Rivan duduk di kursi kerjanya yang berada di perusahaan konveksi miliknya. Bukan miliknya sebenarnya. Itu adalah perusahaan milik orangtuanya yang kini diwariskan padanya.
Wajah Rivan terlihat lelah. Namun, dia tetap memaksakan diri untuk melihat semua laporan dari karyawannya. Baru saja Rivan mau membaca dokumen baru, pintu ruangannya tiba-tiba terbuka. Dan tanpa menatap pun Rivan tahu itu siapa. Apalagi saat mendengar suara indah itu mengalunkan sebuah salam saat masuk ke ruangannya.
"Assalamu'alaikum." Rivan tersenyum dan menatap wanita paruh baya yang sudah berjuang diantara hidup dan mati untuk melahirkannya ke dunia ini dengan tatapan lembut.
"Wa'alaikumsalam, Bu," balas Rivan. Dia bangkit berdiri dan menghampiri ibunya. Dengan hormat dan sopan, dia mencium punggung tangan ibunya.
"Ibu ganggu kamu, nggak?" tanya ibu Rivan yang bernama Mira. Tubuhnya yang lebih pendek dari tubuh Rivan membuat Mira harus mendongak untuk menatap anak sulungnya.
"Nggak kok, Bu. Ayo duduk, Bu," jawab Rivan. Dia mengajak ibunya untuk duduk di sofa panjang yang lembut dan nyaman yang ada di ruangannya.
"Ada apa Ibu kemari?" tanya Rivan langsung. Mira merenggut tak suka mendengar pertanyaan anak sulungnya barusan.
"Jangan pura-pura bodoh ya Rivan. Kamu pasti ingat perkataan Mama enam bulan yang lalu," jawab Mira. Dia meraih pipi Rivan dan mencubitnya dengan gemas. Rivan meringis kesakitan karena cubitan ibunya.
"Iya, Bu," balas Rivan dengan sebal. Dia mengusap pipinya yang memerah dan terasa sakit.
"Jadi, bagaimana dengan Vira?" tanya Mira.
"Nggak, Bu. Vira tidak berjilbab," jawab Rivan. Mira terdiam sesaat mendengarnya. Mira memang sudah mengenalkan beberapa wanita pada Rivan dengan harapan Rivan mau menerima salah satu wanita pilihannya untuk dijadikan istri. Tetapi, alasan Rivan barusan masuk akal.
"Neni?"
"Dia sering lupanya Bu. Saat bertemu untuk kedua kalinya dia malah lupa aku siapa," jawab Rivan lagi dengan perasaan kesal.
"Gita?"
"Dia tidak bisa memasak, Bu. Bukan tipe yang aku mau."
"Kinan?"
"Dia wanita karir dan tak mau melepas karirnya."
"Lalu bagaimana dengan Lena? Dia baik, pintar masak, mudah ingat dan susah lupa, cantik, solehah, bukan wanita karir dan berjilbab," ucap Mira dengan gemas. Kesal juga dengan alasan-alasan Rivan.
"Nggak, Bu," balas Rivan lagi.
"Kenapa lagi Rivan?"
"Lena seorang janda, Bu," jawab Rivan dengan entengnya.
"Apa salahnya jika Lena seorang janda?"
"Ya rugi aku dong Bu. Aku masih perjaka. Masa nikah sama janda. Gak enak dong," jawab Rivan dengan kurang ajarnya. Mira langsung menyentil kening dan kuping Rivan setelah mendengar jawaban Rivan barusan.
"Awas saja kamu Rivan. Nanti saat Ibu sudah menemukan wanita yang cocok menurut Ibu, mau tidak mau kamu harus menikahinya. Malu tahu kalau Ibu punya anak yang sudah dilangkahi menikah dua kali oleh adiknya," ucap Mira mengancam. Setelah itu Mira bangkit berdiri dan berjalan keluar dari ruangan Rivan. Sedangkan Rivan menghela nafas pelan. Semoga saja jodohnya sesuai dengan kriterianya.
***
Zahra duduk di kelas bersama dengan tiga temannya. Di antara mereka, hanya Zahra yang berpakaian tertutup. Rok dan kemeja sekolah panjang juga memakai kerudung.
"Ra, kamu mau masuk jurusan apa saat kuliah nanti?" tanya Ranti yang merupakan sekretaris di kelas Zahra.
"Entah. Aku belum memikirkannya," jawab Zahra dengan suara lembut dan senyuman manis. Sikapnya yang lembut membuat Zahra disukai teman-temannya. Walaupun berpenampilan berbeda dengan yang lain, Zahra tidak merasa minder dan malu.
"Kalau kau, Yu?" tanya Ranti pada temannya yang lain.
"Aku sih maunya masuk jurusan kedokteran. Tapi, Papa mau aku masuk jurusan manejemen," jawab Ayu dengan wajah lesu.
"Kalau kau, Jen?" Gadis bernama Jena itu menggeleng pelan.
"Apa aja terserah nanti. Aku mau cari senior yang ganteng dulu. Lalu stalker dia dan cari tahu dia masuk jurusan apa. Dan aku akan mengikutinya," jawab Jena. Ranti menepuk keningnya sendiri mendengar jawaban ngawur dari temannya itu.
"Ada-ada saja kau," balas Ayu. Saat mereka sedang asik bercanda dan mengobrol, tiba-tiba dua orang gadis datang menghampiri mereka berempat. Wajah Ranti, Ayu dan Jena langsung berubah sinis. Sedangkan Zahra hanya menundukkan kepala.
"Lagi ngapain nih?" tanya salah seorang gadis berambut hitam sebahu.
"Biasalah tukang gosip. Pasti lagi gosipin gue," ucap gadis yang berambut hitam dicat merah di beberapa sisi.
"Jangan kegeeran deh lo. Gak sudi gue ngomongin lo. Lihat wajah lo aja gue udah jijik," ucap Jena dengan berani. Dia juga menampilkan wajah jijik seolah-olah sedang melihat kotoran. Sedangkan Ranti dan Ayu tergelak karena ucapan Jena barusan.
"Eh, tutup mulut lo semua!" Gadis berambut hitam yang bernama Maira membentak marah pada ketiganya. Tiara, gadis yang rambutnya di cat merah juga marah. Namun, pandangannya tak lepas dari Zahra yang hanya diam dan menunduk. Di tangan Tiara ada segelas jus jeruk yang mungkin dia beli dari kantin.
"Udahlah Mai. Maling gak akan ngaku," ucap Tiara berusaha bersikap santai. Dia berjalan mendekati Zahra namun Ranti menghalanginya.
"Jangan dekati Zahra," peringat Ranti dengan sorot mata tajam. Tapi, Tiara tidak takut.
"Oh, sekarang si anak babu itu punya pengawal? Hebat juga. Dari mana lo dapat uang untuk bayar mereka hah? Ah, pasti lo ngambil dari dompet Papa," ucap Tiara dengan songongnya. Tatapannya tak lepas dari Zahra yang setia menundukkan kepalanya.
"Gue ke sini dengan niat baik kok. Tadi gue beli jus jeruknya kebanyakan. Makanya dengan baik hati gue mau kasih jus jeruk ini buat si Zahra," ucap Tiara. Dengan cepat, tangannya menumpahkan jus jeruk yang dia bawa ke atas kepala Zahra hingga kerudung dan baju Zahra basah kuyup. Ranti, Ayu dan Jena terkejut melihat perlakuan kejam Tiara.
"Dasar nenek lampir lo!" Jena berteriak marah dan langsung mendorong tubuh Tiara dengan kuat hingga Tiara jatuh terduduk. Ayu terlihat sedang menahan Maira yang hampir menampar Jena. Sedangkan Ranti mendekati Zahra yang terlihat syok.
"Ra, kamu baik-baik saja kan?" tanya Ranti. Dengan kaku, Zahra mengangguk. Tiara dan Maira mengamuk membuat suasana kelas yang semula tenang menjadi ricuh. Para siswi yang menyaksikan terlihat bingung mau apa. Sedangkan para siswa berusaha melerai.
Tak lama kemudian, seorang guru laki-laki datang membuat Tiara dan Maira terdiam. Guru laki-laki bernama Andra itu menatap Zahra yang kerudungnya basah. Dan dia sudah tahu apa yang terjadi disini.
"Tiara, Maira, ke ruangan Bapak sekarang juga," ucap Andra dengan suara tegas tak terbantahkan. Dua gadis sombong itu terlihat kesal dan keluar dari kelas Zahra.
"Zahra, kamu baik-baik saja?" tanya Andra. Zahra mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Sekarang, kamu keringkan baju dan kerudungmu. Setelah itu, datanglah ke ruangan Bu Fitri. Nanti Bapak ke sana," ucap Andra. Zahra kembali mengangguk tanpa suara. Andra pun pergi untuk segera menyusul Tiara dan Maira yang keterlaluan. Sedangkan Zahra sedang dihibur oleh tiga temannya.
"Ayo Ra, kita keringkan bajumu," ajak Ayu. Zahra mengangguk pelan. Ranti, Ayu dan Jena pun mengantar Zahra. Kelas kembali tenang setelah Tiara dan Maira pergi.
Andra yang belum sampai ke ruangannya dapat melihat Zahra dan yang lainnya sedang berjalan menuju halaman belakang. Helaan nafas terdengar darinya. Hatinya pun mengatakan sesuatu dan berharap hal itu bisa membantu Zahra.
'Mungkin, Zahra pantas untuk menjadi istri Kak Rivan.'
__________________________________
Bagaimana???
Jangan lupa vote dan komennya ya...Btw, cerita ini udh aku publish di KBM dan baru sekarang aku publish di wattpad. Semoga kalian suka😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Rivan & Zahra
RomanceRivan Satria Anggara. Seorang pria berusia 29 tahun yang berstatus sebagai pemilik sekaligus ketua di sebuah perusahaan konveksi. Di usianya yang hampir menginjak kepala 3, Rivan masih belum mendapatkan seorang istri. Itu karena dia yang terlalu pil...