TIGA PULUH DUA

32.5K 3.4K 203
                                    

Sudah seminggu lebih berlalu sejak Bapak berpulang. Selama tiga hari pertama Javas masih berada di Bandung dan membantu keluarga Indah mempersiapkan pemakaman, pengajian, surat-surat, dan lain sebagainya. Ibu menangis terus. Indah dan Indra lebih tegar menghadapi kehilangan yang mendadak ini. Hanya saja, setiap melihat Javas, Indah selalu melemparkan tatapan tajam. Jika tatapan itu diibaratkan pisau, Javas tahu dirinya sekarang sudah terluka parah. Tidak ada kalimat yang terucap antara Javas dan Indah. Javas hanya banyak berinteraksi dengan Indra dan Gio. Sesekali mendengar curhat Ibu.

Senin pagi Javas kembali ke Jakarta. Hanya berpamitan pada Ibu yang sedang beristirahat ditemani kedua cucunya. Indah baru saja keluar dari kamarnya ketika Javas sedang berpamitan.

"Aku ke Jakarta dulu, Ndah," ucap Javas tanpa menyia-nyiakan kesempatan, ketika Indah tidak sengaja menatapnya.

Indah memalingkan wajah dan bergegas menuju kamar mandi.

"Saya mohon maaf atas semuanya," ucap Javas pada sang mantan ibu mertua.

Ibu hanya menatap Javas dengan tatapan lemah lalu mengangguk. Perlahan beliau menepuk kepala Javas dengan sayang. Sama seperti ketika Javas masih menjadi menantunya.

"Jaga kesehatan ya," pesan Ibu.

Javas mengangguk lalu berbalik. Gio mengantarkan ayahnya hingga ke pagar. Menghabiskan waktu lebih lama dari biasanya dengan sang ayah-meskipun dalam suasana luar biasa tidak menyenangkan-membuat Gio berat untuk melepaskan Javas lagi. Kembali ke kebiasaan mereka yang hanya bertemu seminggu sekali.

"Minggu depan ayah ke Bandung lagi?" tanya Gio dengan sedikit nada merengek.

"Iya," Javas tersenyum, tangannya terulur dan merapikan rambut Gio. Gio belum mandi, hanya bangun dan makan roti untuk sarapan. Tidak heran penampilannya masih acak-acakan. Dia juga izin tidak ke sekolah.

"Kapan Gio dan Ayah gak usah ketemu seminggu sekali seperti ini lagi?" Gio menghela nafas. Seperti anak besar saja.

"Ayah belum bisa jawab pertanyaan itu," Javas menjawab dengan getir. Jujur saja, dia sendiri tidak tahu apa yang akan dia lakukan terhadap hidupnya sekarang ini.

Gio mengangguk nyaris tidak terlihat. Mereka berpamitan dan Javas pun berangkat ke Jakarta.

Pada akhir pekan pertama setelah Bapak tiada, Javas kembali mengunjungi rumah Indah. Seperti biasa untuk bertemu dengan Gio. Dia sudah berencana mengajak Gio membeli pakaian olahraga baru.

Ketika Javas sampai di depan pagar, yang kali ini membukakan pintu untuknya bukanlah sang putra, melainkan sang mantan istri. Indah berdiri kaku di pintu. Wajahnya masih terlihat galak tapi tatapannya sudah melemah. Dia membukakan pagar dan mempersilakan Javas masuk.

"Gio?"

"Gio nengok pelatih futsalnya di rumah sakit sama temen-temennya. Nanti juga pulang," Indah menjawab seperti malas-malasan.

"Hanya dengan teman-temannya?" Javas mengernyit.

Kali ini Indah berbalik menghadap Javas. "Nggak. Ada orang tua temennya yang nemenin. Mereka pake mobil temennya itu."

"Oh," Javas mengangguk. Cukup khawatir kalau ternyata Gio hanya bersama teman-temannya saja ke rumah sakit. Biar bagaimanapun putranya masih SD.

Javas mengikuti Indah masuk ke dalam rumah. Baru disadarinya bahwa rumah dalam keadaan sepi. Keheningan terasa lebih mencekam dari sebelumnya.

"Ibu... mana?" Javas berdiri di ambang pintu. Menunda niatnya untuk masuk.

"Diajak Kang Indra jalan-jalan. Kasian di rumah nangis terus ingat Bapak," Indah menunduk. Awan kesedihan kembali melayang di atas dirinya.

I Could Get Used To You - END (CETAK & GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang