Bab 9

739 61 1
                                    

Acara pembukaan demo pelatihan kendo telah usai, sekarang tiba saatnya sesi di mana peserta boleh mencoba seragam kendo beserta perlengkapannya. Peserta dibagi menjadi dua baris. White dan Yogi -salah satu satu senior kendo yang baru saja datang dari kuliah- mulai membagikan seragam kendo. Malik dan Mia berada di baris antrean White. Sementara Grey sudah memiliki seragamnya sendiri. Cowok itu sedang nangkring di salah satu kotak peralatan. Mengamati antrean. Mengamati Mia.
White menjelaskan sedikit tentang seragam itu sebelum membagikannya.
“Seragam kendo ini disebut kendogi untuk atasan dan hakama untuk bawahan. Memang hakama sepintas mirip rok, namun ada ketentuan untuk hakama.” White membentangkan bawahan seperti rok tersebut dan menunjuk lipatan-lipatan yang terdapat di tengah hakama tersebut. “Ada lima lipatan di depan dan dua lipatan di belakang. Menurut filosofi Jepang, setiap lipatan berarti dengan kasih sayang, keadilan, kesopanan, keberanian, kejujuran, kehormatan dan kesetiaan. Nah, ketujuh hal itulah yang dipegang teguh para samurai pada jaman dahulu. Saya harap, siapa pun yang memakai seragam ini nanti, bisa memegang teguh ketujuh filosofi tersebut.”
“Bah, ribet banget.” Grey berseru. Ia tidak terlalu memperhatikan instruksi tersebut, karena ia sendiri sudah dalam balutan seragam barunya. “Tinggal pakai aja repot.”
Grey mendapatkan tatapan dingin White karena mulut kurang ajarnya.
Mia memerhatikan lipatan-lipatan hakama yang dibentangkan White tersebut. Entah karena pandangan berbinar-binar White -yang seolah mengalirkan semangatnya ke seluruh penjuru ruangan- saat menjelaskan atau karena ketujuh filosofi menakjubkan yang membuatnya merasa kuat bahkan sebelum memakainya, Mia jadi merasa sangat tertarik dengan kendo ini.
“Nanti tenugui atau kain pelapis kepala yang dipakai sebelum pelindung kepala, ambil sendiri di kotak ini ya?” Imbuh Yogi sambil menunjuk kotak di antara dirinya dan White.
Seorang peserta demo yang bertubuh besar dan sudah mendapat pinjaman seragam kendo tampak segera mengintip ke dalam kotak, ia mengernyit.
“Nggak apa-apa kok, meskipun bekas pakai, kami menjamin kebersihannya. Coba cium, bau parfum laundry kan?” Jelas Yogi ramah kemudian cowok itu mengambil satu tanpa ragu. Yogi memutar bola matanya kepada White ketika cowok itu berlalu, membuat White tersenyum, memperlihatkan gingsul giginya. Mia memperhatikan semua itu, dan entah mengapa ia jadi ikut tersenyum. Ini pertama kalinya ia melihat White tersenyum dan cowok itu terlihat jauh berbeda.
White menyodorkan seragam untuk Malik, ia mencari ukuran paling kecil untuk cowok itu karena tubuhnya begitu kecil dan pendek untuk remaja SMA. “Maaf buat sementara nggak ada seragam yang pas, mungkin nanti kegedean buat kamu. Tapi kalau kamu jadi gabung, saya bisa pesankan sesuai ukuran tubuhmu.”
Malik mengangguk riang, mengambil tenugui kemudian berlalu pergi. Itu berarti sekarang giliran Mia. Cewek itu menatap White sekilas lalu merendahkan pandangannya lagi.
“Saya nggak tahu kenapa kamu ada di sini lagi,” tukas White dingin sembari memilihkan seragam tanpa lama-lama mengamati tubuh Mia untuk menebak ukuran seperti pada peserta lain. “Saya kira kamu sudah paham apa yang kusampaikan waktu di kantin tadi siang.”
“Aku peserta demo hari ini,” jawab Mia tak kalah dingin. “Dan juga… aku berhak tahu kenapa Kak White membenciku.”
“Saya sudah memberi tahu alasannya,” jawab White datar.
“Aku ingin tahu alasan di balik alasan itu. Kita bukan anak SD yang bisa membenci seseorang tanpa alasan. Pasti selalu ada alasan. Cukup Grey yang membenciku, jangan yang lain lagi.”
White mengamati Mia sesaat, menyodorkan seragam untuknya tanpa menjawab pertanyaannya.
Mia balas menatap White sesaat sebelum berterima kasih dengan kaku lalu bergeser untuk mengambil tenugui. Di dalam kotak yang ditunjuk Yogi itu, Mia melihat kain berwarna-warni berbentuk seperti blankon kempes. Mia menyambar satu benda itu tanpa ragu-ragu.
“Tunggu.”
Mia mendongak. White menatapnya sekilas sambil membagikan seragam. “Tunggu sebentar, letakkan lagi tenugui itu.”
“Apa?” tanya Mia.
“Letakkan tenugui itu dan tunggu sebentar.”
Mia memandang tenugui berwarna merah di tangannya kemudian meletakkannya kembali ke dalam kotak sesuai dengan perintah White.
Setelah selesai membagikan seragam, Mia melihat White keluar dari ruangan selama beberapa saat kemudian kembali menghampiri Mia.
“Ini milik saya,” White menyodorkan tenugui berwarna putih dengan coretan huruf kanji berwarna hitam. “Masih baru.” Tambahnya.
Mia menatap kain itu dengan bingung.
“Kenapa?” tanya White.
“Aku masih peserta demo, aku nggak perlu tenugui baru.”
“Terserah. Kalau kamu nggak mau, silakan pakai tenugui bekas keringat ratusan cowok,” balas White sambil memasukkan tenugui miliknya ke kotak tenugui bekas pakai.
Mia mengamati White menyingkir selama sesaat. Cowok yang aneh, batinnya. Ia tak suka melihat Mia berada di dojo tapi sekarang cowok itu malah memberinya tenugui baru.
Mia menatap kembali kain berwarna-warni dalam kotak itu. Tadi saat Yogi bilang semua kain-kain itu bersih karena sudah dicuci bersih, Mia merasa baik-baik saja. Tapi sekarang, setelah White bilang kain-kain itu bekas keringat ratusan cowok, Mia jadi berubah pikiran. Saat ini kain-kain itu terlihat menjijikkan.
Tidak mau mengenakan kain bekas saripati cairan tubuh ratusan cowok, akhirnya Mia menyambar tenugui putih milik White lalu bergabung dengan peserta lain. Di tangan mereka, semua tenugui bekas pakai itu berwarna-warni. Ada hijau, kuning, cokelat, hitam dan merah, juga termasuk yang dipakai Grey. Cowok itu mengenakan tenugui berwarna abu-abu.
Mia memandangi lagi tenugui di tangannya. Bersih, baru dan putih.
“Jadi kamu white?” gumamnya dalam hati.
***
Seragam Mia begitu pas dengan tubuhnya, hanya sedikit kepanjangan untuk hakama-nya. Sementara di sebelahnya, Malik benar-benar tenggelam dalam seragam. Lengannya menghilang, hakama-nya menyapu lantai. Ia tampak seperti layang-layang. White menghampirinya lalu membantu Malik untuk melipat lengan dan meninggikan sabuk hakama-nya.
Melihat itu, Mia buru-buru meninggikan sabuk hakama-nya sendiri. Tidak lucu jika White yang melakukannya untuknya.
Setelah ritual penghormatan sebelum mulai latihan, yaitu duduk melipat kedua lutut ke dalam dan kedua tangan di atas lantai, lalu membungkuk dalam kepada Sensei Muora dan senior, peserta mulai belajar memegang shinai dengan benar.
“Cengkeram pangkal gagang shinai dengan tangan kirimu, kemudian jauhkan tangan kanan untuk mencengkeram ujung gagang seperti ini.” White menerangkan. “Pastikan semua jari rapat, tidak satu jari pun boleh terlepas dari gagang. Kalau tidak, kalian bisa cidera. Lalu ayunkan seperti ini.”
Mia mengikuti intruksi White. Berlatih mengayunkan shinai sampai lengan atasnya terasa pegal, menunggu White mengangguk dan berkata, “cukup bagus” dengan dingin.
Lepas dari perkataan White yang dengan dingin itu, anehnya Mia merasa kegiatan ini terasa begitu menyenangkan dan membuatnya rileks meski ada Grey yang mengorbit di sekelilingnya. Cowok itu tidak terlalu bersikap menjengkelkan. Mungkin karena ada Sensei Murota dan White atau mungkin yang lainya. Dan Grey tampak sibuk dengan dirinya sendiri.
“Heh, Cebol, lihat-lihat dong kalau ngayunin shinai, main gebuk aja, mata lo di mana?” bentak Grey ketika shinai Malik melayang di depan wajahnya.
“Ma… Maaf Kak.” Malik merepet ketakutan.
Di samping Mia, Malik memang sedang mengayun-ayunkan shinai dengan liar. White berkali-kali mengajarinya dan kadang-kadang menahan ayunan shinai Malik agar tidak mencederai orang di sekitarnya. Akhirnya White menggiring Malik menjauhi barisan agar ia bebas berlatih sendiri.
“Grey, ayunan shinai-mu belum sekali pun benar.” White berujar saat kembali ke barisan peserta. Grey mengerling kesal. “Pakai bogu, saya ingin mempraktekkan serangan. Jangan lupa kenakan sambil bersimpuh.”
“Gue udah tahu,” sahut Grey. Cowok itu meluncur untuk memakai bogu atau pelindung tubuh dengan girang. Ia akan belajar melakukan serangan, jika White adalah sasarannya ia tidak akan menahan diri. Tak peduli ayunannya salah atau benar, ia hanya ingin menggebuk White.
Tak lama kemudian, Grey kembali ke ruangan dengan tubuh dalam balutan bogu. Kini cowok itu tampak seperti boneka sasaran berjalan. Melihat itu, White segera mengambil shinai kemudian berdiri di hadapan Grey. Para peserta termasuk Mia membuat lingkaran besar untuk memperhatikan mereka berdua. Sensei Murota dan Yogi juga tampak bersiap mendampingi peserta.
“Kok lo nggak pake bogu? Lo ngeremehin gue ya?” Grey bertanya ketika White berhadapan dengannya tanpa memakai bogu.
“Kamu belum sekali pun mengayunkan shinai dengan benar. Jadi, saya yang menyerang, kamu yang jadi sasarannya.  Bersiap di posisi.”
“Hah? Apa-apaan?” Grey menurunkan shinai-nya sampai ujungnya memukul lantai dengan keras. Kenapa jadi ia sendiri yang jadi sasaran?
“Grey, kamu tidak boleh menurunkan shinai sampai memukul lantai,” tegur Sensei Murota lunak. Pria itu menghampiri Grey, menaikkan lengan Grey yang memegang shinai kemudian memosisikan tubuh Grey untuk bersiap menerima serangan. “Ini kan hanya latihan, White tidak akan benar-benar mencederaimu,” tambahnya sabar.
Di dalam pelindung kepalanya Grey menggeram dongkol.
“Baik, semua tolong perhatikan. Saya akan mencontohkan macam-macam serangan dalam kendo.” White memulai dan berhasil mendapatkan perhatian peserta demo. Tangannya yang memegang shinai bersiap. “Pukulan pertama, ‘men’ ditujukan untuk kepala.” White melangkah dan mengayunkan shinai-nya tepat ke kepala Grey. Grey harus mundur selangkah karena pukulan itu. “Kedua, ‘do’ serangan ditujukan untuk bagian perut.” White dengan luwes menebas bagian perut Grey. “Ketiga, serangan di bagian pergelangan tangan atau ‘kote’.” White memukul pergelangan tangan kanan Grey. “Dan yang terakhir, ‘tsuki’.” White mengacungkan shinai-nya, awalnya ia gatal untuk melakukan serangan itu dengan cepat dan sepenuh tenaga. Namun, melihat mata Grey membelalak dari dalam pelindung kepalanya, White menahan diri, ia menyodok pelan pelindung bagian leher Grey dengan ujung shinai-nya. “Serangan tepat di leher musuh.” White mengakhiri.
Malik yang pertama kali bertepuk tangan disusul yang lainnya. Di sebelahnya, Mia tampak ternganga melihat pukulan terakhir White. Cowok itu tampak sedang main-main melakukan serangan meski hanya latihan. Seperti sedang mengelus bulu leher kucing. Maklum saja, Mia sudah pernah melihat bagaimana pukulan tsuki cowok itu membuat melayang boneka sasaran sampai menabrak dinding.
“Dia bener-bener keren,” ujar Malik kegirangan. “Ini alasanku ikut kelas kendo.”
“Tapi itu nggak ada apa-apanya,” cicit Mia kemudian ikut bertepuk tangan.
“Jika ada pertanyaan silakan bertanya, kalau nggak ada, saya ingin salah satu peserta untuk mencoba,” lanjut White.
Peserta tiba-tiba hening.
“Bagaimana Mia?” Celetuk Sensei Murota sembari mengerling cewek itu.
Akhirnya, untuk pertama kali dalam hidupnya, Mia memukul Grey dengan alasan yang sangat masuk akal.
***
“Bagaimana, menyenangkan?” tanya Sensei Murota setelah demo berakhir.
Mia mengangguk bersemangat. Pikirannya rileks, kejenuhannya akhir-akhir ini serasa terangkat habis. Bahkan keberadaan Grey tidak memberinya efek tekanan apa pun.
“Nanti malam saya coba minta ijin pada orangtua saya untuk bergabung,” jawabnya sambil melepas tenugui dari kepalanya yang basah karena keringat. Mia belum pernah berkeringat sebanyak itu sebelum ini, kecuali saat dipukuli Grey. Tentu itu berbeda kasus.
“Rileks Mia, kamu boleh berpikir dulu, tidak perlu terburu-buru. Saya sudah cukup senang melihat ada anak perempuan yang berlatih di sini.” Ujar pria itu dengan ramah.
“Saya sangat berterima kasih karena sudah mengajak saya bergabung dengan demo hari ini,” tambah Mia sambil membungkuk ringan.
“Saya yang justru berterima kasih karena sudah datang. Saya senang jika ada yang menikmati pelatihan kami di dojo. Benarkan White?”
Saat itu White melintas di depan Mia dan Sensei Murota sambil membawa kotak berisi tenugui bekas pakai.
“Kalau kamu nggak ingin bergabung nggak masalah, kami senang dengan pengunjung yang menikmati pelatihan kendo, tapi kami nggak maksa mereka bergabung,” White menanggapi dengan dingin.
Mia hanya diam memandangnya. Cowok yang aneh.
“Saya nggak pengin ada kejadian seperti waktu itu lagi di dojo. Dan di sini bukan tempat untuk kebodohan semacam itu,” tambah White. Mata hitam pekatnya memandang tajam Mia. Seakan memberi suatu penekanan maksud di sana. “Apalagi Grey ada di sini. Saya nggak bisa terus-terusan mengawasi kalian berdua. Saya banyak pekerjaan.”
Gusar karena diremehkan, Mia meremas tenugui-nya kemudian membalas, “bagaimana jika aku memang ingin bergabung?”
“Ada Grey di sini. Kamu lebih baik menjauh dari dia,” sahut White dengan tak sabar.
“Ada atau nggak ada Grey di sini, itu sama aja. Dia pindah duduk di bangkuku mulai hari ini. Bukannya kamu bilang aku harus melawan dan nggak cuma diam aja?”
Bibir White tiba-tiba terkatup rapat, seakan bingung untuk menanggapi serangan balik Mia.
“Bukan maksud saya seperti itu.”
“Lalu apa?” tantang Mia. Dia sudah tampak lelah diputar-putar oleh Mahaka bersaudara.
“Sudah-sudah.” Sensei Murota menengahi dengan lembut. “White kamu tidak boleh melarang seseorang untuk belajar kendo. Atau melarang seseorang untuk belajar mempertahankan diri agar lebih kuat.”
“Sensei,” pandangan White beralih kepada Sensei Murota.
“Dengar Mia, kendo tidak dimaksudkan untuk membuatmu menjadi hebat dalam melawan serangan musuh dalam dunia nyata, kecuali White, dia… kamu tahu, memang agak berbeda. Tapi jika kamu bergabung, saya yakin bukan otot-ototmu saja yang menguat, tapi pikiran dan hatimu. Ketika hatimu kuat, tidak akan ada lagi yang bisa mengganggumu.”
Mia mengangguk, mengabaikan ekspresi tak percaya yang terpampang di wajah rupawan White. Perasaan Mia terasa begitu baik mendengar kalimat menentramkan Sensei Murota. Tak lama kemudian ia kembali menatap White.
“Saya akan kembali besok sore untuk bergabung dengan kelas, dan terima kasih tenugui-nya,” ujar Mia dengan mantap sambil meletakkan kain itu ke dalam kotak di dekapan White. “Terima kasih Sensei,” Mia membungkuk kemudian berbalik pergi.
***
“Seharusnya Sensei tidak mengajaknya kembali ke mari,” sungut White kepada Sensei Murota ketika semua peserta demo sudah pulang. Termasuk Grey yang mengumpat “patung gips sialan” sebelum pulang sebagai pengganti kalimat untuk berpamitan. Cowok itu masih marah karena White menjadikannya sebagai sasaran latihan serangan kakaknya itu sekaligus Mia.
Sensei Murota sedang duduk di teras dojo ketika White menghampirinya. Pria itu Sedang menikmati halaman dojo yang dimandikan cahaya kekuningan lampu taman dan gemericik air dari kolam ikan.
“Berhenti bersungut-sungut, White,” balas Sensei Murota kalem. “Apa yang sudah kamu dapat dengan bersungut-sungut seperti itu sejak tadi pagi?”
White langsung menutup mulutnya, merasa malu.
“Tapi Sensei, Anda seharusnya tidak membawanya kemari. Bagaimana jika saya menakutinya lagi seperti waktu itu?”
Sensei Murota menatap White dengan sabar. “Kalau begitu, jangan perlakukan Mia seperti itu lagi. Terus melarikan diri dari kenyataan itu tidak baik, White.”
“Saya tidak melarikan diri dengan kenyataan. Saya hanya menghindari kesalahan yang sama.”
“Sampai kapan kamu berhenti hidup dalam penyesalan dan ketakutan, White?”
Mendengar pertanyaan itu White hanya bisa terdiam selama sesaat.
“Karena sampai kapan pun saya tidak akan pernah melupakannya,” jawab White kemudian.
“Kamu bukan melupakannya White, kamu hanya belum mengikhlaskannya,” tutup Sensei Murota.

WHITE & GREY (DITERBITKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang