Reasons

242 66 19
                                    

Pasca perseteruan beberapa menit lalu, semua mendadak mogok bicara.
Rasanya percuma, karena mau bicara baik baik pun nggak akan berhasil kalau keenamnya nggak mau membuka hati.

Sebenarnya bukan keinginan mereka untuk membuat keributan, tapi mengingat mereka yang harusnya bersantai di rumah atau bahkan liburan di hari Sabtu malah harus repot repot menjalani detensi, membuat keenam murid itu rasanya mau marah marah aja.

Mereka duduk di kursi masing-masing. Ada Hanif yang seenaknya meletakkan kakinya di atas meja, Saga yang kini melakukan push up, Arka yang menatap langit langit ruang detensi dengan kepala yang menyandar pada kepala kursi, Sadira yang mati matian berusaha menahan kepalanya agar tidak jatuh akibat mengantuk, lalu Yuriko yang berkali kali merapihkan rambutnya padahal nggak berantakan sama sekali, terakhir Sandra yang dari awal selalu duduk tegap dengan kedua tangan di pahanya dan menatap lurus dinding ruang detensi.

Saga bangun, menyudahi kegiatannya. Dilihatnya lima lainnya yang bener bener kayak nggak punya semangat hidup, ia masih nggak bisa terima kenyataan bahwa harus satu ruangan dengan orang orang aneh seperti mereka. Yang satu barbar, yang satu sombong, sisanya nggak jelas bentuknya.

Nggak lama, pak Sugiono memasuki ruang detensi, dengan beberapa kertas di tangannya beliau menghampiri keenam muridnya.

"Gimana gimana? Udah pada sahabatan belom nih? Apa udah ada yang jatuh cinta?" Tanyanya antusias.

Mendengar itu, Sadira memutar bola matanya malas. Boro-boro sahabatan, ngobrol aja nggak ada minat, apalagi jatuh cinta, nggak pernah kepikiran sama sekali.

"Ini lagi gerakan anti bapak apa gimana nih? Diem diem bae hahahahah," Lanjut beliau, mencoba mencairkan suasana yang tensinya sedang naik itu.

Karena nggak mendapat respon, pak Sugiono pun mengubah ekspresi wajahnya menjadi sok tegas, sebelum menyampaikan apa yang ingin dikatakan, beliau berdehem.

"Bikin essay tentang kesalahan yang kalian perbuat, permintaan maaf, sama resolusi ke depannya. Satu kertas harus penuh, saya nggak mau tahu!" Titahnya sambil membagikan kertas.

Lantas keenamnya hanya bisa mendengus pasrah, nggak ada yang bisa dilakukan selain menuruti perintah guru konseling mereka.

"Kalian dengar saya nggak?!"

"IYAA PAKK!" Jawab mereka bersamaan.

"Cakep, saya tinggal dulu, kalo selama sejam essay nya belom kelar, waktu detensi kalian akan saya tambah jadi sebulan!" Seru pak Sugiono yang selanjutnya membuat keenamnya bergidik ngeri, "iya apa iya?!" Lanjut beliau.

"IYAAA BAPAAA!"

"Hahahaha!!!" Selanjutnya pria berkepala tiga itu pun beranjak ke luar ruangan dengan senyum puas.

Ketika yang lain kepusingan tentang apa yang akan mereka tulis atau nggak ada niat untuk berpikir, satu satunya yang langsung melakukan perintah guru konseling mereka hanyalah Sandra.

Kelimanya tahu gadis itu adalah langganan juara olimpiade dan kebanggaan sekolah, tapi apa sih yang dilakukan murid teladan di ruang detensi yang harusnya berisi manusia manusia langganan melanggar aturan?

Sekiranya itulah yang memenuhi kepala Saga sejak tadi, untuk kasus Hanif ia nggak heran kenapa pria bar-bar itu berada di sini.

Tapi ayolah, ini Sandra, kemungkinan apa yang bisa membuat gadis itu dihukum? Mendapat nilai jelek di satu pelajaran? Mana mungkin. Melawan guru? Lebih nggak mungkin.

Oh sebentar, untuk apa dirinya memikirikan si gadis egois itu?

"Saga, gua nyontek dong," Bisik Hanif tiba-tiba.

The Breakfast Club - 99 linersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang