu koncomu wis mbojo kabeh," kata si mbok sambil memetik sayur di kebun.
"Apalagi yang kurang karo Madi, wes ganteng, mapan. Kamu kudu nerima, melas sudah bolak-balik nembung statusmu," sambungnya si mbok.
"Tapi, kan. Mas Madi duda to bu."
"Terus apa yang bisa diarepi karo Heri? Mangkat gak tau bali, di arepi," celetuk si mbok.
Sri mencelos hatinya, bila mengingat Heri. Ia pernah menjanjikan akan menikahinya, namun sampe sekarang Heri belum juga pulang dari perantauan ke kampung halaman.
Kala itu Heri pernah berjanji pada Sri, "Jangan khawatir, Sri. Aku mesti bali. Aku kudu golet duit, buat nikah kita nanti."
Saat itu Sri hanya berlinang air mata, ia tak sanggup berpisah dengan tambatan hatinya. Sebenarnya biar hidup pas-pasan di desa, asal bisa bersama dengan kekasih itu sudah cukup.
"Tapi, Mbok. Mas Madi 'kan duda, pasti dulunya ama bojone ra setia." Sri menunduk meratapi nasibnya.
"Oalah, cah ayu, cah ayu. Maune kue sing gak setia Mirah, bojone Madi sing kepincut anake Lurah. Merga lewih sugih, Mirah milih pegat karo Madi terus mbojo karo anake Lurah," terang si mbok.
"Wes, sana anter sayuran ke warungnya Madi," sambung si mbok menyuruh Sri menitipkan sayur hasil panen kebun agar terjual di warungnya Madi.
"Moh, tar ketemu Mas Madi," gerutu Sri.
"Eh, jangan salah. Madi kuwi gak pernah di rumah kalau siang. Dia itu ada di kota jaga toko matrialnya."
"Ooh gitu, sugih ya Mas Madi," kata Sri sedikit mencibir.
"Baru tau kamu," jawab si mbok.
"Iya, tapi sayang. Isih kalah karo anake Lurah," jawab Sri dan segera pergi, takut di sambit dengan sayuran oleh si mbok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sri Manut Mbojo (TAMAT)
General Fictionsri bingung antara mau mengikuti kemauan si mbok. apa milih pergi dengan kekasihnya.