"AAAAA!!!"
Suara teriakan itu terdengar diiringi suara benturan keras. Mobil mereka menabrak tebing. Benturan keras itu mengakibatkan mobil Aiden ringsek dan kacanya pecah menjadi kepingan.
Cherry mulai membuka matanya dengan perlahan. Nyeri di pelipisnya membuatnya menyentuh bagian itu yang ternyata sudah diperban. Pelipisnya membentur dashboard mobil dan membuat bagian itu luka hingga pingsan. Dilihatnya sekeliling. Ia sudah tidak berada di dalam mobil. Ia berbaring dengan paha Aiden sebagai bantalan kepalanya.
"Eh? Kau sudah sadar?" ucap Aiden setelah mengetahui bahwa Cherry sudah sadar.
Gadis itu segera mendudukkan dirinya refleks karena pipinya yang memanas dipangku Aiden seperti itu. "Umm, berapa lama aku pingsan?" tanya Cherry gugup.
Aiden melirik arlojinya. "30 menit," jawabnya.
Cherry mengangguk, kemudian menoleh pada temannya yang lain yang kini sedang mengobrol.
"Cherr? Sudah bangun?" ucap Rico.
Cherry mengangguk, lalu tersenyum. Dilihatnya Fiona yang terbaring dengan paha Rico sebagai bantalannya.
"Fiona pingsan juga?" tanya Cherry khawatir.
Rico mengangguk lemah. "Nanti setelah dia sadar, baru kita cari bantuan," ujarnya.
Cherry mengernyit. "Memangnya tidak bisa melalui telepon—tidak ada sinyal," potongnya lemah tatkala menyadari bahwa ponselnya menunjukkan panggilan darurat.
"Ini tidak bisa dibilang liburan," keluh Millo
Asley menoleh pada Millo dengan sinis. "Kau pikir, ini karena siapa? Karena kau tahu!" sungutnya, masih tidak mau kalah.
Millo hanya mendengus. Millo, pacarnya Asley itu memang kekanakan dan cerewet sekali.
Beberapa menit menunggu, akhirnya Fiona sadar dari pingsannya.
"Jadi, kita cari bantuan? Sejauh mata memandang, tempat ini hanya jurang terjal, tebing, pepohonan menjulang tinggi—"
"Jangan banyak bicara, atau kugulingkan kau ke jurang." potong Aiden sinis yang dibalas Millo dengan kerucutan sok imut di bibirnya.
Mereka menyusuri jalan gelap itu dalam diam. Hari yang sudah gelap ditambah hening menyelimuti seakan membuat kesan mencekam di sana.
"Sepi sekali di sini," gumam Fiona pelan yang ternyata masih dapat didengar Rico.
"Ini daerah terpencil," sahut Rico ringan. Tangannya dengan iseng memetik dedaunan pohon yang berjejer sepanjang jalan.
Cherry yang berjalan di belakang Rico dan Fiona itu kini tampak merapatkan sweaternya yang sepertinya tidak mampu manghalau udara dingin yang membekukan tulang.
"Biar tidak kedinginan," ujar Aiden setelah memakaikan jaketnya di tubuh Cherry.
Cherry tersenyum kikuk, lalu menggumam terimakasih yang dibalas Aiden dengan anggukan.
"Ai, kau tidak ingat jalan menuju vilamu?" tanya Cherry cemas. Ia takut sekali akan tersesat dan akhirnya mati di daerah pegunungan ini.
"Kau terlalu banyak nonton film horor," kata Aiden seakan dapat membaca pikiran Cherry.
Gadis itu mengerucutkan bibirnya. "Aku tidak bercanda, tahu," ujarnya sebal.
Aiden terkekeh pelan, lalu mengacak rambut Cherry.
"Hoi, itu ada rumah penduduk!" seru Millo senang.
Yang lain segera mengikuti arah tunjukan tangan Millo. Benar saja. Ada beberapa rumah penduduk di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lane
TerrorSalah jalur akibat kecerobohan mereka sendiri, membuat mereka terseret ke dalam dunia lain yang mengharuskan mereka untuk membebaskan diri. Tapi bagaimana kalau itu bukan kecerobohan mereka semata, melainkan takdir? Bisakah mereka selamat dan kembal...