Part 5: A Terrifying Night for Asley

1K 56 9
                                    

Aiden menggelengkan kepalanya. Ia pasti berhalusinasi. Ia pasti terlalu kacau, sehingga dipermainkan pikirannya sendiri. Namun begitu, ia merasa semuanya sangat jelas. Begitu nyata dan mengerikan.

Cahaya remang muncul sedikit demi sedikit. Cahaya itu rupanya berasal dari pemantik Millo. Cowok itu kini sibuk mengobrak-abrik laci sebelum menemukan tiga batang lilin putih. Keempatnya segera menghela napas lega, kecuali Fiona yang sepertinya masih sangat stres.

"Kau tidak apa-apa, Ai?" tanya Millo khawatir, sebab wajah Aiden yang pucat tiba-tiba.

Aiden terkesiap, tetapi segera menormalkan ekspresinya. Ia tersenyum. "Ya, aku baik-baik saja." Mata Aiden melihat Cherry yang mengusap-usap lengannya. Gadis itu sepertinya kedinginan. Sementara itu, Asley nampak bergelayut di lengan Millo.

"Mungkin sebaiknya kita di ruang tengah saja," ucap Asley tiba-tiba.

Cherry mengangguk sementara Fiona diam saja, meski nampaknya ia setuju juga.

"Asley benar," sebut Millo.

Aiden mengangguk, dan mereka pun duduk di posisi semula. Semua diam dan sibuk dengan pikiran mereka. Suasana yang canggung jelas sungguh tidak mengenakkan hingga Asley memutuskan bersuara.

"Ada yang punya rencana? Aku sudah tidak tahan di sini .... Aku mau pulang," ujar Asley dengan suara lemah. Ia takut.

Aiden terdiam. Jemarinya mengait satu sama lain. "Bagaimana kalau ... aku dan Millo minta bantuan penduduk sekitar, sementara kalian tetap di sini?"

Semua menatapnya dalam diam, kemudian saling melemparkan pandangan. Cherry menggigit bibirnya, ingin mengeluarkan suara, tetapi sulit sepertinya.

"Bagaimana, As? Setuju tidak?" tanya Millo. Dalam hatinya, ia setuju asalkan Asley setuju.

Asley mengangguk mantap, lalu menatap Cherry. "Kau setuju Cherr?"

"Aku? Y-ya ...," jawab Cherry kaget. Ia melamun sepanjang Millo dan Asley bicara tadi.

"Cepatlah, aku mau pulang," kata Fiona dingin. Ia tidak banyak berbicara semenjak kematian Rico. Ia masih terlalu syok dan sedih. Hatinya diselimuti kesedihan dan amarah yang tebal.

Aiden mendengus. "Ayo, Mill," tandasnya sebelum bangkit berdiri. Ia lalu menggunakan jaket tebalnya.

Hujan sudah mulai reda. Hanya rintik-rintik kecil yang masih berjatuhan, namun suasana tetap seperti malam. Sungguh gelap, apalagi dibumbui kabut tebal yang mengganggu pandangan.

Aiden menyalakan lampu flash di ponselnya untuk sedikit menerangi jalan mereka. Jika salah injak, bisa jadi mereka tergelincir sebelum masuk ke jurang yang terjal. Sementara berjalan, Aiden masih memikirkan kenapa vila milik ayahnya itu bisa menjadi mengerikan seperti ini. Terakhir kali ke vila ini, saat ia masih berumur tigabelas tahun, vila ayahnya itu masih sangat menyenangkan dan tidak mengerikan tentunya.

Millo mengikuti langkah temannya itu dengan hati-hati, sebab ia hanya mengandalkan cahaya dari lampu flash Aiden. Tangannya sesekali mengusap tengkuk yang terasa dingin.

"AAHH!!!" seru Millo. Ia tersentak kaget, tetapi ekspresinya berubah kesal tatkala menyadari sesuatu yang jatuh di depannya hanyalah dahan pohon yang sudah tua. "Sial. Mengagetkan saja."

"Hati-hatilah, Millo," sahut Aiden seraya menggelengkan kepalanya.

Mereka kembali berjalan, menuruni turunan sebelum mata mereka menangkap rumah-rumah penduduk tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

"Cepat, Ai," tandas Millo bersemangat. Ia berharap, ada penduduk yang mau membantunya.

Mereka akhirnya sampai di sebuah rumah yang paling besar di sana. Millo beberapa kali mengetuk pintu, padahal jelas ada bel pintu di sampingnya. Dasar.

The LaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang