BAB 5

667 60 8
                                    

Mia membuka lututnya di hadapan teman sekelasnya. Hari ini ia kembali ke sekolah setelah dua hari diijinkan untuk beristirahat di rumah. Saat ia hadir di kelas, teman-temannya langsung menyambutnya. Kemudian mengikuti Mia sampai ke bangkunya dan berkerumun di sana.

Atas permintaan dan pandangan simpati mereka, Mia akhirnya menyingkap sedikit roknya sebatas luka di lutut kanannya. Dibiarkan kakinya menggantung di sisi luar kursi. Menjadi tontonan semua pasang mata.

“Gila, sampai segitu parahnya,” Rio histeris saat berjongkok mengamati lutut Mia yang berwarna biru kehitaman. Luka barutnya mulai menutup kering namun masih bengkak. “Grey tega bener ya?”

“Maafin ya, gara-gara gue, lo jadi susah,” Lia meremas lengan Mia. Tampak merasa bersalah, matanya berkaca-kaca. Karena ialah yang menyuruh Mia membuang sampah. Cewek itu berdiri di sebelahnya, bersandar di meja bersama Heren. Beberapa anak berada di sekitarnya mendengarkan.

“It’s okay, nggak ada yang tahu bakalan kayak gini juga.” Sahut Mia.

“Mia, meskipun lo anak baru di sini, seharusnya lo bilang kalau Grey dan dua jongosnya itu nge-bully lo,” lanjut Rio sembari bangun berdiri. Diliriknya tempat duduk Grey dan dua kaki tangannya yang kosong.

“Mereka itu emang idiot kelas kakap.”

“Rasain tuh mereka diskors!” seru Heren.

“Diskors berapa lama?” tanya Mia, nadanya terdengar tak terlalu kaget. Ia sempat berpikir seperti itu sebelumnya.

“Katanya sih seminggu.” Jawab Lia.

“Kalau yang diskors si Grey, Azis sama Dito sih nggak masalah. Toh mereka juga nggak berguna buat sekolah, tapi si White ikut diskors juga.”

Kali ini Mia mengernyit terkejut.

“White? Kenapa dia ikut diskors?”

“Nah itu juga kenapa pula White diskors? Bukannya dia yang nolongin kamu ya?” Lia tampak berpikir. “Kasian banget tuh cowok, udah kelas dua belas pula.”

Mendadak Mia mulas. Kenapa jadi melibatkan banyak orang begini?

“Kalau si White sih nggak apa.” Sambung Rio. “Dia kan udah ngantongin beasiswa kuliah di Jepang, gara-gara dia menang di pertandingan kendo se-Asia pas dia kelas sepuluh kemarin. Dia ngalahin kandidat kuat dari tuan rumah Jepang. Dan kalian tahu dia bakal kuliah di mana?” Rio berhenti sesaat, memutar kepalanya yang gendut ke seluruh mata yang memandangnya. Memberi kesan dramatis.

“Semua orang udah tahu kali Rio,” sahut Heren tak sabar. “Dia diterima di TIU, Tokyo International University. Bakal memperkuat kuadron pasukan kendo kampus sekalian kuliah di sana.”

“Tokyo International University?” Ulang Mia terkejut. Mau tak mau ia merasa kagum.

TIU adalah salah satu universitas bergengsi yang tiap tahun mendepak ribuan pelamar mahasiswa. Tidak mudah untuk menjadi salah satu mahasiswa di sana. Tapi White terdengar begitu mudah untuk diterima di sana.

“White jago kendo?” tambahnya.
“Sangat amat jago kendo.” Sahut Rio lantang. Menjawab pertanyaan Mia tentang White yang tak tersentuh Grey seujung jari pun saat berkelahi. Sudah tahu begitu, kenapa pula Grey nekat menantang White?

“Tapi meski White jauh lebih dipertimbangkan di TIU, dia juga perlu nilai bagus.” Suara Lia membangunkan Mia. “Masak ngedapetin nilainya seenaknya sendiri gitu, belum lagi dia harus tetap mulai nyusun konsep esai kan?”

“Bener banget.” Tambah Heren, lalu semua kepala mengangguk-angguk.

“Emang keren banget tuh cowok. Tapi anaknya irit ngomong. Jutek sih nggak, dia ngangguk kok kalau disapa, tapi ya gitu deh,”

WHITE & GREY (DITERBITKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang