Empat

1.8K 225 35
                                    

Hm... baiklah, begini.




Duduk berhadapan dengan si cinta pertama. Sungguh itu bukan niat awal Newwie datang kesini.

Tidak.




Jelas bukan.






Terutama ketika pemuda di depannya kini begitu santai; seolah tidak mempedulikan keberadaan Newwie sama sekali sibuk menyesap Americano nya yang baru ia pesan. Membiarkan hening memeluk tubuh keduanya, bersamaan dengan rinai hujan di bulan Oktober menjadi pengiring.



Empat tahun berlalu, dan Tay Tawan masih terlihat sama.

Dan debaran itu, sialnya masih bisa dirasa ada.


"Apa kabar, New."


Suara itu terdengar tenang. Seolah mengejek debaran hati Newwie yang memberontak saat kali pertama mata melirik. "A—aku baik," Kutuklah Newwie sekarang, karena membiarkan suaranya sudah pecah diawal.


"Sepuluh menit yang lalu, aku masih baik." Sambung New dengan tanpa menghadap ke depan.

"Eh?" Sahut Tawan dengan diselingi dengusan, "Kenapa bisa begitu?"


"Moodku hancur begitu melihatmu."

"Memang aku berbuat apa?"



"Kau," Newwie mengendikkan dagu; bersamaan dengan itu beralih menyilangkan kedua lengan di depan dada. Rautnya menekuk, "Muncul kembali di hadapanku setelah empat tahun menghilang, Tay."

"Aku pikir kau menghindariku."

"Menghindar? Untuk apa? Semua sudah jelas." Nada sarkas sangat kental dalam kalimat itu.

"Maaf." Raut Tawan berubah sendu. Tak menampik bahwa penyesalan itu masih ada. Tak hilang sejak pertemuan terakhir kala itu.

"Untuk?" Newwie sudah tau arah pembicaraan ini. Hanya saja, pura-pura bodoh dibutuhkan untuk sekarang. Kedua tangannya bertaut diatas meja dengan kepala masih setia menunduk. Ia tak ingin melihat manik itu. Manik hitam favoritnya, dulu.


"Empat tahun yang lalu. Aku,"


"Cukup, Tay!" Newwie memotong kalimat pemuda di hadapannya. Ia mendongak. Wajahnya merah menahan tangis. Sungguh, ia sangat benci dengan topik ini. Kenangan empat tahun lalu tak akan pernah bisa ia lupakan sampai kapanpun.

Perlahan, Tawan menggenggam jemari Newwie. Tawan lebih dari tau kalau pemuda manis di hadapannya sangat terluka, dan Tawan menyesal. Desiran hangat itu muncul, lagi. Tawan tak percaya bahwa ia akan bertemu dengan si cinta pertama, dengan jarak sedekat ini. "Aku menyesal."

"Sudah cukup. Aku mengerti." New menepis jemari Tawan yang mulai mengelus punggung tangannya pelan-pelan. Menghindari diri dari perasaan terbuai dalam nyaman ketika kulit mereka saling bersinggungan. Tersenyum tipis. New tidak ingin jadi egois, ia sudah mempunyai Kayavine. Pemuda tampan yang setia menemani hari-hari nya tiga tahun terakhir. "Hm... bagaimana kabar keduanya?"

Tawan terdiam. Mencerna pertanyaan yang dilontarkan Newwie. Wajahnya berubah datar, "A—lice? Dia baik. Frank juga."

"Oh, Frank namanya? Aku ingin bertemu dia, Tay. Pasti tampan sepertimu." Newwie tampak antusias. Berbanding terbalik dengan wajah Tawan yang datar.

Pip

Pip

Newwie tersentak kaget mendengar handphone nya berbunyi. Atensi keduanya berpindah pada benda pipih di atas meja. Tawan melihat nama yang tertera jelas di layar tersebut. 'Kayavine? Namanya familiar. Tapi siapa ya?' Batin Tawan dengan alis menekuk tanda berpikir keras.

New mengambil handphone nya terburu-buru. Membaca setiap kalimat di layar handphone dengan perlahan.

Aku sudah di depan. Ini bahkan sudah sore. kau tak ingin pulang, sayang?


Kaget.

Newwie menoleh ke luar cafe. Benar saja, Kayavine dengan motornya sudah berada disana. "Tsk! Sudah dibilang jangan jemput. Keras kepala." Newwie berdecak sambil membereskan barang-barang yang tergeletak di atas meja.

Miris. Tawan yang sedari tadi memperhatikan Newwie total tidak dipedulikan. Tawan mengernyit tak suka, kemudian menarik nafas perlahan. "New, aku,"

"Aku harus pulang, Tay. Sampai jumpa." Langkah Newwie terhenti. Tidak. Bukan karena ada sesuatu yang ketinggalan. Melainkan Tawan mencengkeram tangannya, sontak ia menoleh. Memandang wajah Tawan yang sungguh dipenuhi kesedihan, ia tidak sanggup.

"Besok akan kembali ke Bangkok."


Deg


Secepat itu




Tawan melepas genggamannya. Ia tidak ingin berlama-lama melihat pemuda manis di hadapannya ini, justru semakin membuat hatinya sakit. Newwie hanya terdiam kaku. Bingung harus bereaksi apa. Pertemuan pertama sejak empat tahun lalu, ia tak ingin ini menjadi pertemuan terakhir. Dengan lemah, New kembali berjalan keluar meninggalkan Tawan yang berdiri kaku di tempat. Ingin sekali ia memeluknya, tapi itu pasti akan memperkeruh keadaan hatinya sekarang.



Tawan sudah pasrah. Di pandangnya lamat punggung itu yang perlahan menghilang. "Perasaanku masih sama, New. Aku mencintaimu. Sekalipun aku harus kehilangan istri dan anakku."









Egois.





Sangat egois.
































.
.
.

tbc

.
.
.

vote & comment!!!!


hampir buntu.

makasih buat semua yg udah mau komen. itu bener-bener ngebantu aku buat ngelanjutin ff gaje ini huhu. big love for y'all😘😘😘😘

Garis Waktu • TaynewTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang