Chapter 2
Hari kelima aku bekerja sebagai asisten pribadi Jeongmin. Tidak ada masalah. Aku melakukan semua pekerjaanku dengan baik. Aku benar-benar bekerja seperti orang yang memang seharusnya ‘bekerja’. Terkadang aku tidak ingat tujuan awalku menginginkan pekerjaan ini.
Selama lima hari itu, aku berhasil menghindari Donghyun. Aku juga tidak tahu mengapa aku malah melakukannya, dan bukannya menghadapi Donghyun secara langsung. Atau lebih tepatnya memukulinya habis-habisan setiap kali aku memiliki kesempatan.
Seringnya, aku akan menjaga jarak tiga meter setiap kali kudengar suaranya mendekat.
Aku sedang memasak makan malam di dorm Boyfriend. Sebenarnya ini gara-gara aku menawarkan diri. Tidak kusangka Jeongmin akan menerima tawaran isengku itu.
Member Boyfriend yang lain belum kembali. Usai kegiatan terakhir mereka beberapa jam yang lalu, hanya Jeongmin yang langsung kembali ke dorm. Untunglah. Lebih menyenangkan mengobrol dengan Jeongmin saja tanpa kehadiran member lain. Baiklah, yang kumaksud tanpa Donghyun.
“Waaaah… Mari, kau sepertinya siap menikah,” ucap Jeongmin yang sejak tadi mengamatiku memotong daging.
“Sayangnya menikah ada di daftar terakhirku.” Aku memasukkan daging ke dalam panci, lalu kembali duduk untuk mengiris sayuran.
“Kenapa? Tidak ada orang yang kau suka, atau tidak ada yang menyukaimu?”
Pertanyaan Jeongmin membuatku berhenti mengiris. Benar juga, apa alasanku ya? Aku belum pernah memikirkannya baik-baik. Orang yang menyukaiku? Sepertinya memang tidak ada. Dan orang yang kusuka….
Tiba-tiba ponsel Jeongmin berdering. Dia meninggalkan percakapan untuk mengangkat teleponnya. Sementara aku masih terdiam, sibuk dengan pikiranku sendiri.
“Mari, aku harus keluar sebentar. Kau selesaikan memasakmu saja.”
“Benar tidak apa-apa?”
“Ya, ini hanya sebentar. Maaf tidak bisa membantu. Aku akan segera kembali.” Jeongmin selesai bersiap-siap. Dia mengatakannya sambil menunjukkan ekspresi bersalah yang dibuat-buat.
“Tentu saja harus cepat kembali, atau akan kuhabiskan semuanya,” candaku.
“Ah, benar juga. Perutmu kan, besar.” Jeongmin tertawa. “Aku pergi,” pamitnya.
Saat sendirian begini, aku berharap tidak akan ada yang datang sampai Jeongmin kembali nanti. Tetapi, entah mengapa yang terjadi selalu berlawanan dengan apa yang kuharapkan. Bahkan lebih buruk.
“Jangan pikirkan hal-hal buruk, Mari,” gumamku sambil geleng-geleng kepala.
Sepuluh menit kemudian, saat kudengar suara pintu terbuka, kupikir itu Jeongmin.
“Cepat sekali kau kembali,” seruku dengan nada senang.
“Maaf membuatmu kecewa,” jawab orang yang baru saja datang. Donghyun.
Benar kan! Hal yang lebih buruk terjadi. Lain kali aku akan ingat untuk tidak mengharapkan sesuatu. Aku langsung menyingkirkan senyuman di wajahku ketika berhadapan dengan Donghyun.
“Apa yang kau lakukan di sini?” ucapku tak acuh.
“Sejak kapan aku dilarang masuk dormku sendiri?” Donghyun berjalan menghampiri kulkas.
Bodoh, bodoh, bodoh! Tentu saja dia bebas masuk ke dormnya. Justru keberadaankulah yang seharusnya dipertanyakan. Mulutku ini sering sekali bertindak mendahului otakku. Tahu begini, tadi aku akan memaksa mengikuti Jeongmin.
“Apa yang kau lakukan? Kau tidak bersama Jeong?”
Saat aku berbalik, aku terkejut, karena Donghyun sudah duduk di kursi yang diduduki Jeongmin sebelumnya.
“Dia memintaku tinggal di sini.” Aku kemudian tersadar bahwa sudah terlalu banyak bicara dengannya. “Bisakah kau tidak mengajakku bicara? Aku sedang sibuk!”
“Kau memasak sup? Kau yakin rasanya enak?” Di telingaku, seolah-olah dia sedang bertanya, kau yakin tidak memasukkan racun ke dalam sup yang kau masak?
Aku menghela napas. Berusaha keras menahan diri untuk tidak terpancing. Tetapi ternyata aku tidak bisa. Kupukulkan sendok ke atas meja.
“Kau tidak mendengar apa yang kukatakan?”
“Aku tidak tahu kau bisa memasak.”
“Kenapa kau harus tahu? Aaaaah… selalu membuat orang frustasi!”
“Selalu? Seingatku kita baru saja bertemu lima hari yang lalu.”
“Oppa!” seruku.
Aku sedang menunjukkan bahwa aku marah. Bukannya diam dan meninggalkanku sendirian, Donghyun oppa malah menatapku sambil menahan senyum.
“Senang mendengarmu memanggilku Oppa.”
Oh ya? Apa aku baru saja mengatakannya? Kami saling menatap selama tiga detik.
“Diamlah saja, oke?”
Donghyun pun beranjak dari kursinya. Sampai aku selesai memasak, Donghyun benar-benar membiarkanku sendiri dan sama sekali tidak mengajakku bicara lagi. Dia sibuk mondar-mandir, tidak tahu melakukan apa. Lebih baik aku memperhatikan supku daripada memperhatikannya.
“Apa aku sudah boleh makan?” Donghyun bertanya setelah melihatku menata piring di meja.
“Kau… akan ikut makan malam?”
“Tentu saja. Aku akan menikmati masakanmu dengan baik.”
Tidak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya berharap Jeongmin atau member lainnya cepat kembali. Tunggu, apa aku baru saja berharap lagi? Tidak, tidak! Aku menarik kembali ucapanku. Aku tidak ingin yang justru terjadi, member lainnya kembali lebih lama.
“Ambil sendiri makananmu.” Aku memberikan piring pada Donghyun.
“Apa kau hanya bersikap seperti ini padaku?”
“Kenapa? Aku bersikap normal.”
“Kau tahu, aku bisa salah sangka kalau sikapmu begini. Bisa-bisa kupikir kau masih memiliki perasaan padaku.” Donghyun mengatakannya dengan santai. Tidak tahu bahwa itu membuatku tersentak.
“Apa? Hei Oppa, sepertinya ada yang salah dengan ingatanmu.”
“Ah ya, apa kau begini karena aku tidak membalas surat cinta yang kau berikan padaku dulu? Apa benar gara-gara hal itu?”
Kali ini aku tidak sanggup menyembunyikan ekspresi terkejutku. “Su… surat ap-pa? Aku tidak ingat memberikan surat padamu.”
“Tapi aku membalasnya,” kata Donghyun pelan. Hampir tidak bisa kudengar seandainya aku tidak duduk di depannya. “Hanya saja, aku tidak memberikannya padamu,” katanya lebih pelan.
Hening.
Kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Aku tidak bisa menebak apa yang sedang Donghyun pikirkan.
“Aku pulang!” Suara Jeongmin. “Oh, Hyung, kau sudah datang.”
Aku belum mengalihkan pandanganku dari Donghyun. Detik ini, tiba-tiba saja, saat memandangnya hatiku berdebar-debar lagi.