12. Curhatan

688 34 6
                                    

Davina tersenyum manis, dengan gengaman yang tak lepas dari lengan teman cantiknya tersebut.

"Jadi gitu masalahnya?"

Lisa mengangguk dengan wajah masih ditekuk.

Lisa baru saja selesai menceritakan masalah keluarganya yang cukup pelik, perihal sang Ibu yang memutuskan kembali menikah tanpa berkompromi dengannya lebih dulu. Bagi seorang anak masalah demikian rasanya cukup serius, karena bagaimanapun pria yang akan dinikahi sang Ibu akan otomatis menjadi Ayah sambungnya.

"Udah dikomunikasikan sama Mama kamu? Atau paling enggak kamu udah kasih alasan kenapa kamu kurang setuju sama keputusan beliau?" lagi Davi bertanya.

"Belum, dan kayaknya gak akan. Lo tau dia itu egois, dia itu wanita yang keras, akan percuma kalo gue beropini. Gak akan didengerin." Lisa menerawang jauh membayangkan sosok sang Mama.

Beberapa saat lalu Bang Daniel datang bersama gadis ini dalam keadaan basah kuyup. Saat Davi bertanya, mereka kompak mejawab tak sengaja bertemu dijalan dan terjebak hujan. Davi kurang yakin dengan itu tapi dia tak mempermasalahkan lebih jauh.

Sejauh ingatan Davi, Bang Daniel bukanlah orang yang akan membawa pulang seorang gadis yang tak sengaja ditemuinya dijalan, meskipun gadis itu gebetannya sekalipun. Tapi kasus Lisa sepertinya lain, pasti ada hal tersembunyi yang membuat Abangnya berbeda.

Davi meneliti Lisa dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Cantik banget sih, gak mungkin Abang gak naksir. Davi membatin.

Davi kemudian menepuk bahu Lisa lembut membuat Lisa yang tadinya melamun kembali pada kesadarannya.

"Kamu gak boleh kayak gitu, beliau kan Ibu kamu, kamu itu anaknya. Sekeras-kerasnya seorang ibu dia pasti tetap mau dengerin anaknya kok. Kamu coba ngomong aja dulu, siapa tau berhasil," usul Davi.

"Gak mungkin berhasil, Dav. Udahlah, gak usah ngomongin itu lagi, gue pusing." Lisa merebahkan tubuhnya yang berbalut piyama biru kebesaran milik Davi. Jujur Lisa sedikit lelah dengan masalah tadi siang, jika tadi dia tak bertemu Daniel ditaman dia tak tahu akan sedang apa dirinya sekarang. Mungkin luntang lantung memikirkan masalahnya seperti seorang gembel.

Davi mengidik bahu tak acuh lalu mengikuti Lisa merebahkan tubuhnya diatas kasus.

"Yaudah kalo kamu gak mau, aku gak maksa. Lagipula kamu kan udah gede pasti bisa menyelesaikan masalah sendiri. Iya kan?" Davi memandang Lisa dengan sorot mata polos, berbanding terbalik dengan ucapannya yang sudah sangat mirip orang dewasa, yang mana hal itu terlihat menggemaskan dimata Lisa.

"Ululu, Davi! Lo gemesin banget sih," kata Lisa sembari menarik kedua bongkah pipi Davi dengan sangat keras hingga Davi mengaduh.

"Sakit Lisa...."

Lisa nyengir lebar tanpa dosa.

"Ngomong-ngomong, Gimana masalah lo sama Arbam?" Lisa melirik Davi yang terbaring disebelahnya.

Davi memejamkan mata sekilas lalu menatap langit langit kamar dengan lesu.

"Ya gitu deh. Belum ada kemajuan, masih diem-dieman," jawab Davi.

"Lo sama Arbam kayak orang pacaran deh. Sebentar-bentar berantem terus baikan, terus berantem lagi abis itu baikan lagi. Gak capek apa? Kenapa gak pacaran beneran aja."

Davi tertawa ringan.

"Gak mungkin lah, aku sama Arbam kan sahabat jadi gak mungkin pacaran. Lagian Arbam nya juga udah suka sama cewek lain."

"Lo pernah denger gak, kalo persahabatan antara lawan jenis tanpa salah satunya memendam rasa lebih itu mustahil," ujar Lisa.

Davi lagi lagi menghebuskan nafas lelah diikuti senyum setelahnya.

Davina dan Diet [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang