Sabtu sore.
Waktu dimana para siswa mulai berhamburan dari kelas untuk segera pulang. Maklum sabtu tidak libur, alhasil harus memaksakan rasa jenuh yang melanda sampai sore, menyisakan wajah-wajah kusam dan suram menghiasi.
Sama halnya dengan Esa, aura badmood sudah tersirat di wajahnya. Beberapa teman kelasnya yang menyapa untuk sekadar berpamitan cuma ia balas dengan anggukan atau dehaman. Bukannya dia sombong, hanya saja pikirannya sudah tertuju ke kasur di kamarnya.
Dia benar-benar lelah, apalagi ketika matematika yang tadi sempat membuat kepalanya ingin pecah kembali teringat, langsung bertambahlah rasa ingin tidur nyenyak selama 24 jam.
"Mahesa!"
Suara teriakan dari seseorang menggelegar di lorong koridor dan Esa tidak berniat menoleh, toh dia sudah tahu siapa sipemilik suara sekeras to'a masjid ini.
Siapa lagi kalau bukan Jamil.
"Elah tong, gue panggil-panggil kagak nyaut lo! Budek?"
Esa cuma memutar mata malas, ingin menghujat tapi kasihan pendek, ya akhirnya Esa cuma diam menelan kembali kata-kata hujatan yang hendak keluar dengan kesabaran.
"Sekarang jadi kagak kerumah si Devon? Bukannya lo udah niat mau belajar hah? Jangan bilang kalo cuma wacana."
"Iya jadi ... Insyaallah tapi hehe."
"Si anjir, halah bullshit lo mah! Paling akhirnya lu kagak jadi cuma gara-gara maen pe'es sama si Ehan kan? Bukan karena Allah tidak mengizinkan! Ngaku lo!" Esa yang di tuduh dengan fakta yang akurat cuma bisa cengengesan.
Jika boleh, mungkin sekarang Jamil sudah melempar Esa kedalam tong sampah sekolah lalu menutupnya dengan tutup panci mang kumis untuk sekadar memberi anak itu pelajaran.
Tapi apa daya rasa sabar terlalu tinggi, alhasil cuma bisa menghela napas panjang.
"Jadi? Gajadi gitu?" tanya Jamil dengan wajah lesu, tapi Esa cuma bisa memamerkan senyum kotaknya alhasil Jamil gabisa marah dong.
"Gue cape lah Mil tadi pelajaran emteka, mana gue disuruh kedepan kagak bisa! Malu lah tong! Butuh tidur."
"Nyambung nya dimana kadal! Malu sama tidur apa hubungannya!" Alhasil satu jitakan sukses mengenai kepala Esa dengan amat sangat mulus.
"Ya berhubungan lah! Kalo tidur ntar malunya ilang!" ucap Esa nyolot, walaupun nyolot dengan kebodohan.
Ah persetan, yang penting nyolot dulu aja - Mahesa
"Iyain sa, iyain gue mah."
Ya begitu ... Mereka gaada acara pulang naik motor seperti anak lain, karena memang jarak sekolah dan rumah cuma berbeda beberapa meter saja.
Mungkin kalau kata orang sih rumah dekat sekolah itu enak, gampang pulang gampang dateng. Gaperlu takut kesiangan dan juga terkena macet saat pulang.
Tapi namanya juga hidup, ada enaknya pasti ada sumpeknya. Sumpeknya itu ketika dapat masalah disekolah, orang rumah pasti gampang tahu. Apalagi Esa yang bapak'nya memang kepala sekolah, ya mampus saja.
Sekitar 10 menitan, Esa hampir sampai rumah sedangkan Jamil harus tetap jalan karena memang letak rumahnya dekat masjid diujung komplek. Jamil sih niatnya mau segera pulang dengan cara melebarkan langkahnya lalu meninggalkan Esa dibelakang walaupun kalau dipikirkan percuma karena tinggi badan yang berbeda drastis dengan Esa. Tapi belum juga melakukan nitanya, atensinya keburu terpusat pada sauatu rumah yang kini lampu luarnya masih menyala seperti tadi pagi.
"Kenapa?"
"Lo masih inget rumah ini kagak?"
Esa cuma menaikan sebelah alisnya, lalu ikut menatap rumah yang bisa Esa tebak tidak pernah dimatikan lampunya karena memang tidak ada orang. Dan kembali kepada pertanyaan dari Jamil tentang ingat atau tidak, tentu saja jawabannya ingat.
Mana mungkin Esa lupa akan rumah teman masa kecilnya. Teman main dari TK dan berakhir saat SD kelas enam dimana sang teman harus pergi karena Ayahnya dipindah tugaskan ke Jogja.
"Ya inget lah, mana bisa gue lupa Mil."
"Bener juga, lo kan sering berantem sama dia," ucap Jamil dengan nada sarkatis.
"Iyalah yang ditaksir mah beda, gapernah berantem." Esa langsung saja membalikan badannya, lalu berniat berjalan kembali sebelum perkataan Jamil membuatnya terpaku.
"Gue kangen Candrika sa."
Esa langsung saja berjalan mendahului Jamil yang masih anteng memandangi luar rumah milik temannya, Candrika. Berjalan dengan pikiran tertuju pada suatu titik yang membuat hatinya terus menerus mengatakan hal yang sama, "gue juga kangen Candrika, bener-bener kangen Mil."
.
.
.
Tbc~
KAMU SEDANG MEMBACA
moonchild
Roman pour AdolescentsMasa remaja adalah masa dimana kebodohan dianggap benar dan kebenaran dianggap kebodohan. Masa dimana hal paling memalukan terjadi dan awal dimana keputusan untuk masa depan dimulai. ✨241218✨