1. Secarik Alamat

3.3K 240 70
                                    

1. Secarik Alamat

Waktuku habis.

Satu hal mengenai waktu yang diamini semua orang adalah, bahwa ia justru berlari terlalu cepat pada saat kita mati-matian ingin mempertahankannya. Aku menghitung satu menit terakhir melalui jarum jam yang berdetak konstan di lenganku, masih ada sepuluh detik tersisa ketika seorang sipir datang mengingatkan hal yang sebetulnya sudah kuketahui.

"Mari, Pak, waktu kunjungnya sudah habis." Bapak sama tahunya denganku, juga dengan sipir yang menantinya di sebelah kursinya dengan tak sabar.

"Makan yang banyak, nggak usah mikir yang macem-macem."

Pesan dari Bapak kuputar berulang-ulang di kepala selagi aku menyaksikan punggungnya yang bergerak menjauh, didampingi seorang sipir dengan gerak-gerik serba protokoler. Mereka memasuki lorong yang diapit barisan kamar-kamar yang menyerupai tempat indekos. Derit besi yang menyayat telinga terdengar ketika sipir membuka gembok di salah satu kamar dengan pintu berupa baris-baris besi. Menggiring Bapak ke dalam semata-mata agar menghilang dari pandanganku.

Aku tak pernah benar-benar menengok kamar berpintu jeruji itu, dari Pengacara Bapak, aku mendengar cerita bahwa para tahanan harus berbagi tempat dengan sejumlah tahanan yang lain. Masing-masing diberi jatah selembar kasur busa, sebuah bantal bersarung seragam, dan selimut tipis seperti yang terdapat di kamar rawat kelas tiga rumah sakit. Kamar mandi untuk para tahanan menyatu di dalam kamar, disekat tembok tanpa pintu dengan satu WC duduk dan kran air yang tidak bisa disetel dalam mode hangat.

Kursi besi panjang yang tadi ditempati Bapak kini ditimpa selajur cahaya yang menyeruak dari jendela. Sore sudah turun, dan sipir penjaga berdeham terlalu keras untuk menyuruhku pulang. Mungkin hanya karena aku perempuan dan kebetulan bertubuh mungil menyerupai anak-anak, ia merasa segan mengusirku secara langsung.

Aku meluruskan belakang rokku yang kusut selagi berdiri. Tanpa basa-basi keluar dari lorong-lorong yang menjadi bagian dari gedung tahanan ini. Di luar, aku melihat Pak Sadil—Pengacara Bapak—sedang duduk di kursi besi yang sama persis seperti yang kutempati di dalam tadi. Dari caranya memandangi pintu keluar, yang seolah mengantisipasi kedatanganku, dan lambaian tangannya yang sarat urgensi, aku menyimpulkan ia sengaja menungguku.

Aku duduk di samping Pak Sadil dalam posisi menyerong sehingga kami berhadapan. Ujung sepatunya yang telah tua tetapi sennatiasa mengkilap bertemu dengan sepatu converse-ku yang sudah seharusnya masuk laundry. Usia Pak Sadil hanya terpaut setahun dengan Bapak, tapi Pak Sadil memiliki ciri-ciri fisik yang membuat penuaannya seolah berlangsung lebih cepat dari yang seharusnya; rambut tipis setengah botak, perut tambun, kacamata berlensa tebal, dan selera berpakaian yang tak berkembang sejak sepuluh tahun terakhir.

"Gimana, Bapakmu baik-baik saja kan? Kamu nggak perlu khawatir."

Setiap kali bertemu, alih-alih membicarakan kasus yang sekarang menjerat Bapak, berapa nominal uang yang dituduhkan dalam kasus korupsi yang melilitnya, yang belum juga menemui titik terang itu, Pak Sadil selalu lebih sibuk menenangkanku. Membesarkan hatiku dengan mengecilkan kasus bapak. Yang aku tahu seluruhnya tak benar.

Pak Sadil menganggapku dengan cara yang sama seperti yang dilakukan sipir tahanan tadi. Anak kecil. Rasanya aku selalu ingin merekatkan KTP-ku yang masih licin di permukaan dahi. Selain untuk menegaskan bahwa usiaku sudah lewat delapan belas, hal tersebut cukup menguntungkan untuk menyembunyikan lahan lebar di sana tanpa harus repot-repot menurunkan poni, yang jujur saja membuatku risih.

"Bapak udah dapet jadwal persidangan bapak saya?"

Pak Sadil memilah helai-helai kertas yang bertumpuk di dalam map plastik di pangkuannya. Kukira sidang perdana Bapak sudah terjadwal, Pak Sadil hanya sedang memastikan tanggal pada note kecil yang terselip di dalam map.

Heart from The Past |√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang