v | ii

73 2 0
                                    
















Hari ini dengan secangkir kopi hangat menemani malamku yang dingin, dengan rintik-rintik hujan yang menjelma dalam bayangan ingatan masa lalu.

Hari itu, aku ingat benar. Saat genggaman kita terpaut dalam dekapan hangat, rintik hujan membasahi kita siang itu. Kamu terus sesenggukan dalam dekapanku, mengatakan hal-hal yang kerap kali menghunjam hingga jantungku.

“Tak apa menangis saja,” kataku hari itu. Kubiarkan kaos hitamku basah oleh air matamu.

“Sebodoh itu aku, Dav. Mencintai seseorang yang jelas hatinya bukan untukku,” ucapmu masih dengan suara bergetar.

Aku ingin mengatakan padamu, untuk berhenti berharap. Tapi, lidahku terlalu kelu mengatakannya. Sebab apa? Aku pernah berada di posisimu. Mencintai seseorang yang hatinya sudah jelas tidak menginginkanku.

“Sudah?”

Tubuhmu masih bergetar walaupun tidak lagi memperdengarkan tangis.

“Sudah lebih baik,” sahutmu pelan.

“Boleh kukatakan sesuatu, Nad?”

“Hm.”

“Bisakah berhenti berharap kepada seseorang yang tidak pasti?” Seketika ia melepaskan pelukannya dari dekapanku, menghapus sisa-sisa air matanya. “Berhenti untuk menangisi seseorang yang bahkan tidak akan pernah mengerti jika air mata itu menetes hanya karena ... dia.”

Seperti ada sesuatu yang hari itu menusuk relung terdalam hatiku, bait kata yang kuucapkan bahkan sangat berbeda dengan apa yang saat ini tengah dirapal oleh hatiku secara diam.

Aku ingin berteriak, marah, dan tentu saja kesal. Saat melihat Nadia untuk ke sekian kalinya menangisi lelaki yang jelas-jelas menolak hatinya, aku ingin memeluk Nadia. Mengatakan bahwa ada aku di sini, yang malamnya terbuang sia-sia hanya memikirkan satu nama yaitu, Nadia.

Aku ingin mendekapnya, bukan hanya sekedar penghibur semata. Tapi dengan alasan, dia milikku sepenuhnya.

Hei, bodoh! Tatap aku. Aku ini nyata, bukan dia yang hanya dapat kau dekap dalam ilusimu semata.

“Dav, terima kasih untuk hari ini. Lagi-lagi kamu melihatku di saat-saat menyedihkan seperti ini.”

Aku tak bisa berkata apa-apa lagi setelahnya, hanya mengangguk dan mencoba memahami sebagai dia yang seorang wanita.

Hari itu pula, aku membiarkanmu pergi tanpa kuhalangi seperti biasanya. Bukan karena aku bosan, hanya saja ada sesuatu yang harus kunetralkan terlebih dahulu; di sini.

Mungkin hari ini dia telah lelah dengan sendirinya menanti, namun tuannya kerap kali memaksa untuk tidak berhenti. Sebab tuannya mengerti, akan ada hari di mana jantung itu tidak akan terasa sesakit hari ini. Bahkan mungkin akan terobati, walaupun hari itu belum pasti akan terjadi.


















-merkuriusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang