9 || Meminta Maaf dan Berharap Diterima

90 17 31
                                    

Mulmed: Haneen Akira - Dating

  — 

Terlintas panorama yang menyisipkan radius getaran kecil pada hati paling sudut, mengkamuflase kejadian yang pernah ditangkap kornea, bermaksud meruntuhkan ego bagi manusia yang telah jatuh terlalu dalam namun tak sadar, lalu berakhir dengan menyisipkan makna. Padahal itu hanya kata biasa, namanya: rindu.

-Melangitkan Asa-

Prayagha POV

-

Eksistensi wajah adalah untuk saling mengenal. Pun untuk menjadi tanda agar dikenali. Aku pikir, ditutup atau tidaknya wajah—tidak menjadi penentu sebuah rasa.

Lepas seminggu aku mencoba menjauh dari aktivitas yang sering kulakukan. Aktivitas yang di mana—di dalamnya aku selalu menyebutkan nama Kinar. Dan yang di mana, setiap harinya gadis itu selalu bersamaku.

Batinku memberi penegasan, jika perlakuan ini adalah salah satu efek yang terjadi akibat penolakannya minggu lalu. Tapi, saat kusadar itu adalah sebuah penyangkalan paling nyata atas naluri hati yang meneriakkan kata tidak, aku seperti kalah telak. Bagai definisi dari ketidakmungkinan yang tidak bisa kusuarakan.

Aku dan Aska pun renggang. Malah jika bisa dibilang, Aska benar-benar bisa membuktikan perkataannya minggu lalu. Malam di mana seharusnya aku menceritakan perihal masalahku dan Kinar, tapi, aku membuat masalah yang semakin bertambah pelik. Seharusnya di saat-saat seperti ini, hal pertama yang harus kuingat adalah Allah. Seharusnya, kalau aku percaya jika Allah itu 'Ala Kulli Syai'in Qadir, aku tak akan mungkin mengeluh. Tapi, sungguh, keluhanku adalah salah satu hal yang dari awal kupikir sudah kulupakan. Dan aku hampir lupa, jika Allah adalah sang pembolak-balik hati dengan skenario terbaik.

Malam itu, setelah kulontarkan pertanyaan paling menusuk pada Naya, Aska mengajakku berbicara jauh dari ruang lingkup Naya. Perkataan Aska malam itu sukses memporak-porandakan perasaan yang kupikir sudah mati dan tidak dapat kugali.

"Kalau lo nggak bisa bersikap adil sama cewek, setidaknya jaga lisan. Jangan seenak jidat nyakitin perasaan orang dengan omongan sampah lo, Ga. Lo pikir dengan begitu lo udah jadi cowok keren?"

Saat itu, aku diam.

"Lost contact sama Naya nggak nyampe setahun dan lo udah nyari pengganti. Coba periksa hati lo. Sedikit aja, coba lo rasa-rasain rindu ke Naya yang pernah lo keluhin sama gue. Coba."

Sekelebat ingatan masa beberapa bulan silam menghantam ruang di dalam tengkorak kepalaku, memutar beberapa insiden dan dialog-dialog bersama Aska yang sempat terlupakan. Penuturan kekesalan setelah bertahun-tahun menanti sebuah pertemuan. Ungkapan duka atas buncahan degup jantung yang tidak pernah stabil jika aku menyebutkan nama Naya di dalam doa yang panjang di sepertiga malam.

"Coba, Ga. Lo inget pake otak, kalo lo masih punya otak." saat itu Aska tertawa, tawa sinis yang membuatku menepis kilas ingatan yang sempat menyeruak, aku mencoba mengeraskan hati untuk tidak terpengaruh oleh semua perkataannya. Tidak ada yang perlu diingat untuk perkara di masa lampau. "Mana janji yang lo ucapin ke Naya, sebelum dia terbang ke negara orang. Mana?"

Kepalaku berputar sesuai porosnya. Meskipun tetap menolak untuk kembali terjun pada beberapa tahun ke belakang, hatiku tetap sibuk menyusun reklame-reklame yang kuingat pernah menjadi suatu hal istimewa yang kubayangkan sebelum istirahat malam.

"Nay, nggak ada hal yang paling menyedihkan hari ini, kecuali saat-saat di mana penantian itu terlaksanakan. Karena, nggak akan ada yang bisa bikin aku bener-bener bahagia, kecuali suatu saat bisa ngeliat senyum kamu lagi. Dengan nyata."

Dan, sambutan senyum yang Naya berikan pada pertanyaan pedasku malam itu, berhasil membuatku limbung. Aku bersanggah pada tangki motor. Belum berhasil mengatur ritme jantung yang berdentum tidak normal. Kenapa malam itu Naya tidak memakai niqab-nya? Kenapa malam itu ia harus tersenyum? Kenapa malam itu Aska harus menyuruhku mengingat moment terlupakan yang berhasil menggoyahkan imanku?

"Aga," aku refleks menepis tangan kecil yang menepuk pundakku, tak sengaja. Seperti gerakan tanpa sadar yang kulakukan.

"Eh, K-kinar." sapaku ketika melihat gadis mungil pemilik tangan kecil tadi.

Kinar tersenyum hangat. Hal yang tidak pernah kudapatkan seminggu belakangan. Biasa saja, tidak ada rasa ringan apapun saat kubalas senyumannya.

"Ada yang mau ketemu sama kamu, Ga." beritahunya,

Dahiku berlipat. "Siapa?"

"Saya." seseorang muncul dari belakangku sambil tersenyum lebar dan mengajak berjabat tangan, "motormu bagus." katanya, "pasti sering dirawat."

"Eh, Bang Kahfi," ternyata abang Kinar, pertama kali aku bertemu dengannya sekitar dua minggu yang lalu di kolam saat Kinar menyusulku berenang. Saat itu, berkenalan dengan Bang Kahfi tidak seburuk kelihatannya, hanya saja, lelaki ini—yang menjadi alasan gadis itu kebingungan memberi jawaban untuk lamaranku, "iya Bang. Kado dari almarhum Ayah, jadi harus dirawat."

"Pasti berharga banget." komentar Bang Kahfi lagi.

Aku mengangguk. "Iya."

Kinar mengajak kami berbincang di tempat duduk di taman kampus, dan aku mengiyakan, juga Bang Kahfi.

"Kalau adek saya, berharga tidak?"

Kinar menepuk bahu abangnya pelan sambil menundukkan wajah, sesekali gadis itu melirikku dengan raut penasaran.

"Sebentar, maksud pertanyaan Abang, apakah Kinar berharga untuk saya?"

Bang Kahfi tertawa sambil mengangguk beberapa kali. "Ternyata kamu pintar."

Aku menipiskan bibir dan membasahinya sekilas, "Saya belum pernah memberikannya kata-kata manis, tapi akan lebih baik jika perlakuan berharga itu saya utarakan di depan Ayahnya Kinar."

Aku mengucapkan itu tanpa cacat, tanpa tarikan napas yang susah payah, tanpa degup jantung yang menggila. Selancar aku yang seperti sudah terlatih berkata demikian.

Bang Kahfi menepuk pundakku dua kali, ia menatapku tegas sambil berkata, "Baiklah. Datangi Ayahku. Khitbah adikku setelah pernikahanku selesai. Tidak lama lagi. Kamu hanya perlu mempersiapkan segala yang diperlukan."

Aku tidak mengerti perasaan apa yang berhasil muncul di rongga dada saat itu, yang jelas, jika disuruh memilih menjawab iya, aku lebih ingin pergi dari sana dan menghilang dalam jarak yang sangat jauh, jika bisa.

Pikiranku malah melayang pada gadis bercadar yang kukira sudah kumusnahkan dari ruang lingkup hidupku. Aku ingin menemuinya. Meminta maaf dan berharap diterima.

A/n

Lama aku tidak bersua. tidak update juga hehe. sedang kurang enak badan jadi imajinasi ngadat, maafkan. Yang masih menunggu, Alhamdulillah. jazaakumullahu khair.

Semoga tidak berhenti di bab ini ya. Aamiin.

Apakah konflik sebenarnya hampir terlihat?

Melangitkan AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang