Aku berteriak, mencoba melampiaskan rasa sesak namun tetap saja. Rasanya sakit saat menyadari semuanya secara nyata.
Pada kumpulan awan yang menghitam sore itu, kamu masih seperti biasa. Berjalan seolah tidak akan terjadi apa-apa, deru napasmu terdengar menyesakkan jiwa. Namun, kamu masih bisa tersenyum baik-baik saja.
Pada coretan dinding di kelas hari itu, kamu dengan sengaja menulis namaku entah apa maksudnya. Namun, anehnya namaku yang kau sandingkan dengan temanmu.
"Kenapa tidak dengan namamu saja?"
Aku ingin menanyakannya, tapi kutahan dan kubiarkan detik itu berlalu dengan rasa yang tak bisa kukatakan.
Hari ini, lagi-lagi masker hitammu kau lepas. Padahal ibu sudah memperingati jika sebulir debu pun dapat menyakitimu, kau katakan padaku, "Ternyata bernapas secara langsung terasa lebih baik." Sambil tersenyum kau membuatku percaya, bahwa udara sore hari tidak akan menyakiti dirimu; lagi.
Tapi nyatanya, seminggu ini kita jarang bertemu. Dan tanpa satu kabar pun darimu, apa kau menghindariku sebab aku yang lebih sering menghabiskan waktu dengan temanmu itu? Hei bukan tanpa sebab; aku dengannya hanya berbincang soal dirimu.
Dav, jika aku katakan, "Aku sudah tidak menyukaimu." Anggap saja aku sedang berkata jujur, karena pada kenyataan rasaku masih sama sampai detik ini.
Dav, sudah kukatakan aku sudah tidak lagi menangisimu saat berbagai alat medis terpasang di tubuhmu. Bukan tanpa sebab, aku sedang mencoba untuk tidak mengeluarkan air bening itu; lagi.
Biar saja sesaknya dalam dada, asalkan kamu percaya bahwa aku sudah terbiasa jika hidup tanpamu.
Dav, selamat jalan, ya, aku akan menangis lagi jika kutulis bagaimana tersiksanya aku hidup tanpamu. Aku akan berteriak lagi jika menjabarkan bagaimana caraku kehilanganmu, katamu kau tidak ingin membuang air mataku lagi, kan?