Jam dinding menunjukkan pukul empat pagi tatkala pintu rumah terbuka dari luar. Ruang tamu yang gelap menyambut seorang perempuan yang berjalan sempoyongan sembari bergumam tidak jelas.
Klik!
Lampu menerangi seisi ruangan yang cukup besar itu. Terdengar suara dua orang tertawa-tawa dari kamar yang berada di lantai satu.
Dengan pandangan buram, Kayra berjalan lunglai menghampiri sumber suara. Walaupun di bawah pengaruh alkohol, Kayra yakin ia tidak salah dengar. Suara itu berasal dari kamar ibu tirinya. Telinga Kayra menempel pada daun pintu, tangannya menakan gagang lalu mendorong pintu itu sedikit agar bisa mengintip.
Benar saja, yang dilihat dan didengarnya nyata. Ibunya sedang bersama pria lain. Berdua, dalam kamar yang hanya diterangi lampu tidur. Tangan Kayra terkepal kuat. Ada emosi yang membuncah dari dalam dirinya. Rasanya ia ingin mendobrak pintu dan mengusir kedua manusia itu dari rumah ini. Tapi apa daya, Kayra tidak punya kuasa, apalagi tubuhnya mulai lemas. Ia hanya ingin segera merebahkan diri dan menghilang dari dunia yang kejam.
Pada akhirnya, Kayra hanya bisa diam dan menaiki anak tangga menuju kamarnya. Di dalam kamar, dia menangis. Ingin rasanya langsung tidur, tapi hatinya terlalu lelah menyimpan kepedihan.
Tolong, malam ini saja. Ia mengkaui kerapuhan diri yang sudah lama menggerogoti relung hatinya. Kali ini saja, biarkan Kayra bergemul pada selimut lalu menangis dalam kehampaan yang mengikat kehidupannya.
Kayra menjerit dalam sedu sedan takdir yang harus ia terima. Dadanya sesak. Otaknya hampir pecah. Dia hanya bisa menangis.
"Allahu Akbar. Allahu Akbar."
Kumandang adzan subuh menyapa telinganya. Ada sedikit ketenangan menelisik batin Kay. Tanpa sadar, Kayra melepas selimut lantas beranjak dari kasur. Dia membuka jedela, menikmati semilir angin membelai air matanya. Di bawah sana, sebagian kecil tetangganya sudah berpakaian rapi hendak ke masjid. Jika saja masih ada almarhumah ibunya, pasti Kayra sudah disiram kalau tidak salat subuh.
Mata Kayra tertutup, khidmat mendengar lantunan panggilan Allah kepada hamba-Nya. Walaupun tidak mengerti artinya, tapi Kayra tahu, ada yang berkata jika 'semua baik-baik saja'. Ia membayangkan dirinya mengambil wudhu, memakai mukena, lantas salat subuh seperti sebagian kecil orang di bawah sana.
Kayra menertawakan diri. Mana mungkin seorang pendosa sepertinya masih bisa menghadap Allah. Punya muka apa gue. Ketika pikiran itu menggelitik batin, perut Kayra mulai bereaksi terhadap alkohol yang ia minum semalam.
Ia muntah-muntah.
***
Sudah beberapa hari berlalu, namun perkataan Kayra setia bercokol dalam pikiran Alma. 'Kita bertiga udah keluar mentoring. Berhenti ajak kita. Kak Sani udah remove kita dari grup'. Kenapa sikap Kay menjadi persis yang dipikirkan orang-orang? Atau memang seperti itulah aslinya? Alma sajakah yang terlalu polos dan terlalu husnudzon? Apalagi, Alma juga tahu kalau Kak Sani akan diminta pertanggung jawaban yang berat perihal binaannya yang menyatakan keluar.
"Alma!" Suara seorang lelaki menyentakkan Alma dari renungannya.
Dia mencari-cari siapa yang memanggilnya. Sebuah lambaian tangan dari seseorang memberhentikan pandangan matanya.
"Bang Rifa?" Alma mengerutkan kening.
Lelaki yang memakai kacamata itu berlari kecil menghampiri Alma di depan gedung FBS. "Assalamu'alaykum," sapanya.
"Wa'alaykumussalam."
"Begini, saya butuh kamera untuk video Mawapres. Rencananya sih mau dipakai hari Rabu. Apa kameramu bisa saya pinjam?"
YOU ARE READING
Hijrah Kayra
SpiritualYang sebenar-benarnya cinta, hanya yang mendekatkan kita kepada Yang Maha Cinta. A story by itsfiyawn, 2018