Enam

1.3K 172 19
                                    








Memang cinta itu buta. Tapi jangan sampai lupa, ada orang-orang terkasih yang menunggumu dengan penuh luka.









;

Tawan mengendarai mobilnya kencang. Nafasnya memburu. Otak tidak bisa lagi berpikir jernih. Pikirannya hanya satu, pulang ke rumah dan bertemu Frank—putranya.

Setengah jam yang lalu, Tawan dapat telepon kalau Frank demam tinggi. Suara Alice di seberang telepon sarat akan kekhawatiran dan penuh harap untuk Tawan cepat kembali ke Bangkok.

Memang pemuda tan itu berniat untuk pulang hari ini, tapi mungkin agak malam. Berakhir Tawan mengurungkan niat sebelumnya. Mendengar kabar itu, Tawan langsung menyambar kunci mobil dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Takut akan kemungkinan terburuk pada putranya.



;

"Papi!"

Suara sedikit serak namun sangat antusias menyapu indera pendengarnya. Tawan tersenyum dan berlari menghampiri Frank yang sedang tidur di pangkuan Alice.

"Kok bisa sakit, sayang?" Tawan duduk di tepi ranjang. Mengelus rambut putranya lembut. Alice menyamankan posisi si mungil yang tiduran di pangkuannya perlahan.

Frank bangkit untuk duduk. Dengan alibi pusing terlalu lama tidur, tentu. Sungguh tidak tega melihatnya. Tawan dengan tangan gemetar memeluk Frank sambil mengelus punggung lembut. Mata si mungil memerah akibat suhu panas di tubuhnya. Suaranya sangau akibat flu yang menyerang.

"Sudah ke rumah sakit?" Tawan melirik Alice, tidak bisa bergerak karena pelukan si mungil yang terlampau sangat erat. Bahkan untuk menengok pun sulit.

"Gak mau kalau bukan kamu yang antar. Keras kepala sekali sih anak mama ini." Alice mengusak lembut surai Frank, dibalas cengiran tanpa dosanya. Padahal ya dari tadi lemas sekali, tapi papi nya datang seperti langsung sehat.

"Papi antar sekarang ya? Mau?"

"Tapi papi halus janji temani Flank ya, jangan pelgi jauh lagi. Kasian mama makan sendilian teyus."

Frank melepas pelukan. Menatap Tawan dengan tangan menangkup pipi pemuda lebih tua. Tawan menoleh ke samping kanan, tepat pada Alice yang memasang wajah datar kecewa. Hatinya mencelos mendengar tuturan si mungil tercinta. Dibalas dengan kecupan singkat pada kedua pipi saat Tawan mengangguk setuju.



;

"Maaf," Satu kata, sukses membuat Alice terdiam. Memandang suami di depannya yang sedang menggendong Frank yang tertidur pulas sehabis periksa ke dokter. Keduanya menuju kamar si mungil. Alice masih terdiam, sebenarnya bingung harus bereaksi apa.

Alice sepenuhnya tahu, keberangkatan Tawan ke rumah lamanya bukan karena pekerjaan. Tetapi karena sesuatu yang lain.

Selama hampir lima tahun ini, Tawan seakan tidak bahagia bersamanya. Ia tahu itu. Namun, pura-pura tidak tahu dan acuh memang sangat dibutuhkan demi keluarga kecilnya. Alice bersyukur karena si mungil Frank lah yang membuat Tawan sedikit mengubah sikap padanya, walaupun tidak seberapa tetapi itu sudah lebih dari cukup bagi Alice.

Karena Frank lah Tawan perlahan-lahan mulai terbuka dan mau berbicara lagi dengannya. Semenjak kejadian beberapa tahun lalu yang mengakibatkan Tawan berpisah dengan seseorang yang ia kasihi, semuanya berubah. Tawan yang ia kenal dulu tidak se pendiam sekarang, bahkan Off merasa demikian.

Hanya dengan Frank lah Tawan dapat tertawa lepas tanpa beban. Hanya dengan si mungil itu juga Tawan berubah menjadi sosok yang begitu hangat.








"Lima puluh persen memang kesalahanku yang terlalu memaksa keadaan, dulu. Selebihnya ada pada seseorang yang ikut andil dalam mempersatukan kita." Ucap Alice dalam hati. Tersenyum miris pada nasib yang dialami oleh nya.











"Maaf, Alice. Ku mohon."



"H—ah?" Alice terperanjat kaget. Sepenuhnya sadar dari lamunan. Sampai ia tidak sadar bahwa pemuda di depannya sekarang sedang menangkup kedua pipinya. Frank sudah aman di atas ranjangnya dan tertidur sangat pulas.


"Maaf karena hampir lima tahun ini aku tidak pernah menganggap kamu ada. Maaf,"






Pandangan mata mereka bertemu. Alice dapat melihat sedikit keraguan disana. Ia menunduk. Tidak ingin melihat manik itu, sakit sekali ia tidak sanggup. Lebih dari empat tahun ia sudah berusaha. Berusaha menjadi yang terbaik yang pernah ada.


"Terimakasih telah menjadi sosok ibu yang baik untuk Frank." Tawan mengangkat dagu Alice pelan, menatap lekat pada matanya. Tersenyum kotak khas, lalu mendekatkan wajahnya pada Alice. Mengecup lama kening itu yang membuat si empu menutup mata.















Berapapun jauh langit kita lihat dari sini, tetap lebih jauh ketika tubuh kita saling berhadapan namun tak bicara apa-apa.


















---



-tbc-



halo semua!!!



haduh bingung banget ini cerita mau di bawa kemana~

semoga masih ada yang nunggu ceritanya ya, maaf buat komen-komen yang gak ke balas karena aku gak sempet soalnya harus fokus dengan ujian-ujian di depan mata:( pokoknya nanti kalau aku gak terlalu sibuk aku bakal balesin komen satu-satu💙💙💙💙

makasih yang udah sempetin vote dan komen cerita ini. jangan bosan-bosan loh ya karena ini bahkan belum tau masalah mereka itu sebenarnya apa?mmm

masih akan sangat panjaaaaang pokoknya.

gak bisa slow update apalagi fast update huhu:( maaf yaaaaa

oiya ada satu lagi nih mau kasih tau! aku publish book baru lho, main cast Alice & Arm hehehehe.

cek dan ricek jangan lupa yaa bagi yang minat bacaa kesini hayo morningwishes

sudah ah,



intinya sayang kaliannnnn!!!!!!

Garis Waktu • TaynewTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang