[4] Moving Out?!

330 24 1
                                    

🍑

Ethan membukakan gerbang halaman rumahnya untukku. Sore itu rambut cokelat Ethan menyala di bawah cahaya sore musim panas di kota Bandung. Meskipun panas, udara kota ini tetap membuat sejuk. Ethan mengikat rambutnya layaknya seorang perempuan yang sedang malas-malasan merapikan rambut tapi mereka harus mengikatnya.

Ethan melambaikan tangannya seakan mengatakan ayo masuk padaku. Entahlah, sore itu aku benar-benar merasa canggung dan aku merasa sangat asing. Perasaan bahwa aku tidak pantas untuk datang kembali ke rumahnya, perasaan menyesal karena aku telah menawarkan pertemanan padanya, perasaan ingin pulang, perasaan senang menghabiskan waktu bersama orang baru, perasaan kagum dengan rambut ikalnya yang diikat, perasaan kagum dengan warna rambutnya yang bercahaya cokelat keemasan di bawah matahari sore. Semuanya bercampur dan benar-benar menyatu dalam perasaanku.

"Ethan, orang tuamu di dalam?"

Aku berjalan mengekorinya di belakang. Ethan si batu hanya diam saja, seolah-olah masa bodo atau tak peduli aku datang atau pun tidak juga. Padahal dia yang pertama mengirim pesan padaku.

Ethan yang memakai celana santai yang panjangnya selutut dan kaos putih gading polos itu berbalik hanya untuk berkata, "Hey, katakan hal-hal yang baik saja tentangku, oke?"

"Memangnya ada apa?" tanyaku hati-hati setengah berbisik.

"Ada Papa dan pacarnya yang aku yakin sekali pasti akan menginterogasimu."

Kami melanjutkan langkah kami kembali.

Saat aku memasuki ruang makan di rumah itu, tiba-tiba aku merasa merinding ketika melihat orangtua Ethan. Oh, bukan. Papa Ethan dan pacarnya. Ethan meninggalkanku di batas antara ruang tengah dan ruang makan. Aku benar-benar kebingungan harus bagaimana aku menyapa mereka. Aku harap penampilanku tidak terlalu memalukan.

Ethan menarik salah satu dari semua kursi yang mengelilingi meja makan untukku. Ethan memegangi punggung kursi seraya memandangiku yang masih mematung jauh dari mereka. Sementara orangtua Ethan sibuk membicarakan masalah kantor dan entah apa itu, aku mengumpulkan keberanian dan aku berjalan menuju meja makan.

"Oh, hai! Kamu teman Ethan itu, ya?"

"Hai, selamat datang, teman Ethan." Ucap Papanya seraya tersenyum dengan penuh wibawa. Sewaktu papanya menyapaku, aku sempat ketakutan mengingat saat aku tak sengaja menguping percakapan beliau dengan putranya.

"T-terimakasih... saya Timur Om, Tante." Tentu saja aku menjabat tangan mereka dan tersenyum ramah.

"Tim, Papaku Resa dan Ibuku Sheryl." Ethan mengangkat tangannya dan mengarahkan tangan kanannya ke arah Papa dan Ibunya bergantian.

Mereka pun mempersilahkan aku untuk duduk. Makanan sudah disajikan dengan indahnya di atas meja makan. Ethan masih mendiamkanku setelah beberapa menit lalu mengucapkan kalimatnya, padahal kami duduk bersebelahan waktu itu.

Hm, canggung sekali. Batinku tersiksa.

"Oh iya, jadi kapan kamu pindah ke rumah ini, Timur?" tanya tante Sheryl padaku. "Wah, namamu unik sekali. Timur. Tim-ur."

Pindah ke rumah ini?

Rumah Ethan?

Kapan aku mengatakan itu?

Aku terkekeh pelan, menanggapi perkataan tante Sheryl bahwa namaku unik untuknya. Tentu saja sembari mempertimbangkan pertanyaan pertama. Aku melirik Ethan dengan kedua alis terangkat kebingungan dan senyum yang aku yakin sangat kaku dan aneh.

"Hm... saya... eng-"

"Tim gak mau nunggu lagi, Bu. Jarak dari rumahnya ke kampus cukup jauh. Sayang juga kan kalo misalkan dia ngabisin uang buat bayar ongkos pulang pergi." Tambah Ethan dengan santainya.

Bocah batu tua Paleolitikum ini membuat darahku mendidih!

Aku bisa merasakan kaki Ethan menyentuh jari-jari kakiku seakan-akan ia mengatakan bahwa aku harus mengikuti permainannya. Saat itu aku marah sekaligus kebingungan. Apa yang dia pikirkan sebenarnya? Apakah ini yang ia maksud dalam pesannya tadi sore? Tentang membutuhkan teman?

"Y-ya, mungkin minggu depan saya mulai... pindah." Ucapku hati-hati.

"Woa, baguslah! Oh, terimakasih sebelumnya, ya. Tante minta sama kamu, tolong jagain Ethan ya. Tolong ingatkan dia, tegur dia, ya Timur?"

"T-tentu, Tante. Ethan kan teman baik saya, jadi kami pasti saling membantu." Ucapku sembari menepuk pundak Ethan dengan canggung. Aku hanya menurut, mengikuti alur drama milik Ethan.

Ethan melirikku seraya sedikit menundukkan kepalanya. Aku bisa melihatnya yang berusaha keras menahan senyumnya. Kami bertatapan sejenak dan aku memberinya tatapan 'aku akan membunuhmu setelah makan malam selesai'.

🍑🍑🍑

Stay tuned!

#TimThan

Thu 3 January, 2019

Edited: 26 Jan 2022

ROMEO[S]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang