TIGA PULUH SATU

34.9K 3.4K 455
                                    

Saat ini.

Anja bergerak dengan tak nyaman. Selain ia sudah ingin duduk karena tubuhnya yang sedang hamil ini mendadak sering terasa lemah, ia juga bingung bagaimana harus bersikap. Tangannya memutar amplop putih. Bingung apakah harus segera maju atau menunggu Javas selesai bicara dengan Bu Ratri.

"Duduk dulu sih, Ja," tawar Tari yang melihat Anja kebingungan sedari tadi.

"Eh, gak usah Tar. Gak apa-apa," Anja menggeleng.

"Kan lo lagi hamil. Gak baik berdiri lama-lama," Tari menawarkan lagi.

"Eh iya, thank you." Anja akhirnya duduk di kursi yang ditawarkan Tari.

"Lo beneran hamil? Kok gak keliatan?" Tari mengernyit.

"Baru tiga bulan, Tar," Anja nyengir. Baru sebulan lalu ia tahu dirinya hamil. Saat Calvin diberi tahu, katanya seisi kantor Surabaya mendengar teriakannya. Setelah itu Calvin membeli martabak untuk semua orang.

"Belum tahu jenis kelaminnya berarti ya?"

Anja menggeleng. "Gue kayaknya gak akan USG jenis kelamin sampai lahiran."

"Mau surprise gitu ceritanya ya?" Tari tersenyum.

"Iya,"

"Ngomong-ngomong, ada perlu apa ke sini? Mau minta tanda tangan?"

"Begitulah. Sama foto bareng," Anja nyengir.

Tari memutar bola matanya. "Ah lo mah gak single gak bunting. Becanda mulu,"

Mereka berdua tertawa.

"Gue ada perlu sama Pak Javas, Tar," Anja tersenyum.

"Ooooh. Tunggu bentar lagi aja. Itu Pak Javas sama Bu Ratri lagi ngomongin project. Project yang harusnya bareng Cadenza..."

Mereka berdua terdiam. Membawa nama Cadenza saat ini, tidak jauh dari Javas, rasanya aneh. Untunglah tidak lama kemudian Bu Ratri pergi dan meninggalkan Javas sendiri. Anja segera berdiri dan menghampiri Javas di mejanya.

"Anja," sapa Javas.

"Halo," Anja melambaikan tangan.

"Congrats on your pregnancy," ujar Javas. "Calvin told me."

And congrats on your second child. He or she might be born not far from today, gumam Anja dalam hati.

"Saya mau kasih ini," Anja mengulurkan amplop putih. "Dari Cadenza."

Tangan Javas menggantung di udara saat Anja menyebutkan nama Cadenza. Tatapan Javas pada Anja jadi lebih tajam. Anja mendadak ingin pergi dari situ saat itu juga.

"Cadenza? Kamu bertemu dia?" Javas berdiri.

Anja menggeleng. "Nggak. Tolong terima saja suratnya. Surat ini dikirimkan Denza berbulan-bulan lalu. Dia minta saya kasih ke Bapak kalau waktunya tepat, yaitu sekarang. Sampai sekarang saya belum dapat kabar apa-apa lagi dari dia."

Javas mengambil surat itu dari tangan Anja.

"Tapi surat ini dikirimkan ke kamu dengan alamat dan nomor telepon kan?"

"Alamat dan nomor telepon kantor pos di Melbourne. Selain itu, saya gak tahu apa-apa lagi. Saya permisi, Pak Javas." Anja mengangguk lalu berbalik. Melambai sebentar ke arah Tari lalu segera berlari menjauh menuju lift.

Javas kembali duduk di kursinya. Dengan tidak sabar membuka surat tersebut. Selembar surat muncul dari amplop putih tersebut dan Javas langsung membacanya dengan rakus.

Hai Javas. Ini aku, Cadenza. Kamu masih ingat?

"Gimana aku bisa lupa?" bisik Javas.

Gak banyak yang mau aku tulis di sini. Pertama adalah bahwa aku terlalu takut untuk bicara langsung dengan kamu. Jadi setelah kita putus, aku yang pengecut ini memutuskan untuk pergi. Jauh. Ke tempat yang mungkin gak bisa kamu temukan. But it's okay. I'm fine and I hope you too.

I Could Get Used To You - END (CETAK & GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang