Prolog

87.6K 3.2K 100
                                    

Jakarta, 2000

Para penumpang yang terhormat, selamat datang di Jakarta.
Kita telah mendarat di Bandar Udara internasional SOEKARNO-HATTA, kami persilahkan kepada anda untuk tetap duduk sampai pesawat ini benar-benar berhenti dengan sempurna pada tempatnya dan lampu tanda kenakan sabuk pengaman dipadamkan. Berakhirlah sudah penerbangan kita pada hari ini atas nama Garuda Indonesia, kapten Raka Aji Aliansyah beserta co-pilot, dan seluruh awak pesawat yang bertugas mengucapkan selamat berpisah dan semoga dapat berjumpa lagi di dalam penerbangan Garuda Indonesia lain waktu.

Sebelum meninggalkan pesawat, kami ingatkan kembali kepada anda untuk memeriksa kembali bagasi kabin anda agar tidak ada barang yang tertinggal. Para penumpang dengan lanjutan penerbangan silahkan melapor pada bagian layanan pindah pesawat di ruang penerbangan.

Terima kasih.

===

"Tante, Ayah kok belum datang? Nanti kalo dedek-dedek bayinya udah lahir gimana?"

Angga, anak laki-laki berusia sepuluh tahun itu mengetuk-ngetukan sepatunya pada lantai rumah sakit. Ia menunggu jawaban dari tantenya.

Sang tante mengusap sayang rambut keponakannya itu. "Angga sayang, Ayah kamu sebentar lagi pasti sampai. Dia di perjalanan menuju rumah sakit ini."

Ranti kembali berdiri setelah menjawab pertanyaan Angga. Ia memperhatikan pintu coklat di depannya. Di dalam sana ada Utami yang sedang berjuang melahirkan anak ketiganya. Istri dari kakaknya itu hanya ditemani oleh ibunya, sedangkan suaminya masih dalam perjalanan menuju rumah sakit.

"Bang Angga! Nanti kalo dedeknya udah lahir, Anton mau kasih ini buat dedek bayi." Seorang anak berusia empat tahun menyodorkan dua es krim pada Angga.

Angga tertawa. "Ah kamu! Ini buat Abang aja. Dedek bayi mana boleh makan es krim," balas Angga sambil mengambil satu es krim itu lalu memakannya.

Anton cemberut, hampir menangis. "Abang! Itu buat dedek bayi."

Anton menghampiri pamannya, suami dari Ranti. "Paman! Esnya dimakan Bang Angga. Ayok kita ke depan, beli lagi es buat dedek bayi."

Ranti dan Devano saling tatap. Di situasi yang menegangkan ini, bocah kecil itu tidak mau diam.

"Yaudah kita ke depan, tapi bukan untuk beli es krim."

Anton cemberut lagi. "Kok gak beli es krim?"

Devano, paman bocah kecil itu mengamit tangan Anton. "Kita tunggu Ayah kamu di depan. Jadi, nanti liat dedek bayinya bisa barengan," balasnya mendapat tepukan senang dari Anton.

"Angga ikut nunggu ayah di depan!" kata Angga.

Namun Ranti mencegah. "Angga, duduk aja ya. Temenin tante," balas Ranti membuat Angga mau tak mau kembali duduk di ruang tunggu. Mengetuk-ngetukan kembali sepatunya pada lantai.

Suara tangis bayi terdengar menandakan Utami berhasil melahirkan anaknya.

Angga melompat-lompat girang karena mengetahui adiknya telah lahir. Sedangkan Ranti tersenyum lega.

"Tante. Kok pintunya belum dibuka?"

"Sebentar lagi, sayang," balas Ranti.

Lima menit berikutnya, suara tangis bayi kembali terdengar. Kini suara bayi itu saling bersahutan.

"Yee! Dedek-dedeknya udah lahir. Yeee!" Angga kembali melompat-lompat lalu memeluk Ranti dengan erat.

Ranti mengucap syukur. Namun masih ada yang di tunggunya. Sang kakak masih belum datang.

Pintu ruang bersalin terbuka. Menampilkan seorang suster. "Bu Ranti. Bayinya kembar dan berhasil lahir dengan selamat, hanya..."

Ucapan perawat yang menggantung itu membuat Ranti menegang.

"Maaf, Bu. Kami hanya bisa menyelamatkan buah hatinya."

Ranti terdiam, dan diam-diam air matanya mengalir. Wanita itu menyejajarkan tingginya dengan Angga.

"Kenapa suster bilang gitu?" tanya Angga.

Ranti mengusap air matanya. "Sayang..." Demi apapun, ia tidak kuat untuk berkata-kata.

Hidung Angga kembang kempis. "Kenapa cuma dedek bayinya yang selamat?"

"Utami! Ayok bangun, Utami! Kamu harus bangun! Mama mau liat kamu gendong mereka. Utami, sayang. Bangun nak."

"Tante. Kenapa di dalam sana Nenek nangis? Kenapa Nenek nyuruh Ibu bangun? Ibu kenapa, tante?" Angga menangis.

Ranti membawa anak sepuluh tahun itu ke pelukannya. Mengusap lembut punggungnya. Mencoba menenangkan walau nyatanya ia sendiri pun tak tenang.

Suara derap langkah menggema. Terlihat seorang pria dengan seragam pilot berlari dan dibelakangnya ada Devano serta bocah kecil berusia empat tahun yang masih setia memegang es.

"Utami gimana, Dek?" tanya pria berseragam pilot itu setelah sampai di depan Ranti. "Lho, kenapa kalian nangis? Utami baik-baik aja? Mereka udah lahir?"

Ranti tak menjawab, membuat Raka seketika berlari ke ruang bersalin.

Raka mematung di ambang pintu. Disana, di atas brankar itu istrinya terbaring lemah. Disampingnya ada ibu mertua Raka yang memeluk Utami dengan mata yang berair. Tak jauh dari mereka, dua orang perawat sedang menggendong masing-masing bayi.

Raka mendekat ke arah brankar. Ia menyentuh tangan Utami. Menatap wajah itu dengan lembut. Memeluk tubuh itu dengan hati-hati. Hatinya berdesir, ia sungguh mencintai wanitanya. Wanita yang telah memberinya empat anak. Wanita yang tak pernah lelah mendoakannya. Wanita yang selalu setia menunggunya pulang.

"Sayang, bangun," ucap Raka.

"Kita punya anggota keluarga baru. Mereka butuh kamu, sayang. Kamu yang akan mengurus mereka hingga besar nanti. Kamu yang akan mendapat julukan ibu terhebat di dunia dari mereka. Kita masih punya banyak mimpi yang harus dikejar. Aku..." Raka menghentikan ucapannya saat satu persatu tetes air mulai berjatuhan.

Pria itu menutup mata, mengecup pelipis sang istri, menggenggam tangannya, memeluk tubuhnya sebagaimana ia masih hidup.

"Terima kasih," bisiknya pilu di telinga Utami.

Raka tergugu mendekap Utami. Menyesal karena ia tak berada di sisi istrinya saat akan melahirkan.

Suster meletakkan kedua bayi kembar itu di tempat bayi. Ranti menghampiri keduanya dengan tangis tak tertahankan. Anton masih bersama Devano, walau tak mengerti akan apa yang terjadi tapi bocah kecil itu ikut menangis. Sementara Angga di pelukan sang nenek dengan isakan tangis yang sama.

"Kak, mereka butuh kamu," ucap Ranti membuat Raka mengurai pelukannya pada sang istri lalu berpindah pada kedua bayi kembarnya.

Raka menghela nafas. Ada yang datang dan ada yang pergi. Saat keterpurukannya kehilangan sang istri, Tuhan menggantinya dengan kehadiran dua anak kembar.

Raka menatap kedua putra putrinya. Ia menunduk, berada di tengah-tengah si kembar.

Dengan air mata yang tersisa, dan senyuman tipis di bibirnya Raka menggetarkan suaranya untuk kedua buah hatinya. "Allahu Akbar, Allahu Akbar..."

Angga tiba-tiba melepas pelukannya pada Neneknya. "Angga gak mau dedek kembar! Angga cuma mau Ibu!" katanya berteriak lalu berlari meninggalkan ruangan itu.

===

12 Jan, 2019

Cerita ini harusnya aku up setelah Lembaran Sakura tamat. Tapi bodo amat lah ya, daripada mereka terus menari-menari di isi kepalaku, lebih baik aku up saja.

Sangat menerima kritik dan saran, serta vote dari kalian. Semoga suka. Terima kasih sudah membaca.

Cakrawala [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang