Bias sinar rembulan tak kunjung beralih menyinari kornea mata Hafshah yang tengah menyiapkan sesuatu. Sebuah koper besar mulai ia isi dengan pakaian guna pergi ke suatu tempat yang sangat ia impikan.
Tok tok tok
Perlahan suara pintu mulai diketuk lirih dari balik hadapan.
Dengan cepat Hafshah bangkit dari lantai membukakan pintu untuk seseorang di sana.
"Gimana udah selesai kemas-kemasnya sayang?" tanya seorang wanita separuh baya dengan senyum indah menghias wajahnya ketika pintu itu mulai terbuka.
"Sebentar lagi Umi. Masih ada yang belum dikemas," jawab Hafshah membalas senyuman itu dengan hal yang sama pula.
"Kamu hati-hati di sana ya sayang," ucap Umi dengan nada sendu menyembunyikan kegelisahannya setelah mereka masuk ke dalam kamar.
Perlahan hati Hafshah mulai berkecamuk. Empat tahun ia tinggalkan rumah demi menimba ilmu di kota lain, kini harus ditambah dengan kepergian Hafshah ke Palestina untuk menjadi relawan perdamaian.
Memang bagi keluarga Hafshah sangat berat melepaskan anak gadisnya untuk pergi ke negeri antah berantah yang tengah terjadi konflik berkepanjangan itu.
Prasangka akan hal-hal yang tak diinginkan, begitu kuat menghantui orang tua Hafshah terutama sang Umi yang terkesan sangat melankolis.
"Umi jangan takut kalo Hafshah enggak bakalan pulang lagi. Hafshah janji, Hafshah bakalan pulang dengan selamat kok Mi," jelas Hafshah selembut mungkin meyakinkan sang Umi yang tampak tak meridhoi kepergiannya.
"Tapi kalo sebaliknya!?" potong Umi cepat dengan air mata terbendung di daun pelupuk.
Hafshah terdiam, ia mencoba mencari pasokan oksigen yang dirasa sudah langka di dunia ini. Udara di sekelilingnya serasa pengap seketika setelah Umi melontarkan kalimat putus asanya tersebut.
"Meskipun Hafshah kelak pulang hanya membawa sekujur jasad. Dalam diri Hafshah tak ada rasa penyesalan sedikitpun. Niat Hafshah hanya satu, menolong mereka selagi Hafshah bisa," pekik Hafshah mematahkan kegundahan sang Umi.
Mendengar jawaban seperti itu Umi hanya bisa diam membisu tanpa bahasa. Memang sulit menggoyahkan pendirian Hafshah yang begitu keukeuh. Sebab itu semua adalah mimpinya sedari kecil.
"Umi enggak perlu khawatir. Hafshah cuma butuh doa umi. Insyaallah Hafshah pulang dalam keadaan selamat," pinta Hafshah sembari mendekat ke arah umi yang tengah duduk di atas kasur.
Lantai keramik menjadi tumpuan Hafshah bersimpuh memohon ridho. Tangan mulusnya sengaja ia genggamkan pada sang umi.
"Pergilah dan gapai semua mimpimu. Berjuanglah tanpa meminta imbalan dari itu. Umi akan selalu berdoa untukmu. Jangan pernah ragu. Doa Umi selalu menyertaimu," ucap Umi dengan nada optimis memeluk erat Hafshah yang tepat berada di depannya.
Perlahan hati Hafshah mulai mencair mendapat ketenangan. Sang juru kunci ridho ilahi telah mengikhlaskan kepergian putrinya. Meski dirasa berat tetapi semua itu demi cita-cita mulia Hafshah. Mengobati mereka yang terluka dengan nyawa sebagai taruhannya.
Hiruk pikuk keramaian ibukota mulai terasa kala Hafshah menuju bandara. Senyum manis langit Jakarta serasa menitip salam untuk saudara di Palestina. Kicauan melodi burung seolah mengucapkan selamat tinggal padanya.
"Kenapa kakak pilih pergi ke Palestina ketimbang bekerja di rumah sakit?" Sebuah pertanyan kecil dari laki-laki yang mengantar Hafshah menuju bandara mulai berdengung begitu saja.
Mendengar pertanyaan seperti itu spontan semangat Hafshah terpompa begitu saja. Pertanyaan yang sangat menarik dari si bungsu Mumtaz membawa dampak positif bagi dirinya.
"Sebab pergi ke Palestina adalah cita-cita kakak sedari kecil," jawab Hafshah santai pada adiknya yang tengah sibuk dengan setir mobil.
Mendengar jawaban singkat itu Mumtaz hanya mengangguk mengiyakan. Ia tak habis pikir mengapa kakak perempuan satu-satunya itu bisa memiliki cita-cita semulia ini.
Bagi Mumtaz sendiri hal ini sangatlah istimewa dalam sebuah kehidupan. Sebab jarang sekali orang-orang yang bersedia turun ke lapangan menangani kasus peperangan semacam ini. Apalagi seorang wanita hebat seperti Hafshah yang berani mengambil risiko besar bagi hidupnya.
"Selama kakak di Palestina jaga baik-baik Abi sama Umi ya Dek. Bilangin ke Umi jangan sedih terus, kakak bakal pulang membawa kebahagiaan suatu saat nanti," pesan Hafshah pada adiknya yang masih setia mengenggam setir kuat-kuat.
"Kamu juga Dek, jangan pernah malas buat belajar yah. Kejar cita-cita kamu setinggi mungkin, bukan malah kejar cinta-cintaan sedini mungkin," pesan Hafshah sembari menepuk pundak Mumtaz diiringi tertawa geli melihat keluguan wajahnya.
"Siap komandan," balas Mumtaz cepat dengan gaya sok cool membuat Hafshah kembali terkikik.
"Ampun dah si Teteh malah bahas cinta-cintaan," sambung Mumtaz menepis anggapan Hafshah yang sedikit nyeleneh.
Melihat tingkah Mumtaz yang sedikit malu-malu kucing, justru membuat tawa Hafshah kian menggelegar di seantero sudut mobil. Dibalik sifat keukeuhnya dalam suatu pendirian, wanita cantik berparas ayu ini juga memiliki kebiasaan tertawa kala melihat tingkah adiknya yang baru belajar menjadi dewasa itu.
Setelah Tiga puluh menit perjalanan kini awal perpisahan Hafshah dan keluarga akan segera dimulai. Terlihat rona-rona kesedihan menyelimuti semua orang. Terutama sang Abi yang baru pulang dinas dari Manokwari.
"Hati-hati di jalan sayang. Abi sayang padamu," ucap laki-laki yang dipanggil Abi itu dengan wajah pilu menyentak.
"Hafshah juga sayang Abi," suara bergetar Hafshah muncul seketika saat ia tengah meraih tangan sang Abi.
Pita suara Hafshah serasa tersendat ketika menemui sang Abi yang baru pulang dari pulau seberang. Berita akan kepergian Hafshah ke Palestina memang sudah lama terdengar di telinga Abi. Namun karena tugas dan jarak yang memaksa, beliau pun hanya bisa menemui Hafshah saat ini. Saat dimana terakhir langkah kaki Hafshah berpijak di bumi pertiwi.
Pesawat pun akhirnya take off dari bandara meninggalkan semua. Awal perjuangan dan cita-cita Hafshah sudah menghadang di depan mata. Begitu juga kesedihan akan perpisahan tak kalah merundung menghujam hati mereka.
Bersambung
Thanks for reading guys...
Jangan lupa kasih vote ya...
Jumpa lagi di next chapter...
KAMU SEDANG MEMBACA
Love On Land Al-Quds
RomanceKisah seorang ahli medis perdamaian yang berjuang di Al-Quds (Palestina) untuk mengobati para demonstran di jalur Gaza. Mengisahkan sosok perawat muda bernama Hafshah yang bekerjasama dengan rekan timnya dalam tugas mulia tersebut. Seorang rekan tim...