01 Mahesa

23 5 0
                                    

Mahesa Wirajalu, para guru sering memanggilnya seperti itu walaupun dengan intonasi yang tinggi karena kesal akibat kenakalan yang diperbuat.

Tapi itu dulu, ketika masih kelas sebelas, saat kadar kenakalannya masih luar biasa dahsyat. Benar-benar merugikan. Apalagi ketika dia harus dipanggil ke ruangan konseling karena ikut tawuran melawan anak sekolah lain, otomatis sang bapak juga harus maju dengan amarah yang meluap.

Bukan maju karena dipanggil dengan surat dari guru konseling untuk orang tua, tapi memang maju karena mendapat surat keluhan dari sekolah yang berasangkutan itu langsung. Iya, bapaknya kepala sekolah sekaligus TNI.

Esa pasrah saja ketika harus mendapat tamparan kasih sayang dari si bapak yang benar-benar mantap. Perih dan juga panas bersatu menjadi satu, alhasil membuat cap tangan dipipi yang tidak begitu mulus itu. Maklum, jarang perawatan.

Itulah sekelibat masa suramnya ketika masih kelas sebelas, kini Esa memang sudah berubah karena sudah naik ke kelas dua belas yang menjunjung tinggi penilaian sikap jika mau lulus, walaupun sebenarnya alasan berubah bukan hanya karena naik-nya kelas yang ia duduki, tapi juga karena dorongan ingin ternotice oleh seseorang.

Iya, dia jatuh cinta. Alasan yang benar-benar klasik untuk berubah. Entah ini memang hal sial atau anugerah, anak itu jatuh cinta pada siswi baik-baik. Lebih tepatnya siswi jurusan TKJ yang terkenal karena kepintarannya dalam mapel MIPA.

Gadis itu Liana Amalia, sering dipanggil Lian. Satu-satunya gadis yang sukses memporak-porandakan batas keamanan hati Esa yang sudah disetting hanya untuk mencintai sang ibu seorang.

Benar-benar gadis yang luar biasa.

"Pagi Lian!" sapaan yang tidak pernah lupa Esa ucapkan setiap pagi walaupun yang menerima cuma menatap acuh tak acuh.

Ah ... Benar-benar laki-laki malang, karena harus menaruh hati pada gadis dengan hati sedingin es, ditambah dengan fakta bahwa Lian itu paling tidak suka dengan anak nakal macam Esa.

"Mending lo nyerah ajalah, sama-sama punya dosa sekolah mah mending gausah ngincer begituan."

Itu adalah salah satu contoh perkataan menohok dari teman-temannya, menyuruh Esa menyerah karena mereka tahu bahwa kisah cinta anak itu palingan kandas tanpa sempat memiliki.

"Jangan panggil gue Mahesa Wirajalu  kalo nyerah gitu aja, lo pada lupa ya kalo dosa gue tuh cuma satu," ucapnya dengan sorot mata penuh percaya diri, lalu melanjutkan. "Dosa gue tuh cuma terlalu ganteng."

Ahh semerdekanya dia saja, toh mereka sudah mengingatkan. Mau menurut ya alhamdullilah, kalau tidak mau ya terserah.

Karena teman-temannya itu tahu, kalau Mahesa itu kepala batu. Jadi percuma saja mau bicara sampai mulut berbusapun tidak akan dia dengar.

Solanya, Mahesa itu tipikal orang yang jika memutuskan memilih A, ya bakal dia pilih terus sampai titik akhirnya terlihat. Walaupun kata orang hasilnya akan buruk, Mahesa tidak peduli. Karena jika bukan dia yang merasakan langsung, dia tidak akan percaya dengan kadar buruk yang orang lain pikirkan itu seperti apa. Bisa saja ketika orang lain berpikir itu buruk tapi dipikiran Mahesa malah baik.

Toh kalaupun hasilnya buruk, palingan dia cuma dapat hikmah hidup. Tidak akan membuatnya sampai mati, kan?

Jadi kalau masih bisa, ya coba.

.

.

.

Tbc~

moonchildTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang