Bagian 1

60 2 0
                                    

"Selalu itu saja yang kau jadikan alasan, Mas. Kenapa? Kenapa? Apakah kamu sudah tidak sayang lagi sama aku dan Alea?" seru Yulita di tengah isakannya.

"Berhentilah memojokkanku, apa kamu lupa yang aku lakukan itu semua demi kita?" kencang Rafi.

"Kamu mengambil keputusan sepihak, tidak pernah melibatkan aku! Aku tidak mau tahu! Akhiri semua ini, Mas!"

Suara pertengkaran itu lagi-lagi terdengar oleh Alea, setiap kali ia pulang kerja. Harapan untuk bisa sedikit bersantai melepas penat harus hilang di tengah jalan. Yang membuat ia semakin lelah.

Alea terus menuju kamarnya. Berusaha mengabaikan pertengkaran ayah ibunya yang sedari dulu tak ada habisnya. Ia benar-benar kelelahan, dilemparnya asal tas kerjanya di tepi ranjang, mengusap peluh di dahinya lalu merebahkan badannya sambil berusaha memejamkan mata.

Namun, suara itu semakin menjadi. Rupanya mereka tidak menyadari kepulangan Alea. Merasa tak tahan lagi, Alea bangkit dari ranjang. Dengan kekesalan yang lama tertumpuk, ia keluar dari kamarnya. Gadis tinggi, berkulit putih itu berlari menuju kamar di mana kedua orangtuanya tengah bertikai hebat.

Tanpa basa-basi, Alea membuka pintu lalu membantingnya keras dan berteriak. Membuat dua insan yang tengah beradu mulut itu terkejut, memandang ke arah pintu kamar mereka.

"Kenapa kalian tidak pernah bisa untuk tidak bertengkar, selalu saja ada hal yang kalian ributkan." teriak Alea sambil terisak.

"Alea, kamu sudah pulang, Nak?" tanya Yulita, ibunda Alea.

Begitupun sang ayah, Rafi. Ia tak kalah terkejut melihat kedatangan putrinya.
Rasa bersalah menyelimuti hati keduanya melihat isak tangis Alea yang memnggambarkan dirinya benar-benar hancur atas apa yang terjadi pada rumah tangga orang tuanya.

Masih dengan air mata berlinangan Alea berlari keluar saat ayah ibunya berusaha mendekatinya.

Alea trus berlari dengan kencang menembus kegelapan malam masuk ke dalam hutan. Tak pedulikan ayah dan ibunya yang mengejarnya.

Sampai di sebuah gubuk tua ia hentikan langkahnya. Kakinya terasa letih. Sesat ia mengamati gubuk itu, sangat sepi dan gelap, hanya suara jangkrik dan burung hantu saling bersahutan saja, sebuah obor menjadi penerangan gubuk tua itu.

Alea melangkah berusaha mendekati gubuk itu, rasa penasaran yang teramat dalam membunuh ketakutannya, meski pikirannya penuh dengan ingatan cerita-cerita yang beredar bahwa tempat yang jauh dari keramaian dan gelap itu angker. Ya, mungkin seperti ini. Pikir Alea.

Ranting-ranting patah yang terinjak kakinya mengeluarkan bunyian khas mengiringi setiap langkahnya.

Alea semakin dekat dengan gubuk tua itu, jaraknya sekitar lima meter dari tempatnya berdiri. Dua batang pohon beringin tua dan besar tumbuh beriringan belakang gubuk itu, menabah suasana semakin horor. Di tambah, suara lolongan anjing yang sesekali berbunyi. membuat suasana semakin mencekam.

"Halooo, permisi, apakah ada orang?" teriaknya, saat dirinya berada di teras, sambil melipat kedua tangannya karena dingin yang terasa menusuk tulang.

Alea menoleh kebelakang ketika telinganya menangkap suara deritan pintu yang dibuka. Kini terlihat olehnya, seorang wanita tua berambut putih, badanya bungkuk berdiri dengan bantuan tongkat tersenyum ramah padanya, "Siapa?" tanya Nenek tua itu.

Alea berjalan mendekati sosok itu, "Aku Alea, Nek."

"Ayo, mari masuk, Cu!" seru Nenek itu mempersilahkan sambil berjalan lambat diikuti suara dari tongkat dalam genggamannya.

Alea mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru ruangan. Terlihat olehnya tempat yang sangat sederhana. Sebuah dipan tua dan sebuah bantal kumal di atasnya, serta tungku dan beberapa perabot dapur tua tertata rapi di dinding. Antara tempat ia duduk dengan dapur dan tempat tidur sang Nenek tidak ada pembatas sama sekali, karena tempat ini sangat sempit hanya berukuran 4x5 meter saja.

"Nenek tinggal sendirian di sini?" tanya Alea memberanikan diri. Dia hanya berusaha menjaga ucapan agar tidak menyinggung si tuan rumah saja. Sebab, jika dikata takut. Sepertinya dia sudah tak lagi memiliki rasa takut.

Nenek itu menoleh, lalu tersenyum, "Iya, Cu, nenek sendiri di sini. Kamu kenapa malam-malam kesini sendiri? Apa tidak takut?"

"Tidak, memang takut dengan apa, Nek? Apakah di sekitar sini banyak perampok?"

Nenek itu tertawa, sambil menyeduh teh untuk Alea, kemudian berjalan perlahan membawakan teh untuk Alea  masih dengan bantuan tongkat di tangan kirinya.

"Kamu ini perempuan, ga baik keluar malam-malam, apalagi sendiri. Ayo diminum Cu, biar badanmu sedikit hangat!" seru nenek itu sambil meletakan secangkir teh tepat dihadapan Alea.

Masih dengan tatapan kosong, Alea meraih teh panas didepannya, meminum secara perlahan. Menyeruput menikmati aroma melati memberi ketenangan sejenak dalam pikirannya yang tengah kacau.

"Ayah ibuku selalu bertengkar saja setiap hari, Nek. Aku lelah mendengar itu semua," ucapnya masih dengan tatapan kosong, wajahhnya menghadap meja tua di depannya.

"Seharusnya kau tidak meninggalkan mereka pergi, tetaplah di antara keduanya memberi kedamaian. Sekarang, habiskan teh mu lalu pulanglah, mereka pasti sangat kawatir!" seru Nenek itu dengan lembut.

Beberapa saat kemudian Alea menyadari bahwa apa yang Nenek itu ucapkan benar, "Iya, Nek. Aku akan pulang sekarang, terimakasih, Nek!" seru Alea, berpamitan lalu pulang ke rumah setelah menghabiskan minuman yang disuguhkan oleh sang nenek.

"Ayah, Ibu!"

Yulita dan Rafi menoleh ke sumber suara itu, "Kamu sudah pulang, Nak?" ucap ibunya lalu berhambur memeluk Alea, diikuti sang ayah dari belakang.

"Maafkan Ayah dan ibu, Alea," ucap Rafi merasa bersalah.

"Alea rindu dengan masa-masa ketika Ayah dan Ibu baik-baik saja, tidak seperti ini, semenjak Alea kecelakaan tiga tahun yang lalu, kenapa kalian selalu ribut?"

"Jadi, selama ini kamu tahu saat kami bertengkar, Nak?"

Alea tidak menjawab, melepaskan pelukan dari ayah ibunya, ia membuang muka, "Kalau memang gara-gara aku, kenapa harus menyelamatkanku? Seharusnya biarkan saja aku mati, tak perlu diperjuangkan, karena percuma aku mendapat kesempatan hidup sekali lagi tapi keadaan tak lagi sama seperti sebelumnya, aku akan lebih bahagia di alam sana melihat kaian seperti dulu," ucap Alea lalu pergi ke dalam kamarnya.

Kepala Alea terasa sangat pusing, wajahnya memerah terasa panas seperti terpanggang api, ia menuju kamar mandi, bermaksut mencuci muka untuk mengurangi rasa panas pada wajahnya.

Di depan westafel, Alea memandang bayangan diri, ia tersenyum usai membasuh mukanya. Lalu mendekatkan wajahnya pada cermin sedikit menunduk, membuka helaian rambut untuk melihat bekas luka pada kepalnya.

Kembali Alea tersenyum, kini senyumannya berubah sinis, mengutuk luka bekas jahitan yang memanjang pada kepalanya, "Bersama munculnya luka ini, dimulailah pertengkaran ayah dan ibuku."

Alea mendesah pelan, ia menyadari kalau hari ini adalah hari yang sangat melelahkan. Ia bermaksut untuk tidur, tapi langkahnya terhenti saat mendapati laptopnya tergeletak di atas meja.

Akhirnya Alea mengurungkan niatnya naik ke ranjang, melainkan ia malah menghidupkan laptop dan mulai menuliskan kisah di sana. Sampai ia tersadar di pagi hari, duduk bersandar di depan laptonya "Ternyata semalam aku ketiduran di sini?" gumamnya sambil memijat tengkuknya.

Cinta Seorang Gadis PsycopathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang