3 || Surat Misterius

186 42 37
                                    

Prayagha POV

-

"Tentangmu adalah lukisan bermakna yang membawa imajinasiku terbang pada batas yang tidak memiliki rata-rata.

Namamu adalah episode aksaraku yang tak pernah sudah. Dan mengagumimu adalah salah satu hal terindah yang kuangankan jadi nyata untuk waktu yang mungkin harus kudapatkan dengan langka. Karena nyatanya, mengagumimu tidak pernah mudah hanya dengan kata sederhana."

Dari Putih penuh noda,
Kepada Hitam yang Bernyawa.

Netraku berpendar lurus pada tulisan di lembaran kertas hitam dengan tulisan serapi ketikan berwarna silver yang kuletakkan di atas meja kampus. Itu surat yang kutemukan beberapa hari yang lalu di atas motorku. Menyebutnya dari pengagum rahasia membuatku ingin merobek kertas itu hingga menjadi serpihan atom jika bisa. Aku meredam emosi pada sekelumit bayangan yang melintas di otak, menggiringku menuju masa beberapa tahun silam pada seorang gadis dengan tulisan yang sama, persis.

Ironisnya, aku dengan gila mencocoki satu-persatu tulisan para mahasiswi dengan surat misterius ini, dan tidak ada satupun yang sama—tulisannya nyata namun wujud pengirimnya bagai nyatanya udara yang tidak pernah bisa di raba.

Detak jantungku tidak pernah bisa terkendali beberapa hari ini, surat itu, tulisan itu, dan siapakah pengirimnya membuatku menguras otak dan tenaga. Jika si pelaku berencana membuatku mulai sinting untuk menemukan siapa tersangka dibalik isi surat yang menyuarakan rasa itu; maka, ia berhasil.

"Ga—" tolehanku membuat si pemanggil memalingkan muka, "—ruda di dadaku, garuda kebanggaanku...,"

Aku menatapnya datar, dia pikir lucu gitu?

Mungkin si anak gabut itu menyadari tatapanku, lantas ia nyengir dan menepuk pundakku pelan, "Ngapain, Sob?"

Aku menegakkan punggung sambil mengedikkan dagu pada kertas di atas meja.

Alaska mengikuti arah pandangku lalu mengangguk mengerti, "Belum ketemu siapa yang ngasih?" tanyanya, aku agak ngeri menyebutnya sahabat. Yang jelas, kami berteman sudah sejak masa kanak-kanak. Dan ya, teman itu harus terbuka, bukan?

"Yang lo liat aja gimana."

"Dari Kinar, nggak?"

Kinar adalah gadis yang sedang digosipkan dekat denganku beberapa bulan ini, dan kupikir, tidak mungkin.

"Nggak mungkin. Kinar itu lembut, tapi dia nggak puitis. Lagian, gue jamin Kinar nggak akan berani ngirimin surat beginian ke gue."

Aska mengangguk-angguk dan bersender di ujung meja dengan tangan di masukkan ke saku dan kaki kanan ditekuk setengah, "Menurut lo, siapa orang puitis yang lo kenal?"

Aku diam. Aska juga diam. Aku tidak bisa menebak apa yang Aska pikirkan, hanya satu manusia puitis yang kukenal dari kecil, kembaran Aska. Dan yang jelas, tidak mungkin Aska diam saja jika ini surat dari kembarannya. Lagi pula, kembarannya tidak ada di sini, gadis itu di Turki. Aku tahu sekali soal itu. Dan aku tidak akan gede rasa untuk mengharapkan jika surat ini dari dia.

"Ehm," Aska berdeham, "Lupain aja. Main ke rumah gue gak?"

Tanpa berpikir aku menggeleng, "Nggak lah, udah janji sama Kinar, mau temenin dia ke Perpustakaan Daerah."

Aska mengangguk sekali. "Oke," katanya.

"Aga!"

Aku dan Aska menoleh ke ambang pintu, di sana berdiri gadis mungil bersyar'i panjang berwarna maroon sambil melambaikan tangan pelan. Gadis itu tersenyum lebar, "Hei, kalian berdua! Sini ah, ngapain coba dua-duaan di kelas kosong?" ia tertawa dengan pertanyaannya sendiri, membuat aku ikut tertawa dan Aska nyengir bodoh.

Aku bangkit, menyambar kertas di atas meja asal dan meremukkannya cepat lalu berlari dengan senyuman menuju Kinar, "Udah kelar kelasnya?" aku melirik kiri di mana terletak tong sampah dan melempar bulatan kertas di tanganku dengan tepat.

"Udah," jawabnya, "kamu jadi temenin aku 'kan, Ga?"

Aku mengangguk, lalu menatap Aska yang tidak kusadari sudah berada di belakang aku dan Kinar, "Ka, gue sama Kinar duluan ya." pamitku. "Lo nggak mau ikut?"

"Nggak lah, langsung pulang aja gue. Have fun ya lo berdua."

Kinar tertawa renyah yang membuat lengkungan di matanya tercipta sempurna, aku ikut tertawa karena melihatnya.

"Apa sih, Aska. Ke perpus Cuma baca buku doang bukan nge-date."

Aku selalu peka terhadap setiap kode yang diisyaratkan Kinar, dan aku paham jika sekarang gadis itu sedang mengharapkan sebuah kencan.

Karena aku tidak ingin menerbangkan tinggi-tinggi apa yang Kinar harapkan di depan Aska, aku berdeham, berusaha mengembalikan suasana yang sempat hening. Karena kulihat, Aska pun seperti tidak tahu ingin berkata apa-apa lagi.

"Yaudah, kita duluan ya, Ka."

"Yoi."

Aku menarik ujung lengan baju Kinar, hal yang sering kulakukan dengan alasan ketika berjalan denganku Kinar selalu tertinggal di belakang. Kinar pernah bilang, dia suka seperti ini, ia seperti merasa kulindungi. Dan entah kenapa, apapun alasan yang Kinar sukai, aku ingin selalu melakukannya. Aku tahu tadi Kinar menipiskan bibirnya karena kuhiraukan perkataannya perihal nge-date itu. Dia kecewa, mungkin saja. Aku bisa memperbaiki mood-nya nanti.

Aku menoleh ke belakang pada Kinar yang menundukkan wajahnya, tapi, perhatianku teralihkan pada Aska di ujung sana.

Temanku itu, baru saja memungut sesuatu di tong sampah dan dengan langkah lebar pergi dari sana.

Melangitkan AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang