[1] Ethan

1.6K 59 0
                                    

Alert; If you don't support the lgbt community, so please skip this story.

🍑

Apa ada orang di dunia ini yang bisa menggali bagaimana cara alam mempertemukan kita dengan orang-orang yang memang benar kita harapkan?

Apa ada orang yang tidak ingin tahu hal itu?

Hanya menjalaninya tanpa bertanya 'bagaimana bisa?'?

.........

"Ethan, kamu masuk ke kelompok Timur, Ersa, Ricky, Nina sama Josie, ya. Kalian cari tahu bagaimana pandangan agama terhadap aksi dan paham radikalisme. Kelompok kalian yang akan maju kedua setelah kelompok Adam, ya?"

"Siap, Bu!" Seru segerombolan pemuda-pemudi mahasiswa di dalam kelas.

Mata kuliah agama akhirnya selesai juga. Saatnya pulang tanpa menyapa teman-teman kelompok agamaku. Karena maksudku, apa pentingnya saling sapa? Lagipula aku tak kenal mereka, dan aku masuk kuliah hanya untuk belajar bukan bertegur sapa. Anggap saja aku sombong, karena memanglah itu faktanya. Aku sudah bosan mempercayai orang lain. Semuanya berujung pada kekecewaan.

"Hey, Ethan? Seenggaknya kita diskusi dulu untuk kerja kelompok ngerjain bahan presentasinya, ya. Setuju?" Tanya anak yang kuyakin bernama Timur selagi menahanku yang harusnya satu menit yang lalu sudah berada di lift untuk pulang.

Menyebalkan: check✔

"Kau ketuanya?" tanyaku datar. Ya, anggaplah anak bernama Timur itu menganggapku sinis. Karena setelah aku menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan, anak itu mendelik. Si Timur ini terdengar sok mengatur sekali. Aku tak suka diatur.

Bossy: check✔

Dia berdecak seolah-olah menyepelekanku, "Ethan... ini bukan sekadar pergi, masuk kelas, terus pulang begitu saja. Kampus bukan untuk itu. Pada akhirnya, meskipun kamu mau jadi mahasiswa kupu-kupu, kamu tetap harus berkomitmen dengan tugas-tugas kuliah. Lagipula, suatu saat kamu bakal butuh teman. Perhatikan sekitarmu."

Cih, dia mulai menasihatiku lagi. Dakwahnya sia-sia.

"Tim, kalo begitu... apa maumu?" Tanyaku tak mau ambil pusing. Kalau aku bersikap sama saja, dia akan terus mengoceh sampai hitam jadi putih, yang artinya mustahil untuk tutup mulut.

"Oke, kalau begitu kita bakal kerjain bahan presentasinya di rumahmu." Timur mengakhiri obrolan seraya menarik tasnya lalu melengos. Tapi dia berhenti di pintu dan berbalik ke arahku. "Jam sepuluh di rumahmu. Nina, pinta nomornya."

Perempuan bernama Nina yang berada tak jauh dariku mengeluarkan ponselnya dan lekas menatapiku tanpa berkata-kata.

"Hey, kau tahu kan besok hari libur?"

"Hey, kau tahu... aku tidak peduli, tugas tak pernah tidur. Ayo, masukkan nomormu dan semuanya beres dengan cepat." Nina menyodorkan ponselnya padaku.

"Bagaimana kalau jawabanku... tidak?"

"Ethan, kalo aku harus membandingkan keras kepalamu dengan kerasnya batu yang paling keras di dunia ini, kamu gak akan kalah."

Woa woa... si Nina yang polos ini ternyata berbisa juga.

"Hey, kalian gak bisa ngerjain bahannya di rumahku. Kecuali kalian mau berdesak-desakan."

"Rumahmu, kostanmu, apartemenmu kontrakanmu... terserah. Ketik nomormu, gak usah ngomong tentang rumah atau kostanmu." Ucap Nina seraya menyerahkan ponsel genggamnya kemudian menyilangkan kedua tangannya di dekat dada.

.
.
.

"Berdesak-desakan, heh?" sindir Nina padaku seiring mereka memasuki rumahku.

"Hey, Ethan, ini bukan kostan, kan? Ini rumahmu sendiri, ya?" tanya anak yang lain yang aku tak peduli siapa namanya. Siapa pula yang bilang kalau aku tinggal di kostan. Memang aneh sekali bocah itu.

Aku tersenyum masam sembari mengedikan daguku padanya. "Ayo, anggap rumah sendiri---buat diri kalian nyaman."

"Mustahil." Ucap Nina.

"Hey, aku mendengarmu, Nina."

Selagi anak-anak tak jelas itu melihat-lihat rumah, Timur diam-diam menyeretku menjauh dari yang lain. Kami berbicara tatap muka di balik ruang tengah di mana anak-anak lainnya berkumpul.

"Supaya semuanya lurus. Usiamu berapa sebenarnya?" tanya Timur. "Karena kalau kamu lebih tua, itu akan jadi sangat mengejutkan."

"Apa itu penting sekarang? Aku kira kita di sini untuk mengerjakan tugas kelompok, bukan untuk bertanya usia."

Timur mengangkat kedua alisnya seolah terkesan dengan jawabanku. "Kalau kamu sudah punya semuanya, untuk apa kuliah? Kalau bukan untuk mencari teman dan pengalaman?"

Aku berdecak menanggapi pemikiran mainstream milik Timur. "Tim, semenarik itukah kehidupanku di matamu? Apalagi yang ingin kamu tahu? Nama nenekku?"

Timur menatapku lekat. "Baiklah." Setelah mengucapkan baiklah-nya yang santai, ia pergi menuju ruang tengah tadi. Ia pun menyerah dengan pertanyaannya.

.
.
.

"Usiaku 22 tahun. Dan kau... aku yakin masih 18 atau 19 tahun. Maka dari itu, kau tidak boleh menyeretku dengan kasar layaknya kau yang paling tua di sini." Ucapku pelan menghindari telinga-telinga nakal yang penasaran akan percakapan kami.

Timur yang sedang menyiapkan kami makanan mendiamkanku. Doritos, cola, kacang panggang adalah fokusnya sekarang. Timur mendadak tidak tertarik dengan kehidupanku sekarang.

"Hey, kalian baik-baik saja? Butuh bantuan?" tanya anak yang lain yang mendadak muncul.

"Tak perlu." Aku langsung membantu Timur membawakan makanan.

"Kami hanya takut akan ada perang dingin." Celetuk Nina yang kepalanya menyembul di balik anak lain yang menawarkan bantuan.

Timur menggeleng, malas merespon Nina yang cenderung provokatif. Timur mencari spotnya yang nyaman di single sofa yang ada di sudut ruang tengahku. "Hey, tampaknya aku harus mengenal kalian lebih jauh. Gimana kalo kita sharing atau santai dulu sebentar sebelum mengerjakan tugas? Hitung-hitung melemaskan otak." Ucap Timur menawarkan saran.

"Timur, idemu itu tidak efektif. Harusnya kau kerjakan dulu tugasnya. Baru malas-malasan." Tegurku padanya.

Timur tak sempat membalas argumenku. Dan tiba-tiba ponselku berdering, anak-anak mulai menjamah makanan dan aku izin sebentar untuk menjawab panggilan masuk. "Sebentar."

...

"Halo, Pa?"

"Kau di mana? Sialan, ibumu masih di tokonya dan kau beralasan lupa lagi buat menjemputnya?! Anak sialan!"

"Ah, maafkan Ethan, Pa. Ethan ingat tapi sayangnya teman-teman Ethan berkunjung ke rumah untuk mengerjakan tugas kelompok, Pa. Gimana kalau Ethan pesankan jemputan?"

"Sialan."

Suara di seberang sana menghilang. Ada suara mendengung tanda berakhirnya sambungan telepon. Meninggalkan luka di dalam hati Ethan, lagi. Ethan hanya mampu mengembuskan napas sembari melepaskan beban yang dipikul di dada dan pundaknya.

🍑🍑🍑

Hope you enjoyed the beginning!
See ya, peaches!

Sun 30 December 2018
Edited: Mon 24 Jan 2022

ROMEO[S]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang