Bab 3.1
Frienemy
"Apa lagi yang kamu rencanain sekarang?" tanya Wildan sembari menatap Javas penuh kecurigaan.
"Apa? Aku mau bantuin di kafe dan aku salah?" Javas merentangkan lengan.
"Kita sama-sama tahu, bukan itu alasanmu ada di sni sekarang."
Javas tersenyum. "Jangan khawatir. Aku udah temenan kok, sama cewekmu itu."
Wildan mengenyit. "Apa maksudmu?"
Javas mempertemukan kedua tangannya dan menunjukkan gestur bersalaman. "Temenan. Aku sama cewek itu."
Wildan tampak ragu. Jelas sekali dia tampak ragu.
"Kalau nggak percaya, tanya sendiri sama cewekmu itu. Nanti dia ke sini, kok."
Wildan mengerutkan kening. "Ke sini? Setelah apa yang kemarin kamu lakuin ke dia?"
"Udah aku bilang, kami temenan sekarang. Kamu mikirnya jelek mulu kalau tentang aku, Wil. Aku tersinggung juga lama-lama." Javas menyentuh dadanya, sok tersinggung.
"Harus berapa kali aku ingatin kamu, jangan ganggu cewek itu, Jav. Dia itu ..."
"Tuh, dia datang." Javas memotong kalimat Wildan dan mengedik ke arah pintu kafe.
Wildan berbalik dan ia terbelalak tak pecaya melihat gadis itu benar-benar ada di sana. Sementara, Javas tak dapat menahan senyumnya. Terutama melihat paper bag di tangan gadis itu. Ia memperhatikan keraguan gadis itu ketika tatapan mereka bertemu. Namun, seolah tak punya pilihan lain, gadis itu berjalan ke arahnya.
Saat itu, Javas seolah tak melihat apa pun di sekitar mereka. Hanya Javas dan gadis itu. Begitu gadis itu berdiri di counter pemesanan, Javas ikut berdiri di depan meja counter pemesanan, berseberangan dengan gadis itu.
"Iced chocolate large?" Javas memastikan.
Gadis itu tampak terkejut, tapi ia kemudian mengangguk.
"Ada lagi?"
Gadis itu menggeleng. Ia menatap Javas dan Javas juga menatapnya.
"Satu iced chocolate large, lima belas ribu," sebut Javas.
Gadis itu mengerutkan kening, tampak bingung.
"Kalau kamu nggak bawa uang, biar aku yang traktir," lanjut Javas.
Seketika, gadis itu tersadar. Ia gelagapan dan merogoh ke kedua saku jaketnya. Kali ini ia kembali memakai warna abu-abu.
"Oh!" pekik gadis itu ketika ia menjatuhkan paper bag-nya. Ia menunduk. Javas ikut melongok melewati counter pemesanan, sedikit menunduk. Detik ketika Javas melihat kepala gadis itu, ia merasakan hantaman keras di wajahnya. Hidungnya sepertinya patah. Setidaknya, retak.
Namun, rasa sakit yang menyengat hidungnya seketika mereda ketika Javas melihat kecemasan gadis itu. Lagi-lagi ia menjatuhkan paper bag yang barusan diambilnya. Lalu, tiba-tiba tangan kecil gadis itu menangkup wajahnya. Javas kontan membeku.
Di depannya, gadis itu berjinjit, mendekatkan wajahnya dengan wajah Javas. Javas bisa melihat dengan jelas bayangan wajahnya di mata gadis itu. Mata hitam yang jernih.
"Gimana ini? Hidungmu nggak pa-pa? Oh! Hidungmu berdarah!"
Javas mengerutkan kening, berusaha mencerna kata-kata gadis itu. Lalu, ia merasakan sesuatu mengalir dari hidungnya. Jelas, itu bukan ingus. Ia tidak sedang flu. Sementara, gadis penyebab hidungnya entah patah atau retak itu tiba-tiba melepas jaketnya dan menempelkannya ke hidung Javas. Tidak, lebih tepatnya, ia membekap wajah Javas dengan jaketnya.
Javas tahu ini adalah saat paling tidak masuk akal untuk tertawa, tapi itulah yang Javas lakukan. Ia menarik turun jaket gadis itu, menutup ujung hidung dengan jarinya sendiri dan tertawa.
"Oh!" Gadis itu terkesiap dan melangkah mundur. Tatapannya tampak ngeri. "Kepalanya kebentur keras banget dan kayaknya udah bikin dia gila. Siapa pun, tolong telepon rumah sakit!" serunya panik.
Tuhan, siapa gadis ini sebenarnya? Kenapa Kau mengirimnya pada Javas? Namun, karena Tuhan sudah berbaik hati mengirim gadis yang bisa membuat Javas tertawa di momen paling tidak masuk akal, Javas tidak akan pernah mengembalikannya. Hidup Javas tak pernah seramai ini bahkan ketika ia bersama teman-temannya yang super berisik.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost in Your Eyes (End di Karyakarsa allyjane)
AcakArnette benci keramaian. Hidup sebatang kara, setelah kematian orang tua dan kakaknya, Arnette mulai takut dekat dengan orang lain. Ia takut akan merasakan kehilangan lagi. Javas benci sendirian. Ia selalu hidup dalam kesepian dan kesendirian sejak...