Confusion and Anger

4.1K 824 94
                                    

Seokjin merasa nyawanya sudah pergi dari tubuhnya.

Ketika Namjoon mengatakan bahwa dia menyukainya, satu-satunya hal yang ada di dalam pikiran Seokjin adalah 'sejak kapan?'.

Seokjin tidak pernah melihat bahwa Namjoon menyukainya, Namjoon masih menjadi teman terbaiknya sejak dulu dan Seokjin tidak pernah melihat perbedaan dari sikap Namjoon. Namjoon selalu bersamanya sejak dulu, bagaimana mungkin Seokjin bisa tidak sadar bahwa Namjoon menyukainya?

Bagaimana mungkin dia bisa tidak menyadarinya?

Bagaimana mungkin Seokjin bisa sangat careless seperti ini?

Seokjin melangkah masuk ke rumahnya dengan langkah lunglai, dia merasa hampir tidak memiliki tenaga lagi. Kenyataan yang baru diterimanya jelas sangat mengejutkan. Namjoon adalah temannya, mereka berteman selama sekian tahun dan Seokjin selalu melihat Namjoon sebagai sosok teman terdekatnya, jadi bagaimana bisa Namjoon mengubah cara pandangnya terhadap Seokjin?

"Oppa?"

Seokjin menghentikan langkahnya saat mendengar suara Jisoo. Dia mengangkat pandangannya dan melihat adiknya itu tengah menatapnya dengan sebelah alis terangkat dan raut wajah bingung.

"Kau seperti habis melihat hantu," Jisoo melangkah mendekati Seokjin, "Kau baik-baik saja?"

Seokjin tidak menjawab, dia terpaku menatap adiknya sebelum kemudian tersenyum tipis, "Aku.. baik-baik saja."

Jisoo mengerutkan dahinya, "Kau yakin?"

Seokjin mencoba memaksakan sebuah senyum, "Dimana Mama dan Papa?"

"Mereka pergi untuk seminar dan kuliah umum." ujar Jisoo. Kedua orangtua mereka adalah Professor yang cukup tersohor di Korea Selatan dan karena itulah kedua orangtuanya sangat mendukung masa studi Jisoo dan Seokjin.

Jika itu urusan belajar, maka Jisoo dan Seokjin akan dibebaskan memilih jurusan yang mereka mau. Namun sayangnya orangtua mereka sedikit ketat lantaran mereka adalah pasangan Professor.

Biarpun Seokjin dan Jisoo sering ditinggal sendirian di rumah, mereka menerapkan aturan-aturan tidak tertulis dan itu membuat Seokjin dan Jisoo lebih sering berada di rumah daripada di luar.

"Mereka tidak ada di rumah malam ini, kau yakin tidak mau menceritakan apapun padaku?" tawar Jisoo lagi karena dia tahu Seokjin tidak akan banyak bicara jika kedua orangtuanya berada di rumah.

Seokjin mencoba menolak dan memasang wajah yang meyakinkan pada Jisoo namun saat melihat bola mata adiknya yang menatapnya, Seokjin tidak bisa berbohong. Seokjin menghela napas pelan, "Aku punya masalah serius."

Jisoo tersenyum lembut, dia sangat memahami Seokjin seperti dia memahami bagian belakang telapak tangannya sendiri. Terbiasa ditinggal hanya dengan Seokjin di rumahnya membuat Jisoo dan Seokjin menjadi sangat dekat karena mereka selalu bermain bersama dan hanya memiliki satu sama lain.

Jisoo meraih tangan Seokjin dan membawanya ke sofa di ruang tengah rumah mereka. "Duduklah dulu, aku akan buatkan cokelat panas untukmu."

Seokjin tersenyum, "Terima kasih,"

Jisoo mengangguk, "Santai saja, big bro." Jisoo berlalu menuju dapur untuk membuatkan cokelat panas dan sepuluh menit kemudian dia sudah kembali dengan dua mug berisi cokelat panas yang masih sedikit mengepulkan asap.

Jisoo menyerahkan salah satu mug pada Seokjin kemudian duduk di sebelah kakaknya dan menyesap cokelatnya. "Jadi?"

Seokjin menyesap isi gelasnya kemudian terdiam sesaat, pandangannya fokus ke arah gelasnya sementara jemarinya bermain-main di sekitar gelas. "Aku tidak tahu apa sebaiknya aku menceritakan ini padamu," Seokjin menghela napas pelan, "Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya harus menghadapi ini tanpa bercerita pada siapapun."

[1] The Beginning of The RoadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang