[1] Malam Filsafat

138 2 0
                                    

Malam yang dingin, penuh hawa akan kesendirian. Di dalam sebuah dunia yang penuh dengan canda tawa atas keserakahan dunia. Di dalam sebuah apartemen delapan tingkat, diatas sana berdirilah seorang pencari kebijaksanaan, memegang secangkir kopi dengan menikmati pemandangan malam kota yang terang serta berpolusi suara.

Surabaya, kota para pahlawan. Kota dimana Gie berkuliah filsafat disana. Setelah menyeruput kopi panas itu, ia kembali ke dalam dan duduk di kursi untuk membuka laptopnya. Gie berpikir, selalu berpikir. Di dalam liburan kali ini, ia mempunyai tugas dari dosennya untuk menyelesaikan skripsi tentang filsafat. Tiba-tiba muncul sebuah pop-up chat dari seorang temannya Amir, mahasiswa hukum.


"Malam, Gie. Aku mempunyai satu hal yang menarik untuk dibahas!" Amir berkata

"Apa mir? Aku sedang sibuk disini. Cepatlah."

"Aku baru mengetahui silsilah keluargaku, aku ternyata keturunan dari suatu Pangeran di Kerajaan Banjar!"

"Jadi...?"

"Ah, kau ini. Artinya aku seharusnya bisa menjadi salah satu Pangeran disana! Menggatikan sang Bupati yang berkuasa disana!"

"Kau gila. Tidak semudah itu."

"Fuh, bagaimana dengan kau? Darimana kakek kau!?"

"Aku tak tahu kakek ku."

"Serius?"

"Ya, kedua orang tua ku merahasiakannya. Terakhir kali aku mengetahui, ia berada di suatu pulau bernama Pulau Buru."

"Pulau para Tawanan itu? Kakek kau bukan orang-orang Komunis bukan?"

"Tidak mungkin, kakek ku seorang penulis kata ayahku."

"Kenapa tidak mencari tahu tentang kakek kau sendiri? Ini sedang liburan."


Seseorang mengetuk pintu apartemen Gie, gie pun terkejut dan segera membukakan pintu tersebut. Seorang nenek tua telah berdiri dengan bajunya yang kuno membawa sepiring biskuit coklat.


"Malam, nak." Nenek itu menyapa

"Ya?"

"Maukah kau sepiring biskuit ini? Aku kenyang, nak."


Gie padahal enggan untuk menerima, tetapi karena itu adalah seorang nenek tua maka ia menerima dengan pasrah.


"Bisa, nek." Sambil ia mengambil piring itu dari tangan nenek tersebut

"Terima kasih." Nenek itu sambil tersenyum


Gie curiga, kenapa nenek itu tiba-tiba menghampiri kamar apartemennya dan memberikan sebuah biskuit yang mencurigakan. Yang ia ingat, tetangga-tetangga nya semua adalah mahasiswa ataupun mahasiswi. Setelah menutup pintu kamar, ia menaruh biskuit itu disebelah laptopnya. Kembali Gie berbicara di chat bersama Amir


"Maaf, tadi aku dihampiri oleh seorang nenek yang tiba-tiba memberikanku biskuit untukku. Aneh sekali orang-orang tua sekarang." Gie berkata

"Apa? Serius? Mencurigakan sekali."

"Ya, mungkin salah alamat. Aku bahkan tak ingin mencicipi biskuit tersebut. Entah kenapa jika aku melihatnya, aku merasakan sesuatu yang aneh. Seperti masa lalu ku."

"Hm? Apa maksudmu?"

"Aku tak tahu, aku merasakan sesuatu. Aku tak akan merasakan biskuit itu, mungkin aku akan menyimpannya saja."


Tiba-tiba, seseorang mengetok dengan perlahan lagi pintu apartemennya.


"Sebentar, Amir. Ada seseorang mengetuk pintu kamarku lagi. Ah, semoga bukan nenek itu. Mungkin dia akan mengambil biskuitnya lagi."

"Hahaha! Kita lihat saja."


Gie membuka pintu apartemennya, ia tidak melihat apa-apa. Ia pun menengok kebawah dan ia melihat sebuah buku, buku berwarna oranye dengan judul 'Anak Semua Bangsa'. Ia pun menoleh ke kiri ataupun ke kanan. Mencari siapa yang mengirim buku itu. Setelah mencari-cari, Gie pun membawa buku itu ke kamarnya dan menaruh di kasurnya. Lalu ia kembali berbicara ke Amir.


"Mir, seseorang telah menaruh buku didepan kamarku. Apakah ini aneh sekali?"

"Tentu saja aneh! Kenapa kau ambil buku itu?!"

"Ya, aku tak tahu. Mungkin buku itu bisa memberikan petunjuk siapa orang yang punya?"


Gie pun mengambil buku itu lagi dari kasurku. Melihat-lihat, buku itu penuh debu, lalu Gie tiup. Disitu tertera nama bernama "Pram". Gie pun merasa terkejut. Buku apa ini?


"Amir, ini aneh sekali. Apakah kau merasa familiar dengan nama "Pram"?"

"Tidak. Ada apa?"

"Aku merasa itu adalah nama kakek ku."

"Serius!? Kau bahkan tak tahu siapa nama kakek kau?"

"Ya. Aku mendengar secuil dari percakapan orang tua ku berkata "Pram" saat kami makan malam dahulu saat aku kecil."

"Lalu? Apa yang kau tunggu? Kau baca saja buku itu. Mungkin ada petunjuk?"

"Ya. Bisa. Baiklah aku akan tutup laptopku."

"Hey! Sebentar! Besok pagi, Jam 10, Taman Kota."

"Got it."


Gie pun menutup laptop, sejenak menoleh ke balkon. Gie pun berdiri dari kursi sambil membawa buku itu menuju balkon. Sejenak menghirup udara, menatap bintang diatas sembari berkata.


"Gie, Gie. Apa itu Kebijaksanaan?"


Setelah beberapa menit ia di balkon. Ia kembali kedalam untuk duduk di kursi tamunya. Di kursi ia membuka buku itu, di halaman pertama ia membaca sebuah surat. Tertulis disana "Untuk Anak Semua Bangsa".

Gie pun membuka surat itu dan membaca.


"Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain. Anak Semua Bangsa ini, awalnya seorang budak. Pada akhirnya, ia adalah seorang bangsa yang merdeka.

~ Wonokromo"


Gie terkejut. Wonokromo itu tidak jauh daripada Surabaya dari Apartemennya. Aneh sekali. Ia pun membuka halaman selanjutnya. Gie membaca Bab pertama dari buku itu berjudul "Tambora"

Pram-GieWhere stories live. Discover now