Hari itu adalah hari Sabtu, dan aku sudah kelas tiga. Awalnya semua berjalan dengan biasa saja, tapi semuanya berubah ketika jamkos di pelajaran akhir dimulai.
Saat itu aku dan teman-teman sekelasku sedang bermain di koridor. Di koridor itu sangat sepi, karena hanya ada tiga kelas yang berjejer berdampingan mengiringi koridor itu.
Kelas satu dan dua sudah pulang lebih dulu jam sepuluh tadi, karena ini sudah hampir jam dua belas, itu artinya koridor kosong dan hanya dikuasai kelas tiga.
"Hei, aku bisa nerawang ada hantu di sini," celetuk Zikra bersama dengan Alka dan beberapa teman laki-laki lainnya.
Aku dan tiga teman perempuanku pun tertarik dengan apa yang Zikra katakan.
Zikra membentuk teropong dengan tangannya dan mengarahkan teropong buatan itu pada sebuah pohon besar yang ada di depan kelas kami.
"Di sana, ada hitam gede tahu. Kaya bayangan gitu," ucap Zikra meyakinkan semua anak yang ada di sekitarnya.
"Mana? Aku pengen liat juga," kata Alka penasaran.
Zikra pun menyodorkan tangan yang sudah membentuk teropong itu pada Alka. Alka melihat melalui teropong itu dengan teliti.
"Wahh, iya. Aku lihat." Semua terkejut dengan apa yang Alka katakan.
Seketika semua murid kelasku bergantian ingin melihat dari teropong Zikra juga. Kecuali aku, aku terlalu malas melakukan hal tak berguna seperti itu.
"Aku juga bisa merasakan dan mengeluarkan jin yang merasuki tubuh," tukas Zikra yang lagi-lagi membuat murid kelasku percaya.
Semua bergantian ingin diperiksa oleh Zikra. Apakah ada jin di tubuh mereka atau tidak.
"Aku duluan pokoknya. Ayo, Zik. Periksa aku ada jinnya atau tidak," ujar Delia yang sudah duduk membelakangi Zikra.
Zikra mulai memperagakan gerakan seperti dukun yang sedang memeriksa pasiennya. Telapak tangannya yang terbuka dia gerakkan di punggung Delia, tapi tidak menempel.
"Kamu merasakan panas atau dingin?" tanya Zikra pada Delia.
"Sedikit."
"Itu berarti kamu ada jinnya, cuma gak terlalu kuat. Aku bisa keluarkan." Sekali lagi Zikra melakukan aksinya dan seolah mencabut jin itu pada tubuh Delia.
"Nah, udah."
"Eh, iya loh. Berasa enteng," kata Delia seolah meyakinkan yang lain.
Kini, anak-anak perempuan berebut kembali agar diperiksa oleh Zikra. Kecuali aku. Sebenarnya aku penasaran, hanya saja ... ini cukup aneh.
"Kamu juga, Sin. Ayo, tinggal kamu." Delia berusaha merayuku, jadi aku pun ikut diperiksa oleh Zikra.
Saat pemeriksaan, aku memang merasa aneh di punggung. Seperti hangat, tapi juga ada sedikit sejuk. Kata Zikra, ini jinnya kuat. Jadi agak susah dikeluarkan.
Teman-teman perempuanku sepertinya mulai ketakutan saat Zikra berkata seperti itu. Namun, aku hanya diam dan membiarkan Zikra melakukan aksinya.
Aku pikir, punggungku sejuk itu karena ada hembusan angin, dan sedikit hangat karena ada tangan Zikra. Ya, itu hanya asumsi anak SD.
Setelah selesai, teman-teman perempuanku jadi semakin ketakutan. Sampai akhirnya mereka memutuskan pulang. Aku pun juga ikut, dan satu persatu murid kelas tiga mengikuti kepulangan kami. Padahal jam pulang sekolah masih dua puluh menit lagi.
Esoknya, aku dengar dari salah satu teman lelakiku, kalau kemarin ada guru yang bertanya kenapa kelas tiga pulang. Namun, dia hanya bilang tidak tahu. Padahal dia sekelas dengan kami, dan setelah itu dia ikut pulang juga.
*****
Siang itu, seperti biasa aku, Fitra, dan Alka pulang sekolah bersama. Bukan cuma kami bertiga, ada Mila dan Jaya juga.
"Wah, ada kucing. Itu punyamu, La?" tanyaku pada Mila ketika kulihat anak kucing di samping rumahnya.
"Iya, mau liat?"
Aku mengangguk semangat. Mila pun mengambil anak kucing itu kemudian meletakkannya di dekat kami berlima. Kami mengelilinginya hingga membuat lingkaran kecil.
"Ihh, gemes!" Aku mengelus bulunya lembut.
"Mana aku mau gendong." Tanpa menunggu jawaban, Fitra langsung mengambil anak kucing itu.
Namun, anak kucing terus meronta tidak mau digendong. Hingga akhirnya dia mencakar lengan Fitra. Mungkin karena kesal, Fitra spontan melempar kucing itu sampai masuk ke dalam got. Setelahnya, dia pergi pulang meninggalkan aku dan Alka.
Kami semua terkejut, apalagi Mila yang langsung berlari melihat kondisi anak kucingnya yang ada di dalam got. Bahkan ibu Mila sampai keluar rumah karena teriakan Mila yang memanggil kucingnya.
"Ya ampun, kenapa dia bisa di situ?" Ibu Mila sama terkejutnya dengan kami ketika tahu anak kucingnya ada di dalam got.
Mila pun menceritakan kejadian yang sebenarnya. Ibu Mila hanya bisa mewajari tingkah Fitra, mungkin dia berpikir kalau itu hanya refleks saja.
"Jaya, Tante minta tolong ambil anak kucingnya, ya?"
Awalnya Jaya menolak, tapi tak lama dia pun mengiyakan. Katanya dia kasihan sama anak kucing dan juga Mila yang sudah menangis.
Got itu cukup dalam, sekitar satu setengah meter dan berukuran kecil. Jadi hanya orang yang berbadan kecil pula yang bisa masuk.
Aku dan Alka memutuskan untuk pulang lebih dulu, membiarkan Jaya mengambil anak kucing itu sendiri.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
All About Alka
Non-FictionIni bukan sebuah cerita drama. Ini hanya tentang Alka, Alka yang aku cinta.