PERPISAHAN

72 4 3
                                    

Jika mencintainya adalah keputusan, maka mencintai Dia adalah keharusan. @Kenkenali_

***
"Shafiyah awas!" Teriak sang ibu dari kejauhan.

"Shafiyaaaaaah!" Kembali suara itu terdengar

***
Bunyi alarm pagi ini membuatku memaksa diri untuk bangun lebih awal. Iya benar, aku sendiri yang mengatur alarmnya. Entah kenapa akhir-akhir ini, hatiku selalu tergerak untuk bangun di sepertiga malam, menghadap kepadaNya. Perubahan ini terjadi bukan tanpa alasan.

Beberapa hari yang lalu, aku selalu rutin ibadah sholat jamaah di masjid kampus dan mendengar sepatah kata perihal agama setelahnya.

Aku tertarik dengan beberapa wanita yang menutup kain ke seluruh tubuhnya. Melihat mereka, malah membuatku penasaran untuk mengetahui apa alasan mereka membalut tubuhnya dengan kain, menutup lekuk tubuh dan menutup rapat-rapat seluruh tubuhnya. Beberapa dari mereka selalu menyapaku dengan salam, tersenyum dan menanyakan kabarku saat bertemu di masjid Al-Hidayah itu.

Siang ini tepat setelah sholat dzuhur di masjid, aku membaringkan tubuh kemudian terlelap.

"Shafiyah awas!" Teriak sang ibu dari kejauhan.

"Shafiyaaaah!"

Aku terbangun dalam keadaan menangis. Entah mengapa aku menjadi pusat perhatian di dalam masjid itu. Aku bertanya pada salah seorang mahasiswi yang wajahnya seperti tidak asing bagiku.
"Iya kak, tadi kakak berteriak seperti orang ketakutan. Dan anehnya, kakak mengeluarkan air mata dalam keadaan masih tertidur." Ucap mahasiswi yang ternyata bernama Fatimah itu.

Aku terdiam sejenak.

"Kenapa kak? Kakak sakit?"
Pertanyaan Fatimah membuatku beristighfar karena terkejut.

"Eh iya apa.. apa dek?" Tanyaku bingung.

"Kakak sakit? Ayo biar aku antar kakak pulang, rumah kakak dimana?

"Ga usah dek, makasih. Aku cuma sedikit pusing. Gak apa- apa, bisa pulang sendiri kok."

Fatimah kemudian tersenyum dan membalas perkataanku.

"Syafakillah kak, oh iya Fii Amanillah di jalan ya kak."

Aku hanya membalas dengan senyum, karena tidak tahu harus menjawab apa. Sungguh, aku tidak mengerti apa yang Fatimah katakan tadi.

"Syy.. sya..syafa apa tadi? Maksudnya apa ya?" Tanyaku dalam hati.

Aku bergegas meninggalkan masjid dan menuju halte untuk menunggu angkutan umum. Pikiranku masih tertuju pada ucapan Fatimah tadi.
Aku berteriak? Di dalam masjid? Apa tidak mengganggu dan merisihkan orang-orang yang ada di masjid?

***
Bunyi klakson angkutan umum, kode untuk memanggil penumpang di halte.

Aku baru sadar, sejak kemarin aku tidak berhenti bermimpi tentang ibu. Mimpi yang selalu membuatku menangis dalam tidurku. Kejadian itu selalu membayangi tidurku, menyapa lelapku dan kembali mengingatkan tentang ibu.

Suara teriakan itu ternyata suara terakhir yang ku dengar dari mulut ibu. Kami terpisah alam karena ibu menyelamatkan diriku dan ia pun menjadi korban.

Mimpi itu selalu membuatku marah. Bukan kepada takdir, tapi pada duka yang harus ku telan segera. Duka itu mungkin tidak akan hadir, jika saja ayah tidak bermain-main dengan mobil pembawa nestapa itu. Ibu harus menjadi korbannya karena menyelamatkan aku.

Sejak saat itu, aku lupa dengan sosok ayah yang sebenarnya. Kehadirannya sungguh sia-sia bagiku, karena semuanya tidak mungkin kembali. Begitupun dengan ayah. Ia tak akan kembali ke rumah sebagai ayahku lagi, melainkan sebagai ayah orang lain.

"Bahagialah disana, ibu. Bahagialah dengan keluarga barumu, ayah!"
-selamat tinggal-

BerpindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang