Oops!

646 44 2
                                    

Kali ini Taehyung sendiri. Menatapi kristal salju turun menutupi bumi. Tidak deras, terlihat indah melihat partikel es itu melayang-layang di udara hingga akhirnya menyangkut di tepi atap atau di ujung dedaunan. Suhu udara juga belum kembali normal, Taehyung hanya ditemani pemanas ruangan di kamarnya.

Si bungsu menggigit bibir bawahnya. Sebenarnya dia gelisah. Ini akhir pekan, harusnya sang kakak berada di rumah, tapi setelah makan siang dia pamit pada orang tua mereka untuk main bersama teman-teman kantornya—yang jelas saja Taehyung sangat tahu maksudnya.

Taehyung meringkuk, memeluk lututnya di atas sofa dalam kamar. Dia mencoba menimbang apa keputusannya sudah benar? Dia dan kakaknya pernah saling mencintai. Lalu kakaknya berpaling darinya dan menyukai seorang gadis. Apa salah jika Taehyung berusaha mengambil hati Seokjin lagi? Menarik seluruh perhatian pria itu hanya untuknya. Taehyung mencintai Seokjin dan dia yakin betul tak semudah itu Seokjin memberikan seluruh hatinya pada orang baru yang dia temui, sedangkan Seokjin sudah kenal Taehyung bahkan sejak sebelum Taehyung bisa bicara.

Keegoisannya berkata, konspirasi macam apa ini, saat ketulusan hati Taehyung kalah hanya karena anak magang tiga bulan lalu di kantor kakaknya? Taehyung berhak mencintai meski itu kakaknya sendiri. Taehyung berhak tak merestui hubungan kakaknya dengan si anak magang karena Taehyung mencintai kakaknya.

Mungkin keegoisan ini sudah membutakan cintanya pada sang kakak. Namun kalau dihadapkan pada kenyataan, terlalu menyakitkan mengingat apa saja yang sudah dia lewati dengan sang kakak. Taehyung tak sanggup menanggung sesak sendiri semetara kakaknya bahagia bersama orang lain. Itu tidak adil. Tidak boleh terjadi.

Taehyung tersentak saat suara mobil memasuki pekarangan rumah. Dia mengintip sejenak untuk memastikan itu mobil Seokjin, dan benar saja, si sulung keluar dari mobil dan memasuki rumah. Melirik sang waktu, ternyata sudah memasuki senja.

Pikiran Taehyung kembali dibelokan oleh rasa egois. Ekspresi antusias dipajang dengan rapi di wajah, lalu berlari kecil menuju pintu.

"Seokjin," panggil Taehyung pelan. Sang kakak yang baru saja mau membuka pintu kamarnya sendiri mengurungkan niatnya itu, "bawa oleh-oleh untukku tidak?" senyum polos direkah pada bibir tipis itu. Seokjin kemudian mendekat, sesuai ekspektasinya.

"... sebenarnya tidak, sih," bisik Seokjin kikuk. Taehyung menampilkan ekspresi masam. Lalu pura-pura marah dengan menutup pintu kamarnya agak keras.

Seokjin terkejut, lalu dengan ragu membuka kembali pintu kamar adik bungsunya itu.

"Yak, Taehyungie kau marah?" tanya Seokjin, melihat sang adik berbaring telungkup di atas kasur.

"Masa tidak ada cheesecake?" rengek Taehyung teredam kasur.

"Tidak ada, aku tidak bawa apa-apa," Seokjin mencoba membujuk adiknya agar tak merajuk lagi. Dia memasuki kamar dan mendekat pada Taehyung, "maaf, Tae." Jari telunjuk Seokjin menusuk-nusuk pinggang Taehyung. Membuat sensasi geli pada si empunya.

Taehyung tertawa dan membalikan badannya menatap Seokjin. Sebelum memohon untuk menghentikan tingkah usil kakaknya, Taehyung lebih dulu mengambil duduk dan menarik sedikit kerah baju Seokjin dengan terburu.

"Ini lipstick? Apa yang kalian lakukan?" Taehyung bertanya dengan nada menuntut, berbanding terbalik dengan sorot mata caramel-nya yang nanar menatap jelaga Seokjin penuh rasa sakit.

Kembali Seokjin merasa hatinya teriris pelan dengan begitu apik hingga dia sendiri bisa menikmati rasa sakitnya terlalu perih. Namun dia sendiri tidak bisa seenak jidat meminta adiknya untuk berhenti mencintainya karena dia juga belum bisa menghapus jejak seorang Kim Taehyung pada tempat spesial di hatinya.

"Aku tanya, apa yang kalian lakukan?" Taehyung mengulang kalimatnya. Nadanya mulai bergetar dan matanya berkaca-kaca, "dia menciummu?" Taehyung terus menatap Seokjin tanpa berkedip, terus mencari-cari asa yang sama dengan dirinya dalam pantulan netra bening yang membingkai pantulan wajahnya.

Seokjin tak bisa menjawab, tak bisa berkata, tak bisa mengucap sekecil apapun dari suaranya yang tertahan di tenggorokan. Lidahnya kelu atas pertanyaan-pertanyaan dari adik bungsunya. Seokjin tak bisa melihat adiknya tersakiti, tapi dia sendiri yang menyakiti adiknya. Sesungguhnya cinta ini timbul lebih dulu darinya dibanding dari Taehyung. Lalu dia juga yang mengkhianati lebih dulu dibanding Taehyung. Kalau pemuda di depannya ini bukan sang adik, Seokjin pantas diteriaki 'bajingan' saat ini.

"Kenapa Seokjin? Apa salahku? Kau sudah tidak mencintaiku lagi?" lirih Taehyung. Air matanya sukses turun menyapa dagu. Seokjin sendiri tak dapat melepas tatapan dari caramel milik adiknya, seolah mata itu telah mengurungnya lamat-lamat, dan jika berpaling sedikit saja, kau berdosa. "Kenapa tidak menjawabku? Kalau kau bisa melupakan perasaanmu padaku secepat ini, lalu bagaimana denganku? Kau anggap aku apa?" Taehyung hampir kehilangan suaranya di akhir kalimat. Isakan tertahan itu menyesakannya dan menimbulkan tetesan lain menyusul berjatuhan membasahi pipi.

"Tae—" Suara Seokjin sungguhan tertahan di tenggorokan. Dia sendiri merasa tak pantas memanggil nama adiknya. Tentu saja dia merasa bersalah. Di depan matanya dia lihat sendiri bahwa adiknya hancur dan dia penyebabnya.

Tak dapat disangkal pula bahwa perasaan paling kompleks yang dimiliki manusia untuk adiknya itu masih ada, sedikit. Karena itulah Seokjin berani meraih tengkuk adiknya dan membungkam bibir bergetar itu. Melumatnya agak terburu, sedikit kasar. Seokjin sedang kacau, maka dia salurkan lewat tautan itu bagaimana perasaannya saat ini.

Di sela cumbuan, cairan asin tak luput dari rasa bibir cherry adiknya. Jika Seokjin kacau, Taehyung begitu tak rela. Tampak putus asa, hampir menyerah. Ciuman yang diberikan Taehyung tak menuntut, hanya mengikuti alur main Seokjin. Begitu pasrah. Bahkan hingga sang kakak membawanya merebah di kasur.

Ciuman itu melunak, namun dalam. Seokjin mulai membuka satu persatu kancing piyama adiknya, sementara Taehyung meremas surai Seokjin sebagai pelampiasan. Asa takut kehilangan yang kental dari setiap perlakuan Taehyung saat ini.

Seokjin memindahkan bibir tebalnya ke leher Taehyung. Mengecupnya penuh candu dan menggigit permukaan kulit dadanya, masih berani menandai adiknya ketika asanya sendiri berada di ujung tanduk.

"Aaahh ... Seokjin—" desah Taehyung lembut. Begitu lemah, sirat keputus asaan. Meminta Seokjin tak menjauh darinya karena tangan Taehyung tetap merangkul erat lehernya.

Seokjin mengendusi rahang adiknya sebelum kembali mencumbu belah bibir penuh ekstasi itu dengan lebih gentle. Membawa adiknya pada permainan manis yang menyenangkan yang baru saja dia mulai.

".... Kim Taehyung? Kim Seokjin? Apa yang kalian lakukan!?"

TBC

.
.
.
.
.
.
.

—by devilbrush.

Don't foget to vomment, 여러분~!

You're My FearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang