🌻🌻🌻🌻🌻
Aku mengatur nafasku yang putus-putus setelah berlari, masa bodo dengan rambutku yang acak-acakan atau cup minuman yang entah sudah kemana padahal seingatku tadi, aku memegangnya erat. Ya sudahlah, yang terpenting adalah aku tidak ketinggalan.
Aku sedikit menyipitkan mata ketika melihat seseorang melambaikan tangannya padaku, lalu menepuk kursi kosong di sampingnya. Syukurlah, sahabatku memang pengertian. Ia menyisakan satu kursi untukku.
Oh, lihatlah! Aula besar ini bahkan sudah penuh dan sesak oleh para penonton. Tidak seperti biasanya, aneh bukan?
"Lo, lari-lari ya?" tanyanya setelah aku mendudukkan diri di sampingnya. Tangannya terulur membenarkan rambutku yang acak-acakan. Terlihat seperti sangkar burung menurutnya. Terserah, karena sekarang mataku fokus tertuju pada panggung. Menatap lurus seseorang yang tengah berdiri dengan gitar putih favoritnya.
Siapapun, tolong cubit atau pukul aku! Aku tidak sedang bermimpi kan? ASTAGA!
PLAK!
Aku meringis seraya mengusap dahiku yang baru saja ditepuk dengan keras oleh Fina-- sahabatku. Aku melotot kesal, tepukan tangannya di dahiku tidak main-main. Ah, apa dia mendengar suara hatiku?
"Mata lo mau keluar tuh! Biasa aja kali liatnya, dia gak bakal suka sama lo meskipun lo pelototin gitu juga!" Ia terkekeh.
Sialan. Bukannya mendukungku dia malah membuat nyaliku ciut, dasar sahabat! FYI, aku sedang senang jadi aku tidak akan membalas perbuatan Fina sekarang, tidak tahu jika nanti hehe.
"Apasi Fin! Jangan keras-keras ngomongnya, malu tau!" protesku namun tidak di dengar Fina. Ia mengusap ujung matanya yang berair. Apa seseru itu menertawakanku? Jahat sekali. Untung saja aku menyayanginya.
Sebenarnya Fina selalu mendukungku kok. Buktinya tadi aku berlari dari kantin setelah Fina mengirimku pesan bahwa 'dia' akan segera tampil dan dengan baik hatinya juga menyisakan satu kursi untukku, tepat di tengah barisan depan. Tempat yang sangat strategis untuk menonton dan menatapnya dengan puas.
Petikan gitar yang terdengar nyaring seolah mengomando pasukan lebah di belakangku untuk diam. Bagus. Para penonton bermulut banyak itu akhirnya diam.
Tatapan mataku terpaku. Sangat indah. Suara dari senar gitar yang dipetiknya, suara baritonnya, tatapan matanya dan senyum tipisnya sangat indah. Aku menyukainya.
"Fin, pokoknya tipe cowok ideal gue itu vokalis sama gitaris band," racauku tanpa mengalihkan pandangan.
🌻🌻🌻🌻🌻
Matahari sedang bersinar dengan teriknya, bahkan aku yang diam saja berkeringat. Aku tidak bisa membayangkan betapa gerahnya dia saat ini. Jersey bernomor punggung 3 itu terlihat basah seakan dia baru saja bermain dibawah guyuran hujan. Nyatanya tidak. Dia kini sedang bermain basket di lapangan yang terkena teriknya sinar matahari.
Tanganku gemas ingin mengelap bulir keringat yang menghiasi wajahnya. Saking gemasnya aku sampai tidak sadar meremat tangan Fina yang duduk disampingku sebagai pelampiasan.