Bab 3.2 - Frienemy

1K 80 23
                                    

Bab 3.2

Frienemy

Arnette mendesah lega setelah dokter memberitahunya jika tidak ada patah tulang atau retak di hidung pria itu. Namun, di sebelahnya, pria yang menjadi korban benturan kepalanya tadi malah tersenym geli.

"Kalau kepalanya ... nggak ada yang aneh, Dok?" tanya Arnette hati-hati. Teringat bagaimana tadi pria ini tertawa setelah hidungnya berdarah seperti itu.

"Kepalanya juga baik-baik saja," jawab dokternya.

Arnette ingin bertanya lagi, tapi Javas sudah lebih dulu berkata padanya, "Aku nggak gila. Belum."

Arnette menatap pria itu ragu.

"Kalau kamu ngerasa sebersalah itu, kenapa kamu nggak tanggung jawab aja?" ucap pria itu.

"Ini aku tanggung jawab, makanya aku bawa kamu ke dokter," balas Arnette.

"Kenapa aku mendadak ngerasa kayak lagi di sinetron yang habis jadi korban tabrakan trus disuruh diam pakai uang, ya?" Javas menelengkan kepala.

"Bukan kayak gitu!" tukas Arnette.

"Kalau gitu, kasih tahu aku namamu."

Arnette mengernyit. Ia mengabaikan kata-kata pria itu dan berpamitan pada dokter yang merawat Javas sembari mengucapkan terima kasih. Namun, ketika ia sudah berdiri, Javas masih duduk di tempatnya.

"Kamu ngapain masih di situ?" desis Arnette.

"Aku nggak akan pergi dari sini sampai kamu ngasih tahu namamu," sahut Javas enteng.

Arnette menatap ke arah dokter yang tersenyum geli. Malu, Arnette segera menarik Javas untuk berdiri, tapi pria itu tetap bergeming. Arnette akhirnya menyerah.

"Arnette," ia menyebutkan.

"Ar ... gimana ngejanya? Arnet pakai t atau d?"

Arnette menarik napas dalam. "A-R-N-E-T-T-E."

Javas tersenyum puas. "Beautiful name," ucapnya seraya berdiri. Ia juga lantas berpamitan pada dokter yang merawatnya tadi.

"Aku balik dulu ya, No."

Namun, cara pria itu berpamitan pada dokter itu ...

"Kamu kenal dokternya?" tanya Arnette penasaran.

Javas tersenyum padanya. "Tadinya aku minta dia bilang ke kamu kalau hidungku patah, tapi dia nggak mau. Yah, gimana lagi, meski aku kayak gini, tapi aku punya teman-teman yang jujur. Sayang banget, sebenernya."

Arnette menyipitkan mata.

"Dia cuma becanda," ucap sang dokter.

Arnette menoleh kaget. Ia semakin merasa malu. Ia menggumamkan maaf sebelum buru-buru keluar dari ruangan itu. Kali ini, ia tak peduli meski Javas duduk di kursi itu sampai minggu depan sekalipun.

Namun, tepat di pintu keluar klinik, Javas sudah membarengi langkah Arnette.

"Arnette," panggil pria itu.

Arnette sebenarnya malas membalas panggilan itu.

"Apa?" ketusnya.

"Nggak pa-pa. Ngecek aja. Itu beneran namamu atau bukan." Javas tersenyum, tak sedikit pun merasa bersalah.

Oke, Arnette memutuskan. Meski pria ini berkeras jika mereka berteman, tapi bagi Arnette, pria ini adalah musuhnya. Lagipula, tidak mungkin pria ini benar-benar ingin berteman dengannya. Tidak, setelah apa yang terjadi di antara mereka.

Meski Arnette berpikir seperti itu, ia menarik Javas mundur ketika serombongan anak laki-laki lewat di depan mereka sambil memutar-muta bola basket di tangan mereka. Sebagai balasan untuk itu, Javas berkomentar,

"Aku benar-benar punya teman-teman yang baik."

Arnette memperingatkan dirinya untuk bersabar. Minggu depan, begitu ia memastikan hidung Javas sudah benar-benar baik-baik saja, ia akan pergi. jauh dari pria itu dan kekacauan di sekitarnya. Namun, ketika Arnette sudah akan berjalan pergi, Javas menahan lengannya.

Seketika, Arnette menarik tangannya dari pria itu dengan kasar. Arnette bahkan terkejut dengan reaksinya sendiri. Sementara, Javas tak sedikit pun tampak terkejut. Pria itu menelengkan kepala.

"Jadi, aku nggak boleh nyentuh kamu, tapi kamu boleh nyentuh aku seenaknya?"

Arnette mengerjap bingung.

"Tiga kali kamu megang aku. Di kafe, di dalam tadi, dan barusan. Aku nggak masalah sama itu, tapi ... kenapa aku nggak boleh ngelakuin sebaliknya?"

Arnette melangkah menjauh dari Javas ketika pria itu mengulurkan tangannya. Javas mengernyit.

"Kamu ... alergi sama manusia? Atau ... alergi sama aku?"

Arnette tak tahu harus menjawab apa.

"Kamu selalu kelihatan jijik tiap kali aku nyentuh kamu," ucap pria itu tanpa tedeng aling-aling.

Arnette bergerak gelisah di tempatnya. Apa sebaiknya ia pergi sekarang? Lalu, bagaimana jika nanti Javas menuduhnya melarikan diri dan tidak mau bertanggung jawab?

"Kamu nggak perlu jawab sekarang," Javas berkata. "Tapi, sampai kamu ngasih aku jawabannya, kamu harus jadi temanku. Oke?"

Tidak. Ini tidak oke. Sama sekali tidak oke. Namun, Arnette sepertinya tak punya pilihan lain. Toh, ia hanya perlu bertahan selama seminggu.

Oke, seminggu. Oke.

***    

Lost in Your Eyes (End di Karyakarsa allyjane)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang