4

367 99 48
                                    

Ciee aku up~

Selamat menikmati uwuu :*

Sayang kalian

Pukul setengah delapan malam, Woojin baru terbangun dan sialnya sudah membuat keributan lagi di rumah sakit itu. Guanlin saja sempat heran, kapan Woojin bisa diam barang sejenak saja. Tidak mungkin 'kan, dia harus menunggu Woojin tertidur selalu agar melihat anak itu diam.

Guanlin memijat pelipisnya melihat dua laki laki yang jauh berbeda sekali bentuknya yang sedang berdebat, entah karena masalah apa. Sial sekali, ia menyesal sekali karena tidak pulang duluan saja sesuai saran Seongwoo tadi.

"Aku tidak menyuruhmu untuk membantuku!"

"Sudah kukatakan, kalau aku tidak membantumu mungkin kau sudah mati tadi!"

"Biarkan saja, memangnya apa pedulimu?!"

"Kenapa kau keras kepala sekali, sih?! Terus saja kau berlaku seperti ini, maka orang terdekatmu akan menjauhimu karena sifat egois dan keras kepalamu!"

"Aku tau kalau aku memang menyebalkan, jadi untuk apa kau masih mengikutiku terus?!"

"Aah! Sial! Kenapa kau susah mengerti, sih?!"

Hhh—Guanlin menghela nafasnya kasar. Jengah sekali ia melihat kedua orang itu. Ia melangkah mendekati mereka, mencoba menengahi agar berhenti berdebat. Kalau mereka masih saja berdebat dengan suara tinggi seperti itu, mereka bisa saja mengganggu pasien lain dan berujung dengan dihusir oleh satpam.

"Kau yang bodoh!"

"Hei, ingat, kau juga bodoh ya, Park Woojin! Silahkan berkaca dulu!"

"Seperti kau itu pintar saj—"

"Bisa tidak, kalian menghentikan perdebatan tidak penting kalian?" ujar Guanlin dengan nada kesalnya.

Sedangkan dua orang yang dimaksud menatapnya tak kalah kesal juga. Membuatnya mengernyit bingung karena tak mengerti dengan kedua sejoli ini.

"Apa? Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Guanlin bingung.

"DIAMLAH!" teriak Woojin dan Daniel bersamaan.

Guanlin mengerjap dan mundur satu langkah. Kalau dihadapkan dengan dua berandalan yang suka berkelahi seperti ini mana bisa melawan dia. Dia 'kan pandainya menjahit dan menyuntik orang, bukan memukul.

Guanlin menarik napas sejenak, kemudian dia meraih lembut bahu pria yang lebih mungil dan menghadapkannya ke arahnya, sehingga perhatian preman gadungan yang sialnya manis itu fokus kepadanya.

"Kau bisa lanjutan perkara rumah tangga kalian nanti, tapi tolong catat ini di otakmu! Dua hari lagi kau harus ke sini untuk membersihkan lukamu . Tidak ada penolakan, dan sekarang aku ijinkan kalian untuk berdebat lagi." Ucap Guanlin sambil menepuk bahu Woojin agak keras yang membuat pemuda bergingsul itu meringis.

.
.
.
.
.
.
.

Jam pulang sekolah masih satu setengah jam lagi, tapi entah kenapa perpustakan yang woojin klaim sebagai tempat nongkrong ini sepuluh kali lipat membosankan dari hari biasanya.

Woojin suka ketenangan, dan tentu saja pertikaian. Pemuda itu selalu gatal apabila satu hari saja tidak memancing emosi orang lain. Berandalan, preman, bocah tidak bisa diatur, egois, keras kepala. Dia sudah pernah mendengar semuanya. Memang siapa yang peduli? Orang tuanya? Ck mereka hanya bisa marah-marah, setelah itu kembali fokus pada tumpukan kertas putih yang Woojin yakin tak kalah membosankan seperti hidupnya saat ini. Hidupnya memang monoton. Dan menurutnya, berkelahi adalah salah satu hal dari sekian banyak hal yang membuat hidup pemuda itu menjadi lebih ekstrim dan tidak membosankan.

Lalu Daniel? Hey lupakan, pria itu punya kepentingan sendiri, Woojin sudah terlalu kecewa dengan pria bermarga Kang itu. Menjadikan Woojin sebagai bahan taruhan? Yang benar saja? Woojin terlalu berharga untuk dijadikan taruhan. Tapi seperti yang kalian lihat, karma seolah mendatangi si Kang brengsek yang pandai bertinju itu.

From The Vulnus |PanchamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang