CHAPTER 6
~FLASHBACK~
*Donghyun POV*
Jeongmin memintaku menemuinya. Kutebak, pasti ada hubungannya dengan Mari, karena dia melarangku mengajak member lain. Atau ini juga berhubungan dengan tidak masuknya Mari hari ini?
Aku sempat merasa curiga semalam, tetapi aku tidak berani menanyakannya. Cara Mari memandangku ketika mata kami tidak sengaja bertemu, terasa janggal.
“Kau sudah lama menunggu?” tanyaku sambil menarik kursi di depan Jeongmin.
Tidak menjawabku, Jeongmin hanya tersenyum singkat.
“Ada masalah apa?” Kurasa kami berdua tidak perlu berbasa-basi.
“Mari…”
Benar dugaanku.
“Apa cinta pertama yang pernah kau bicarakan adalah dia, Hyung?”
Pelayan meletakkan secangkir kopi yang kupesan. Aku mengaduk-ngaduk kopi itu, kemudian meminumnya. Mencoba mengulur waktu. Memikirkan jawaban apa yang sebaiknya kuberikan pada Jeongmin. Akhirnya kuputuskan untuk tidak berbohong padanya.
Aku tersenyum. “Apa terlihat jelas?”
“Sudah kuduga. Sikap kalian terlalu tidak wajar untuk dua orang yang baru saja bertemu.”
Ada jeda cukup lama sebelum Jeongmin bicara lagi.
“Aku menyukainya. Kemarin, aku mengungkapkan perasaanku padanya.”
Jadi itu masalahnya. Kenapa Jeongmin ingin aku mengetahui hal itu?
Tiba-tiba aku merasa menjadi orang paling pengecut di dunia. Jeongmin bisa mengungkapkan perasaannya pada Mari. Sedangkan aku, bahkan setelah bertemu Mari lagi, aku masih tidak bisa mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya padanya.
“Benarkah? Sejujurnya, waktu pertama kali melihat Mari di dorm, aku benar-benar terkejut. Terkejut karena bisa bertemu dengannya lagi, dan terkejut karena perasaanku padanya ternyata masih sama.”
“Jadi, kau mengaku bahwa kau masih menyukainya, Hyung?”
“Kuharap aku bisa berkata tidak.”
“Mari belum memberikan jawabannya. Yang kulihat, dia masih bingung dengan perasaannya padamu, Hyung.”
“Kau mengira dia masih memiliki perasaan padaku?”
“Kuharap tidak. Yang ingin kukatakan adalah, tidak bolehkah aku memilikinya Hyung?”
Aku tidak menjawabnya.
***
Sudah lebih dari satu jam mobilku berada di ujung jalan menuju rumah Mari. Aku ingin menemuinya, tapi yang kulakukan malah diam di dalam mobil.
Karena kelaparan, aku memutuskan membeli ddukbokkie. Aku sudah melirik kedai itu sejak tadi. Kedai yang sering kudatangi bersama Mari saat sekolah dulu. Selama lima tahun, ini pertama kalinya aku kembali ke kedai itu.
Baru separuh perjalanan, kulihat seorang gadis dari arah berlawanan memasuki kedai. Gadis yang bahkan dari jarak sejauh ini bisa kukenali. Aku menghentikan langkah, kemudian tersenyum karena kebetulan ini.
Mari menundukkan kepala sambil berjalan. Kebiasaan buruk. Tidak sengaja, dia pun menabrak salah satu lelaki yang ingin meninggalkan kedai.
“Bodoh,” ujarku. Kulanjutkan langkahku.