Part 2

2 3 0
                                    

Suara senjata tajam yang mengeluarkan pelurunya menggema di telingaku. Aku berlari, mencari tempat yang lebih aman. Sendirian, terus berlari. Dari kejauhan aku melihat seorang anak kecil yang menangis.

Dia terlihat bingung, ketakutan, dan sedih....sepertiku.  Matanya yang terlihat kosong membuatku  simpati karena aku merasakan apa yang ia rasakan.  Aku hampiri dia, dengan suara lantang aku mengajaknya untuk berlindung supaya tidak terkena peluru yang ditembakkan oleh para tentara.

"Hei! Namamu siapa? " Tanyaku, tapi ia tak menjawab.

Aku bingung apa yang sebaiknya aku lakukan? Aku juga seorang anak kecil yang berada di tengah pertempuran antar negara dan sudah kehilangan kedua orang tuaku. Tanpa kusadari aku menggendong anak tersebut dan berlari sekencang tenaga. Dia bergetar dalam pelukanku, aku pun berkata,

"tak usah takut dik, kakak akan melindungimu." dengan nada lembut

Sepertinya kata - kataku berhasil membuatnya lebih tenang. Dia tak lagi bergetar, sayangnya kita masih jauh dengan tempat evakuasi, sehingga kita pergi ke rumah kosong untuk berlindung. Aku bertanya padanya untuk kedua kali dengan nada suara lembut.

"hai, nama kamu siapa dik? "

" na..maku Fimala kak. Kak, mama papa dimana kak? " tanyanya terlihat ingin menangis.

" udah..udahh.. Jangan nangis yaa.. Nanti kita cari mama sama papa kamu. Tapi sekarang kita pergi dulu ke tempat evakuasi ya. " jawabku dengan lembut. Ia hanya mengangguk.

.

Sudah sekitar 2 jam kita berlari lalu mencari tempat berlindung dan sepertinya tempat evakuasi masih jauh, kakiku sudah mulai lelah namun aku tetap berlari menghindar peluru yang ditembakkan ke arah kita.

" kak..kakak kenapa? " tanya Fimala

" Nggak kok dek! Kakak gak kenapa - kenapa. " kataku dengan semangat supaya dia tidak khawatir.

Saat berlari aku melihat seorang tentara yang seolah - olah ingin memanduku ke tempat evakuasi dengan lebih cepat.

" Hey! Come here! Hurry! Before you get shot! "

" Is that you Enny?!" teriakku

"Yes! Come! Hurry!" jawabnya

Setelah mendengarnya berkata begitu, akupun lari sekencang mungkin dengan sisa tenagaku ini.
Begitu kencang, sampai aku mendengar suara peluru yang sangat kencang.

DOR!

Suara itu lebih kencang dari yang biasa aku dengar. Aku tak mampu melihat belakang. Aku tersandung, kita jatuh seketika Filma tersenyum saat melihatku.

BOM!

Suara bom yang ditembakkan ke arah kita meledak.

"Filma? Filma? Filma tolong jawab kakak. Filma?" Kenyataan memang menyakitkan, tentu saja Filma tak menjawab. Enny perlahan - lahan menarikku, menjauh dari peluru yang baru saja ditembakkan. Aku tidak dapat menerima kenyataan bahwa anak yang lebih muda dariku harus meninggal lebih dulu.
Saat aku mulai menjauh samar - samar aku mendengar Filma berkata

"terimakasih kak sudah menjagaku. "
Air mataku tak dapat ditampung lagi, satu tetes terjatuh dan diikuti dengan yang lain. Enny hanya dapat memelukku yang menangis histeris di dalam pelukannya.

" I'm sorry Yanda. I'm sorry" ucap Enny yang menyesal setelah melihat Filma yang sudah tak lagi bernyawa.

"Why? Why? Why did they shot her? Why Enny? Why?! " tanyaku yang masih menangis.

" I'm really sorry Yanda. I did not know they'll do such a thing. " Enny sudah tak dapat berkata - kata lagi.

Dengan keadaan sedih, shock, dan marah Enny menggendongku pergi menjauh dari tempat itu dan mencari tempat evakuasi.

Saat berjalan Enny berkata padaku,

" I'm really really sorry Yanda,  I became a soldier not because i want to, but my parents force me to do this." ceritanya secara singkat.

Aku tak dapat berkata, air mataku sudah menjelaskan semuanya.

SurvivorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang