Matahari mulai menggelincir ke ubun-ubun dan menyilaukan mata Sebenarnya ini bukan pertama kali kita dihukum seperti ini. Bahkan satu sekolahan ini sudah mengenal kami sebagai kembar nakal karena sering mendapat hukuman akibat kenakalan kami.
"Duh silau Ra!" Tyas menutup sebagian wajahnya dengan tangannya.
Sebenarnya tangan gue pegal sekali hormat sejam, tapi karena Pak Mamet sengaja mengawasi kami, membuat gue tidak leluasa menurunkan tangan. Seharusnya sekarang sudah pergantian sesi satu ke sesi dua, seharusnya hukuman itu sudah usai. Namun, Pak Mamet masih belum menunjukkan gerak-gerik ingin menyudahi hukuman ini.
"Kenapa? pegel ya?" tanyanya retoris. "Makanya, siapa suruh ngobrol ketika upacara. Kalian selalu mengulangi hal ini berkali-kali. Seharusnya kalian memang tidak boleh sekelas. Saya akan minta kepada bagian akademik untuk memindah salah satu di antara kalian. Sekarang, kalian masuk ke kelas dan jangan ulangi lagi!"
"Baik Pak," untung Pak Mamet segera mengakhiri hukumannya. Kalau nggak, kayaknya tangan gue sudah mati rasa.
"Tangan gue pegel banget Yas. Parah banget emang. Gue ogah lah kalau disuruh hormat sejam lagi. Gue rasa emang mungkin bener kalau kita gak sekelas aja biar gak ribut, ya nggak?" gue baru sadar kalau sedari tadi gue bicara sendirian. Gue balik lagi ke lapangan mencari Tyas, takut kalau ternyata dia pingsan.
Syukurlah, ternyata bukan. Dia justru berdiri seperti patung di tengah lapangan sambil memandangi si kurus idolanya itu sedang mengikuti pelajaran olahraga. Gue menepuk dahi dan berniat menariknya pergi dari lapangan sebelum dia mempermalukan dirinya sendiri.
"Eh apa sih Ra... bentar Ra... dia mau bersiap-siap lari Ra. Dia semakin keren kalau pakai kaos olahraga. Eh salah. Kayaknya dia selalu keren mau pakai apapun," pujinya yang sangat berlebihan.
"Udah stop. Ayo masuk ke kelas sebelum kita dapat hukuman hormat bendera lagi. Lagian loe gak malu apa kalau teman-teman Angga nanyain loe ngapain di sini?"
"Hmm... Ya loe bener juga sih... tapi... tapi..."
"Udaaaah... masih ada waktu buat memandanginya nanti. Ayo masuk..." gue menariknya dengan sedikit memaksa.
Gue dan Tyas baru kali ini sekelas meski kami selalu satu sekolah sejak kecil. Sebenarnya ada enaknya ada nggak enaknya juga sekelas dengan kembaran sendiri. Pertama, kalau salah satu lebih hits dan yang satunya njomplang nggak hits, itu akan menimbulkan iri dan perselisihan. Untungnya gue tipe orang yang biasa aja dan tidak pernah merasa iri dengan Tyas meskipun dia lebih hits dari gue dan selalu dibanding-bandingkan kecantikan Tyas dengan ketomboyan gue. So what? I love myself. Kedua, guru dan teman-teman sering banget salah manggil kami, meskipun perbedaan penampilan diantara kami sangat jelas. Ketiga, kalau sekelas otomatis nggak bisa saling bertukar info ulangan harian hahaha.
"Kling!"
"Sumpah loe?! Yes! Akhirnyaaaa!!!" tiba-tiba Tyas yang baru menerima notifikasi dari handphonenya berteriak cukup keras di tengah-tengah pelajaran. Gue yang duduk di sampingnya aja sampai kaget. Kini, seluruh mata termasuk guru yang sedang menjelaskan di depan kelas langsung tertuju kepada Tyas.
"Hmm maaf Bu, tadi saya... hmm... saya... saya..." gue yakin Tyas gak bakal berani bohong apalagi kepada guru, tapi kalau dia mau jujur, siap-siap saja buat disuruh salin catatan 10 kali. Terus saja bilang "saya..." sampai bel berbunyi, dalam hati gue tertawa.
"Hmmm.... maafkan saya Bu... tadi saya baru saja mendapat kabar terindah yang pernah saya dapatkan. Dan saya reflek menyebut kata itu dengan keras. Maafkan saya Bu..." entah drama atau memang tulus dari hati yang dilakukan Tyas kali ini, Tyas tiba-tiba berjalan ke arah guru dan hendak berlutut. Bu guru yang merasa segan dengan sikap Tyas berlutut, langsung memegang pundak Tyas dan menyuruhnya berdiri. Macam di sinetron-sinetron. Apa kabar terindah yang pernah ia terima sampai harus berlutut seperti itu? Gue jadi penasaran. Apakah dia dapat undian mobil setelah gagal ke-1000 kali percobaan kuisnya? Atau paman kami yang di Cirebon mengiriminya buah durian se-truk? Atau mama diam-diam membelikannya emas putih sebagai kado ultah kami yang ke 17?
"Btw, tadi loe kenapa sih Yas sampai teriak gitu?" malamnya, gue bertanya karena penasaran lihat Tyas tidak putus dari handphonenya sejak tadi siang.
"Hehehe... loe tau gak, gue... akhirnya berhasil... berhasil... berhasil..." ucapnya menggantung.
"Kan... mulai deh, kayak acara kuis-kuisan di TV."
"Gue berhasil berteman dengan Angga di FB huhuhu... gue terharu... lama banget dia baru menerima pertemanan gue Ra. Gue juga berhasil diterima sebagai followernya di akun twitternya yang diprivate. Sumpah gue terharu Ra..."
"Hmm jadi sekarang loe lagi chattingan sama Angga? Dari siang tadi gue perhatiin loe megang HP mulu."
"Itu terlalu jauh baby... butuh proses untuk bisa ke sana lah hehehe... Gue megang HP dari tadi, karena gue lagi stalk dia. Nih, udah dapat 3 tahun timelinenya Angga nih hiks hiks hiks..."
Gue mulai geli dan geleng-geleng kepala lihat Tyas yang senyum-senyum sendirian, ketawa cengegesan, dengan sesekali gelimbungan di kasur, karena membaca satu per satu status Angga di FB selama 3 tahun. Bahkan buku PR yang tadi dia keluarkan dari tas hanya dipegangnya beberapa detik doang sambil menunggu jaringan internet yang lola, begitu sudah lancar dia kembali ke rutinitasnya. Stalking.
"Gileee... Ra, masak ya si Angga lucu banget jaman TK... nih loe harus lihat!" Tyas nyodorin Hpnya ke muka gue, berharap gue lihat dan ikut tertawa bersamanya.
"Yas, kerjain PR loe napa. Besok juga ada ulangan harian lho... stalkingnya kapan-kapan lagi masih bisa!"
"Ah, gak asyik ah loe. Mending sekarang loe ngerjain habis itu gue salin hehe. Masalah ulangan harian mah nyante, gue sudah ahli belajar SKS hehehe."
"Hehehe... hahahaha... uuuu.... oooo.... yaaaah... ladalah... sumpah loe?... Ah elaaah... dasar!... Huhuhu dia pernah punya mantan... hmm... gileee... wah keren...." berikut adalah berbagai ekspresi Tyas selama hampir 2 jam memegang HP dan stalking Angga.
"Oh My God! Tidak! Tidak! Tidak! Raraaaaaa!!! Gimana ini!!!! Oh Raraaaaaa!!!" hingga secara tiba-tiba dia nglemparin HPnya ke buku gue. Dia berteriak histeris. Berputar-putar dengan wajah kebingungan. Gue lihat HPnya. Masih di timeline Angga. Gue lihat salah satu status Angga dengan tombol like berwarna biru. Itu artinya Tyas sudah me-like statusnya.
"Gue kepencet like Ra!!! Duh Ra, gue pingin nangis... gimana ini!!! Ketahuan deh kalau selama ini gue suka Angga. Plis Ra, kasih gue solusi! Duh gue gak bisa tenang! OMG... kenapa semua ini harus terjadi..." Ujarnya dengan panik. Dia tidak bisa tenang barang sedetik saja. Bukannya tenang mencari solusi, dia justru mondar-mandir sambil berteriak.
"Hmm bisa gak sih loe duduk tenang Yas? Ini mah gampang aja kali hahaha! Loe tinggal ganti nama akun dan foto profil loe. Kalau bisa sih private juga sekalian. Abis itu loe spam status Angga. Udah. Beres kan? Dia pasti akan no sense dengan itu." Usul gue.
"Gue suka gaya loe Ra. Sejak kapan loe jadi dokter cinta kayak gini Ra? Jangan-jangan loe diem-diem punya pacar?! Ingat ya Ra... jangan ada di antara kita yang tidak setia kembaran... satu jomblo, yang lain harus jomblo,"
"Udah Yas... cepetan ganti nama akun sana, sebelum Angga beneran online dan loe ketahuan lho."
"Oh oke," Tyas terlihat menuruti saran gue.
"Udah? Loe ganti apa jadinya? Jangan bilang loe pakai nama gue ya, awas lho!"
"Nggak lah... gue gak sejahat itu Ra... gue ganti jadi... minyak kadal penghilang bau badan hehehe."
Ternyata cinta bisa buat orang jadi lupa dengan kepentingan utamanya ya? Tyas memang sedang kasmaran dengan Angga masih saja stalking dan justru menurup buku PRnya. Lantas, bagaimana dengan gue? Entahlah... apa itu cinta? Apa aku pernah merasakannya? Tapi kepada siapa?

YOU ARE READING
Lipstick
Teen FictionRara dan Tyas, kembaran yang berbeda kepribadian. Yang satu suka sekali dengan fashion dan make up, yang satunya lagi membedakan lipstick dan lip balm saja tidak bisa. "Kenapa ya Ra dunia ini isinya hanya ada dua, antara loe jatuh atau loe cinta" "K...