5

406 98 24
                                    

Guanlin dan pasien imutnya siap menemani malam minggu kalian :*

Uwuu :*

Woojin terus merutuk dalam hati. Setelah memutuskan panggilan telepon secara sepihak, ia membentur benturkan kepalanya dengan pelan pada helm yang sempat ia lepas tadi. Merasa bodoh karena bisa bisanya ia menelepon Guanlin dan memintanya untuk bertemu.

Lagipula kenapa ia tiba tiba menelepon Guanlin begity?! Aaarggh!!!

Apa yang harus ia katakan nanti jika Guanlin bertanya apa tujuannya mengajak Guanlin bertemu?

Park Woojin gila!

Woojin menghela nafas pelan, matanya beralih menatap tangannya kirinya yang masih sedikit menggunakan perban, yang ia pasang dengan asal asalan tadi pagi karena ia tidak bisa memasang perban sendiri. Lukanya masih terbuka, tapi memang tidak mengeluarkan darah lagi, tapi kalau ia memakaikannya dengan plaster dokter melarangnya.

Woojin terkikik geli. Ia akan mengatakan pada Guanlin kalau ia ingin mengganti perban saja dan memintanya untuk memeriksa lukanya.

Woojin kembali memasang helmnya, kemudian segera melajukan motornya menuju rumah sakit.
















Di sinilah Woojin sekarang berada, duduk di bangku taman rumah sakit. Menunggu kedatangan Guanlin sembari memainkan handphonenya. Tadi ia sudah sempat mengatakan pada pihak resepsionis untuk mengatakan bahwa ia menunggu Guanlin di taman rumah sakit.

Ia menghela nafas pelan, memasukkan ponselnya pada saku jaket denimnya, kemudian maniknya mengedar, memperhatikan sekitaran dengan senyum tipis di wajah manisnya ketika memperhatikan salah satu anak kecil yang sedang merajuk karena tidak ingin memakan obatnya. Lucu sekali, tapi ia merasa kasihan saat melihat jarum infus yang berada di punggung tangannya.

Pasti sakit sekali, padahal anak itu masih kecil.

"Hei."

"Sialan!" Woojin mengusap dadanya karena terkejut dengan sapaan Guanlin dari belakang, ia benar benar terkejut. Well, ia memang mudah terkejut pada dasarnya.

"Bisa tidak, jangan mengagetiku!" rutuk Woojin pada Guanlin yang hanya tertawa pelan dan mengambil posisi di sampingnya.

"Salahmu sendiri yang terlalu serius memperhatikan anak itu."

"Itu salahmu! Harusnya datang dari depan, bukan dari belakang. Kalau aku jantungan bagaimana? Memangnya kau mau mengganti jantungmu dengan jantungku kalau jantungku nanti rusak karenamu? Cih."

Guanlin lagi lagi tertawa, tapi kali ini lebih kuat daripada yang tadi. Semakin membuat Woojin merasa kesal saja.

"Anything for you." Woojin mengernyitkan keningnya bingung. Apa katanya?

"Huh?"

"Tidak ada."

Woojin mencebikkan bibirnya kesal, pandangannya kembali lagi lurus ke depan, memperhatikan pasien pasien yang tengah menikmati udara taman rumah sakit ini. Pasti mereka semua merasa bosan berada di dalam kamar rawat inap mereka.

"Ada apa memanggilku kemari?"

Woojin mematung di tempatnya. Ah sial, kenapa rasanya jantungnya hampir ingin copot begini saat mendengar suara berat khas pria Lai itu? Padahal dari tadi ia sudah menyiapkan kata kata yang sekiranya pas untuk ia jawab ketika Guanlin bertanya.

"A-aku hanya ingin memeriksa luka ku yang kemarin kok. Iya, hehe." sahut Woojin kikuk. Ia menggaruk tengkuknya pelan. Merasa salah tingkah karena ia benar benar malu.

"Hmm, benarkah?" huh, sial. Pasti pria Lai ini ingin menggodanya.

"Benar! Memangnya untuk apa lagi aku meminta bertemu denganmu kalau bukan untuk itu?" sergah Woojin dengan cepat. Ia menoleh dan mendapati pria Lai itu yang sedang memasang tampang yang membuatnya ingin menamparnya hingga pipi putihnya memerah.

"Tidak, aku hanya kurang percaya saja. Pasalnya preman gadungan sepertimu kupikir malas sekali untuk sekedar pergi ke rumah sakit dan memeriksa lukanya."

"Kau sendiri yang mengatakan padaku untuk datang kembali!"

"Iya, tapi ku pikir kau tak akan mau datang. Atau jangan jangan kau ingin bertemu dengan ku karena kau rindu padaku? Wahh, preman seperti mu bisa rindu pada seseorang rup—Aahhk!"

Woojin menatap kesal dengan wajah memerah padamnya pada Guanlin yang tengah meringis setelah ia memberikan cubitan pedas pada perut si perawat muda. Ia benar benar kesal, bagaimana bisa orang sepertinya berbicara begitu pedenya?

Sedikit kesal juga pada dirinya sendiri, yang sama sekali juga tidak tahu apa maksud dan tujuannya untuk mengajak Guanlin bertemu.

"Hei, padahal aku hanya bercanda. Kenapa kau terlalu bawa perasaan sekali sih?"

Woojin menundukkan kepalanya. Terbawa perasaan? Benarkah? Apa selama ini ia memang bersikap seperti itu?

"Emm, maaf kalau perkataanku menyinggungmu, aku tidak bermaksud begitu kok. Maaf." Woojin menggeleng cepat, menatap Guanlin yang sedang memasang wajah bersalahnya, membuatnya merasa tidak enak hati juga.

"Tidak, tidak! Kau tidak salah kok."

Hening cukup lama. Guanlin juga hanya diam, membiarkan Woojin yang berbicara terlebih dahulu saja. Ia yakin jika pria manis di sampingnya memang tidak ingin memeriksa lukanya, karena jelas sekali raut wajahnya yang terlihat gugup dan ragu untuk menjawab pertanyaannya.

"Mm... Menurutmu, aku bagaimana?" Woojin membuka suara, Guanlin yang mendengarnya cukup bingung dengan pertanyaan yang menurutnya cukup ambigu.

"Maksudnya?"

"Ya itu. Menurutmu aku orangnya bagaimana? Kau orang yang baru ku kenal, bahkan baru kutahu namanya tadi, tapi kau mungkin bisa menilaiku, kesan pertama mu saat bertemu denganku."

"Aahh~" Guanlin mengangguk mengerti dan mulai berpikir sejenak. Kesan pertamanya bertemu dengan Park Woojin, ya...

"Err... Cukup buruk. Hehe... Ya, setidaknya itu yang kurasakan saat bertemu denganmu tapi kau sudah mengumpatiku berpuluhan kali. Seperti kau bertemu dengan musuhmu, menjambak rambutku, dan kembali mengumpat." Woojin merningis kecil saat mengingat kembali pertemuan pertama mereka. Ya, ia pantas dikatakan buruk kalau begitu.

"Tapi jika aku melihat ke dalam matamu, seperti ada sesuatu yang kau sembunyikan, apa yaa... Seperti.. Kesedihan? Kesepian? Ah tidak tahu, aku bukan psikolog, tapi kurasa kau melakukan hal itu hanya untuk pertahanan dirimu, seperti ular yang akan mengeluarkan bisanya jika ia merasa terancam. Well, aku yakin, seseorang melakukan sesuatu pasti ada penyebabnya, dan aku belum bisa menilaimu begitu saja karena aku belum benar benar mengenalmu."

Woojin diam mendengarkan. Perkataan Guanlin cukup membuat hatinya sedikit menghangat. Baru kali ini seseorang menilainya seperti itu. Biasanya orang lain langsung mengatainya seseorang yang tidak berguna, tidak punya otak, brengsek, pembuat onar, tidak tahu diri, dan lain lain yang membuatnya kini terbiasa ketika mendengarnya, tapi tak dapat di pungkiri jika sedikit banyak terkadang ia merasa sakit hati dan membuatnya  merasa kepikiran.

"Baiklah, terima kasih atas pendapatnya." ujar Woojin setelah mereka berdua kembali terdiam beberapa saat.

***

Hello, miss this work? atau jangan-jangan-jangan kelen kangennya sama aq? ayo ngaku ;"

Ga deng bercandaaaa.

Cuma mau bilang, sesuai dugaan isi ignya daniel banyakan kucing :"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 05, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

From The Vulnus |PanchamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang