BAB 4

788 65 6
                                    

Mia mengamati wanita paruh baya yang sedang duduk kaki ranjangnya. Sibuk mengompres lututnya yang membengkak dengan cepat. Dahi wanita itu mengkerut, tampak sangat terganggu.

Tadi, setelah para guru berdatangan karena mendengar kehebohan seluruh penghuni sekolah, Mia dan Grey dibawa ke rumah sakit berbeda sementara White berada di ruang kepala sekolah.

Ibu Mia datang tergesa dari kantornya dan membuat Mia berpikir, ini pertama kalinya ia menang bersaing dengan tumpukan kertas di meja kerja ibunya.

Semenjak ayah Mia meninggal sepuluh tahun yang lalu, otomatis ibunya menjadi satu-satunya orangtua baginya.

Mia memaksa ibunya untuk segera membawanya pulang ke rumah setelah Dokter mengatakan bahwa berdasarkan foto rontgen, lutut Mia hanya mengalami trauma paska benturan.

Ia memilih pergi alih-alih menunggu kedatangan orangtua Grey dan White untuk bertanggung jawab. Mia pikir, sudah cukup keributan yang ia buat. Ia tidak ingin masalah ini dipanjang-panjangkan. Ia merasa, luka yang didapat Grey saat ini setimpal dengan apa yang Grey lakukan terhadapnya.

“Gimana bisa kamu diginiin sama temanmu itu?” Celutuk Ibunya sambil mengompres sekitar lutut Mia dengan es. “Habis ini Mama harus kembali ke sekolah buat minta ketemu sama orangtua mereka.”

“Udahlah Ma,” Mia mencoba menenangkan sembari berjengit nyeri. “Mama mau ngapain? Mau minta pertanggung jawaban sama orangtua mereka?”

“Jelas Mama bakal minta pertanggung jawaban. Bukan hanya sekolah tapi orangtua anak bandel yang udah gangguin kamu itu.”

“Ma, yang gangguin Mia itu Grey, dan yang nolongin Mia itu White. Kakaknya Grey. Ka-kak-nya,” ulang Mia menekankan. Kendati kenyataan bahwa Grey memiliki kakak masih mengejutkannya. Pikiran praktisnya saat ini adalah, bahwa Grey memang memiliki kakak, namun kakaknya itu sejak kecil tinggal di Jakarta. Jadi ia baru mengetahuinya saat ini.

Ibu Mia mengernyit. “Grey bukan teman SD-mu yang bandelnya minta ampun dulu kan?”

“Yep, Grey teman SD Mia dulu,” jawabnya kecut. “Mia sekelas lagi sama dia.”

Mata ibu Mia melebar tak percaya, “tapi gimana bisa?” ulangnya heran. Seolah putrinya bisa bertemu lagi dengan anak yang mengganggunya sejak SD adalah hal termustahil di dunia.

“Mia juga nggak tahu gimana bisa seperti itu. Tapi kita kan tinggal di Jakarta sekarang.”

“Kenapa kamu nggak bilang Mama?”
“Mia kan bukan anak SD lagi Ma.  Dan…” Mia memandang ibunya serius, “Mia minta Mama nggak perlu memperpanjang masalah ini lagi. Please,”

Ibu Mia mengamati pandangan memohon putrinya. “Tapi kenapa harus kayak gitu?” sahutnya terdengar keberatan.

“Karena yang nolongin aku itu kakaknya Grey, namanya White,” ulang Mia lagi. Kali ini pelan-pelan agar ibunya mengerti maksudnya. “White yang mukulin Grey sampai babak belur, dan Mia rasa itu balasan yang setimpal.”

“White?” Ulang ibunya.

“Ya White, namanya White. Dan dia… sepertinya baik.” Mia menambahkan hati-hati. Benarkah baik? Lalu ia teringat bagaimana brutalnya White menghajar adiknya. Mereka nyaris terlihat saling bunuh. Tapi Grey kan memang salah.

“Lagipula Mama mau bilang apa ke orangtua mereka? Mau nyalah-nyalahin Grey terus berterima kasih karena White nolongin Mia? Itu kan aneh,” lanjut Mia. “Malah malu-maluin kalau habis marah-marah terus bilang terima kasih banyak.”

“Tapi ya nggak bisa dibiairin gitu aja dong. Paling nggak Mama harus bertemu kepala sekolah kamu.” Sambung ibunya lagi.

“Ketemu kepala sekolah aja ya? Nggak usah orangtua Grey dan White,” Mia memastikan. “Mia nggak pengin ribut-ribut di sekolah baru. Mia juga nggak pengin jadi anak baru yang bermasalah di sekolah.”

WHITE & GREY (DITERBITKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang