Bagian 9

15 4 0
                                    

  Aku berdiri didepan pintu aula rumahku, menunggu beberapa murid yang mengikuti les disini.Aku sengaja mengambil kelas les dihari Sabtu dan Minggu, agar kegiatannya terjangkau dan karena dihari itu aku tidak memiliki kelas dikampus.

  Hanya ada 8 murid yang mengikuti kelasku, itupun hanya anak kompleks rumahku, belum ada orang jauh. Mungkin karena kelasnya baru dibuka, atau bisa saja karena memang mereka tidak berminat. Walaupun demikian, aku tidak pernah merasa kecewa, setidaknya kelas yang kubuka ini ada penghuninya, dan buku buku yang kusediakan tidak mubazir.

  Kedelapan muridku adalah Anak dari Sekolah Menengah pertama semua, sehingga aku tidak kesulitan saat mengajar, mereka juga berinteraksi saat baik padaku, otaknya tidak lamban untuk mencerna, dan oleh sebab itu aksesku untuk mengajar tidak ada hambatan sama sekali.

  Aku mulai mengajar saat kedelapan muridku sudah hadir disini, aku mulai membahas tentang Matematika mengenai titik koordinat,dibidang IPA aku membahas tentang perkecambahan mengenai tanaman, dimulai dari faktor yang mempengaruhinya, dan praktikum kerjanya. Mereka sangat antusias sekali.

  Kelas privatku ini dimulai dari pukul 08.00 pagi hingga 11.00 WIB, tidak terlalu lama dan tidak terlalu singkat juga.

  Saat aku tengah membereskan ruangan ini, seseorang menyapaku dari ambang pintu. Siapa lagi kalau bukan Almert. Dia masuk tanpa permisi, mengambil posisi didekatku dan kami mulai mengobrol.Apalagi yang mampu membuatku gugup selain ini?.

Kami membicarakan tentang konsep mengajar yang akan kami terapkan di kelas privatku ini. Tidak ada topik yang istimewa, hanya sekedar membahas tentang hal hal yang sederhana tidak ada kaitannya dengan rasa .

  Almert bukanlah seorang pria yang lihai dalam hal menggoda, dia tak pandai bersilat lidah, dia juga tidak pandai dalam merangkai kata, aku mengenalnya dengan baik, bagaimana sifatnya ,sikapnya, dan cara hidupnya, aku sudah mengetahui itu semua, walaupun kenyataanya aku baru mengenalnya.

  Dia hanyalah Almert Reynandha, Seorang pria yang memandang dunia sebagai tempatnya untuk memanfaaatkan hidupnya untuk orang lain, seorang pria dengan pola fikir logisnya, pria dengan kelembutannya, pria dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

  Aku suka saat beradu mulut dengannya memperdebatkan suatu masalah kecil, karena cara pandangnya yang berbeda dan cara penuturannya yang mampu menghangatkan jiwa.

  Seperti saat ini,kami sedang memperdebatkan tentang Cinta. Dia bertanya apa itu cinta?  Saat tangannya tak sengaja memegang sebuah buku berjudul Madrasah Cinta karya Ayu Nesia. Buku itu adalah buku milik Sabrina yang sengaja ia simpan diaula ini.

"Baca aja, disitu ada kok penjelasannya ".Titahku saat dia mulai bertanya padaku.

"menurut pandangan kamu, gak seharusnya kamu bergantung pada buku ini, bagaimana kalo kisah kamu enggak sama kaya dibuku ".ejeknya, dia tengah memaksa berdebat rupanya.

"Cinta adalah sebuah anugerah terindah,gak ada kata kata yang mampu mewakilinya"ungkapku.

"itu sih kata lain dari mentok namanya,".ucapnya seraya tertawa.

Aku tahu bahwa dia sedang mengejekku, tapi aku menyukainya. Aku memberikan pertanyaan yang sama padanya, dan kau tahu?, jawabannya sangat membuatku tercekat.

MetamorfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang