6 || Tidak Tergapai

115 29 17
                                    

Cek mulmed, dan semoga mendapat hikmah(:

Don't forget to voment, happy reading!


Setiap pelajaran mengajarkan kita belajar mengkondisikan segala sesuatu sesuai porsinya. Terutama; belajar perihal rasa sakit namun berusaha agar terlihat baik.

Naya POV

-

Dulu sekali, tidak pernah ada hening yang teramat tidak menyenangkan di antara aku dan Agha. Dulu sekali, hanya diam saja pun mampu membuatku nyaman duduk bersamanya. Atau, jika memang aku terlalu diam, Agha akan memulai pembicaraan dengan menanyakan hal-hal yang paling berat, seperti; Mengapa kita dijodohkan dan kenapa kamu harus pergi? hingga menuju ke pertanyaan-pertanyaan yang begitu menyepelekan.

Al berdiri sekitar dua meter di depan kami, memunggungi kami dengan dagu yang di angkat tinggi-tinggi dan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam celana. Meskipun gayanya bagaikan orang yang congkak, tapi aku tahu ia memasang telinga lebar-lebar. Sudah jelas sekali apa fungsi ia berada di sekitar kami—untuk menjagaku. Setidaknya meredam fitnah yang bisa saja timbul dari manapun. Oleh sebab itu, aku memintanya menemaniku berbicara bersama Agha setelah lelaki itu selesai memenuhi panggilan bunda.

Mataku menerawang ke atas langit, menatap tebaran bintang yang menjadi pelengkap untuk membuktikan apa yang gelap tidak selamanya memberikan kesan seram.

Aku memikirkan percakapan-percakapan kecil kami yang masih terekam di ingatan, dan sekelebat moment-moment unik di masa jauh sebelum hari ini tiba—masih banyak yang membekas dalam memori ingatan yang kusebut kenangan, meninggalkan jejak-jejak langkah yang membawa kesadaran jika—waktu telah merubah banyak hal.

Agha sudah menjadi laki-laki yang terlihat dewasa, wibawa masih terpancar di wajahnya. Tapi, ada yang hilang. Wajah bersahabat itu belum kutemukan dari awal Agha datang.

Dari begitu banyaknya hal random yang aku pikirkan, bayangan gadis yang tertawa bersama Agha lusa lalu malah yang paling menciptakan kesan.

"Agha,"

"Nay."

Kami berdua saling lirik sebentar, lalu berdeham untuk menetralkan kecanggungan. Ini kali pertama aku mendapatkan situasi sejelek ini bersama Agha, dan jujur aku tidak menyukainya.

"Ladies first." kata Agha. Aku tersenyum kecil, meskipun aku tidak yakin jika Agha dapat melihatnya.

"Apa kabar?" kutanya.

Agha merenggangkan tangannya dan bersandar pada kursi di halaman belakang rumahku yang kami duduki. "Alhamdulillah, seperti yang lo liat. Gue baik."

Aku tersenyum. "Alhamdulillah."

Kami diam lagi. Banyak jeda yang menggantung, lebih lama dari kali pertama kami duduk di sana sebelum berdialog hanya bertanya kabar. Bahkan, Agha tidak perlu basa-basi untuk setidaknya balas bertanya bagaimana kabar diriku. Dan kupikir, kondisiku yang ia lihat membuatnya berlaku demikian. Aku mencoba berhusnudzon dengannya.

"Email gue," Agha bersuara, lelaki itu menatap lurus ke depan, sangat serius. Ah, bahkan dari tadi Agha memang seperti tidak ingin menatapku. "Udah lo baca?"

Aku mengangguk sekali, aku tahu ia melirikku dari ekor matanya.

"Terus, kenapa nggak dibalas?"

Nada suara Agha datar sekali, ya Tuhan, sedrastis inikah perubahan yang membawa pergi sikap friendly Agha yang dulu?

"Kamu bilang di sana, jika jawabanku tidak—jangan dibalas. Jadi, aku tidak membalasnya."

Agha diam, dari ekspresinya, sepertinya ia baru mengingat hal yang kusampaikan.

Karena Agha masih diam, aku mencoba bertanya. "Kamu udah bilang sama ibu?" yang kumaksud ibunya. Ibu Anggi.

"Apa?" tanyanya.

"Isi email itu, 'kan kamu tidak sanggup menungguku lebih lama lagi?" aku memberi jeda, "Kamu ... udah ada pengganti aku, ya?"

Kali ini Agha menoleh sebentar, ia menarik napas panjang—seperti apa yang aku katakan dari tadi menciptakan beban yang semakin bertambah dipundaknya. "Ibu tadi bilang apa?"

"Ibu cuma nanya hubungan kita bagaimana?"

"Terus, lo jawab apa?"

"Baik-baik saja ... mungkin."

"Mungkin?" beo Agha. Aku mengangguk, membuat Agha bertanya lagi sambil melipat dahi, "Kenapa lo bilang mungkin?"

Aku tidak menyangka bahasa yang Agha keluarkan sekasar ini, jujur, dulu ia selalu beraku-kamu jika bicara denganku. Awal dia memakai bahasa yang sering ia pakai dengan Al—aku tidak masalah. Tapi, nadanya makin ke sini makin tidak mengenakkan.

"Lalu, kamu ingin aku menjawab bagaimana? Berkata, jika hubungan kita semakin dekat dan ingin cepat-cepat menikah?"

Agha diam. Hal yang sering ia lakukan jika otaknya mendadak dipenuhi berbagai macam pikiran. Ah, aku masih hafal tabiatnya.

Jika dulu, membahas soal perjodohan kami adalah hal yang paling Agha sukai, kupikir, sekarang ceritanya sudah berbeda lagi.

Kulihat Agha menarik napas panjang dan tiba-tiba bangkit dari duduknya.

"Gue pulang." katanya tanpa menatapku dan melangkah lebar-lebar. Aku tidak mengerti apa yang ia pikirkan. Yang jelas, Agha seperti tidak bisa kugapai.

Aku bangkit, melangkah menuju Al dan memeluknya dari belakang. Hal yang sering Al jadikan penenang untuk gejolak perasaanku adalah punggungnya, oleh sebab itu ia tidak menoleh ke belakang untuk menatapku. Al penepuk-nepuk tanganku yang melingkari perutnya, tidak peduli jika punggungnya basah oleh air mataku.

Aku lupa kapan tepatnya terakhir kali Al meminjamkan punggungnya untuk tangisanku. Intinya, tidak akan ada kalimat manis untuk menenangkan, tidak akan ada perlakuan istimewa untuk meredam tangisan. Al hanya memberikan tempat ternyaman untukku menumpahkan segala kesah.

Dia, Al. Kembaranku.

Melangitkan AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang