Mulmed: Haneen Akira - Intropeksi Diri
—
Setiap ujian melatih kesabaran. Jika tidak ada ujian, kapan kesabaranmu akan naik tingkatan?
—
Naya POV
-
Saat itu jam menunjukkan pukul 17:32, aku baru saja sampai di rumah dari mengajar di pengajian KBB (Komunitas Berani Berhijrah). Aku berdiam diri di depan jendela ruang tamu. Di luar masih tersisa rintik-rintik kecil akibat hujan yang baru saja reda. Aku mengamati tanaman yang sempat terguyur, menelaahnya hingga menuju pendapat paling dasar. Ternyata, hujan yang jatuh di dedaunan pun hanya besifat singgah, hanya menjadi tempat sementara untuk hujan mendarat sebelum menempati tujuan akhirnya—yaitu tanah.
Bunda dan ayah duduk bersebelahan, dengan bunda yang membaca novel dan ayah membaca koran. Hal yang sering mereka lakukan di rumah, lalu bercerita tentang hal apa yang mereka dapatkan dari bacaan masing-masing. Hanya sesederhana itu yang membuat keduanya nyaman.
Al juga membaca, dengan novel yang terbuka di atas meja dan anak itu menopang wajahnya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya digunakan untuk membalik halaman selanjutnya. Dia seperti menggambarkan contoh anak mageran jaman sekarang.
"Al, baca yang bener, deh."
"Dari segi mananya lo liat gue baca nggak bener, Nay?"
Ayah dan bunda tertawa meskipun matanya tetap lurus menatap tulisan, aku tahu mereka sedang menertawaiku.
Aku melipat bibir, lalu menatap bunga teratai dan anggrek yang hidup bersebelahan namun berbeda tempat. Teratai itu bunga kesukaan Agha, dan anggrek—tak usah kujelaskanlah. Kedua tanaman itu seperti menjelaskan bagaimana diagram nyata tentang hubunganku dan Agha. Hidup, tapi terpisah. Ini bukan lagi perihal terpisah jarak, ini terpisah tujuan untuk pulang. Karena, Agha tidak lagi menganggapku sebagai rumah. Menyedihkan. Kenapa pemikiranku seperti ini? Apakah aku kurang bersyukur?
"Bunda," yang kupanggil hanya berdehem, aku sangat tahu jika ayah dan Al juga memasang kuping mereka, "Ibu Anggi, nggak ada ngomong apa-apa?"
"Emangnya lo mau dia ngomong apa?" Al nyantel. Rasanya aku ingin melemparnya meja, jika bisa.
"Aku nggak ngomong sama kamu." Aku menatap bunda yang masih setia dengan novelnya, "Bunda, ayah..."
"Apa, Sayang?" ayah bertanya, sementara bunda melirikku, membuatku tersenyum senang.
"Kira-kira, Agha masih suka nggak sama, Nay?" kutanya dengan gamblang, dalam keluargaku tak ada yang harus ditutup-tutupi, ayah dan bunda selalu mengajarkan kami bercerita dan mereka selalu memberi ruang di tengah aktivitas mereka yang juga padat.
"Terus bunda sama ayah nanya siapa, Nay?" tanya ayah. Bunda dan Al tertawa, membuatku cemberut seketika.
"Aku mau minta tolong Ayah ngelamarin Agha, deh. Tapi pasti ngga dibolehin Bunda." aku nyengir di akhir kalimat, membuat bunda menyipitkan matanya sambil menatapku.
"Gue juga nggak ya, catet." Al melirikku sinis, membuatku balas menatapnya tajam. Apa-apaan sih dia. Aku nggak nerima pendapatnya padahal.
Hening sebentar sebelum aku berkata lagi, "Pengen deh jadi Fatimah. Tapi sayangnya, Ali versiku nggak peka-peka."
Ketiga keluargaku menyemburkan tawanya. Membuatku gelisah. Aku tahu apa yang aku katakan dari tadi tidak selucu itu, dan mereka seperti sedang mengajakku bahagia—tapi terpaksa. Cukup jelas jika sebelum aku pulang tadi ada yang disembunyikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melangitkan Asa
SpiritualTentang melangitkan asa dalam lirihan suara bernama; do'a. Amazing cover by E-Jazzy ©November2018