🍑
"Apa maksudmu, Ethan?"
Ethan yang baru saja menutup pintu rumahnya, berjalan santai meninggalkan Timur di belakangnya. Ethan membuka ikat rambutnya dan membuat rambut panjangnya tergerai. Ethan menghela napasnya susah payah. Terdengar sangat berat sekali. Ia berhenti dan menyimpan kedua tangannya di meja makan sembari agak membungkukkan tubuhnya.
"Namaku Ethan," Ethan bergumam, membuka kembali obrolan dengan sikap dinginnya.
Timur tak tahu apa yang harus ia lakukan untuk Ethan. Yang Timur pikirkan sekarang adalah bahwa Ethan adalah pria yang sangat aneh yang bersikap aneh dan membuat keadaan sekitar menjadi sangat aneh.
"Apa kau mau jadi temanku, Timur?" Ethan menundukkan kepalanya lebih dalam. Suaranya pun terdengar lebih dalam. "Beri tahu aku nama lengkapmu."
"Ethan, apa-apaan ini, Bro?" Timur berdecak sembari mengibaskan kedua tangannya ke udara. "Kamu aneh sekali."
Ethan terdiam cukup lama. Ia seolah-olah sedang termangu, tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Deru napasnya bahkan dapat terdengar oleh Timur. Deru yang tidak begitu santai namun tidak pula terlalu cepat. Pundaknya naik dan turun seiring menghela dan mengembuskan napasnya.
"Bro, kau membuatku takut. Sumpah, kau aneh sekali."
"Tim, aku mau bicara sesuatu," Ethan berbalik, menghadap ke arah Timur dengan tubuh kurusnya yang tegap dan kedua tangannya ia simpan di sisi kedua sisi tubuhnya. "Papa dan Mamaku sudah berpisah sejak aku duduk di bangku SD. Saat itu aku sedang haus akan ketentraman, kebersamaan, kehangatan."
Timur berusaha tetap rileks dan benar-benar membuka telinganya mendengarkan Ethan dengan hati-hati dan seksama.
"Setelah aku lulus SMA, aku diberi kuasa untuk menempati rumah ini. Selama bertahun-tahun sejak mereka berpisah, aku tinggal dengan nenekku dan pamanku. Sampai akhirnya aku punya rumah ini."
Timur berjalan mendekati sofa sembari masih memberikan perhatian penuh pada cerita Ethan. Akhirnya Timur duduk di sofa dan tak lama Ethan pun memilih untuk melakukan hal yang sama. Ia menarik kursi makan dan lekas menghempaskan bokongnya di atas itu.
"Sejak saat itu aku merasa kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain. Aku ingin melakukan hal A, tapi aku malah berbicara dengan cara B dan melakukannya dengan cara C."
Kemudian keheningan melanda seluruh sudut ruangan itu. Keduanya hanya saling bertatapan dan hanya ada komunikasi yang terjadi lewat mata mereka. Timur masih mencerna semua cerita Ethan yang tadi ia dengarkan langsung. Beberapa menit kemudian, Timur mencoba memukul mundur keheningan dan menggantinya dengan lanjutan percakapan mereka.
"Bro, kenapa kau menceritakan itu padaku?" tanya Timur. "Kau tidak terdengar... seperti Ethan."
Ethan menunduk sejenak kemudian mendongak. Ada gurat beban yang muncul di wajah tampan Ethan.
"Tim, jelas karena kau temanku," Ethan terkekeh pelan. "Kupikir, bukankah pada umumnya pertemanan akan seperti itu? Saling terbuka mengenai keluarga? Meskipun faktanya, aku tidak suka berbicara tentang keluarga, atau hal pribadi lainnya."
"Ethan, kau pikir dengan menceritakan kehidupan keluargamu, semua orang bisa berteman?"
"Tim, apa kau sedang menguji cara pikirku? Kau sedang mengukur kedewasaanku dalam berpikir?" tanya Ethan membalikkan pertanyaan. "Ada banyak jawaban yang variatif mengenai isu itu, Tim. Aku sedang mencari tahu sendiri." Tambah Ethan dengan lembut.
Timur berpikir, menimang-nimang keputusannya. Pindah itu bukanlah perkara yang mudah. Apalagi pindah ke rumah teman yang sama sekali belum terlalu dekat. Ditambah kalian tidak berniat untuk pergi dari rumah dan tiba-tiba keadaan mendesak seperti ini datang.
Timur meniupkan udara lembut. "Kalo begitu, aku akan pikir-pikir dulu semalaman." Ucap Tim pelan.
Ethan mengedikan dagunya pelan mengiyakan.
.
.
.Sesampainya Timur di rumahnya, ia mendapati ibu dan adiknya di ruang tv. Ibunya tengah menonton acara tv kesukaannya, talkshow atau semacamnya. Adiknya, sudah terlelap di atas sofa dan tubuhnya meringkuk di sana.
"Mah... Timur pulang."
"Hey, Nak." Ibunya menoleh sebentar lalu kembali ke televisinya. "Makan malam ada di lemari, ya, Tim."
Tim melepas sepatunya terlebih dahulu kemudian menggantungkan jaket dan menghampiri ibunya. "Mah, aku mau ngomong sesuatu." Tim duduk di samping ibunya seraya menyandarkan punggungnya di sofa dan menyimpan tangannya di atas meja.
"Ada apa, Tim? Tugas kuliah? Atau ada yang perlu dibayar?" tanya ibunya lembut.
Timur menggeleng seraya tertawa kecil. "Bukan, bukan itu, Mah. Tapi, ya, aku mau kita terbuka ngomongin masalah uang sekarang. Mamah keberatan, gak?"
"Wah, kenapa Mamah deg-degan ya kamu ngomong gitu." Keduanya tertawa pelan.
"Oke, Mah. Kalo dihitung-hitung, Timur ngabisin uang lima puluh sampai enam puluh ribu sehari, ya? dikali... Tim pergi kuliah empat hari dalam seminggu, berarti kita ambil enam puluh..."
"Kali empat terus kali empat lagi." Ibunya melanjutkan.
Tim mengangguk. "Hmm... dua ratus empat puluh," Tim mendongak menatapi langit-langit ruangan seraya menghitung.
"Sembilan ratus enam puluh ribu." Tambah Ibunya.
Timur tertawa pelan. "Kurang lebih satu juta mah sebulan. Belum lagi kalau ada kepanitiaan di kampus. Lebih sering bolak-balik rumah-kampus."
"Iya, terus... kamu mau minta lebih, ya?" tanya Ibunya.
"Enggak kok... sebaliknya, aku minta dikurangin, Mah."
Kedua alis ibunya terangkat kaget. Mulutnya pun sedikit terbuka. Beliau benar-benar tak mengira. "Loh, tugas kamu kan lagi banyak-banyaknya semester ini, Tim. Kenapa malah minta dikurangi?"
Timur menggeleng. "Aku bisa nabung, kok. Nah, jadi gini, Mah. Ada temenku yang nawarin kamar, dia sebenernya punya rumah sendiri. Nah, tadi itu aku diundang makan malam sama keluarganya. Lalu... mereka berbaik hati nawarin tempat, kata orangtuanya, supaya aku bisa jagain, bantuin anaknya kuliah, ngerjain tugas. Terus biar aku gak ngabisin uang banyak buat ongkos, Mah."
"Jangan, ah. Temen kamu cewek, kan?"
Timur tertawa pelan seraya menggelengkan kepalanya. Perkataan ibunya sungguh mengundang tawanya.
🍑🍑🍑
Stay tuned!
Selamat beraktifitas kembali 😊
#TimThan
Sun 06 January 2019
Edited: 29 January 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
ROMEO[S]
RomanceAku selalu ingin kembali ke masa di mana kedekatan kita hanyalah sebuah kedekatan yang nyata di antara sepasang teman. Mengetahui dan menyadari perasaan kita satu sama lain itu ternyata menyakitkan. Membujukmu untuk menerima kenyataan pun ternyata t...