1. Elo Masih Butuh Duit Nggak?

11.1K 1.4K 30
                                    

"Masih jauh nggak sih?"

"Enggak kok, dua tikungan lagi."

"Lo juga bilang gitu di enam tikungan yang lalu."

Leta hanya melirikku. Lalu kembali mengamati sekeliling dengan saksama. Aku pun melakukan hal yang sama. Kok ada sih belahan dunia yang sepadat dan semembingungkan ini? Ini masih di Indonesia kan? Masih dekat-dekat Bekasi kan?

"Kita tanya orang apa ya? Daripada muter-muter nggak jelas begini." Gerutuku, menenggak air dari botol platik yang kugenggam dari tadi.

Duh, habis pula.
Mana sejauh mata memandang nggak kulihat minimarket. Atau toko. Atau warung. Mobil kami tinggalkan beberapa ratus meter di luar gang sana. Entah kami bisa kembali lagi ke tempat semula atau nggak. Jangan-jangan kami memang sudah tersesat.

"Bener nggak sih alamat yang dikasih Mas Komar?" tanyaku lagi.

"Ya bener lah, nih coba lihat!"

Aku ogah menengok lembaran kertas kusut yang sedari tadi dia pegang. Sudah telanjur jengkel karena masih saja muter-muter nggak jelas dan belum juga berhasil sampai ke tujuan.

"Lo bisa baca alamat nggak sih?" gerutuku lagi.

Leta mendengus keras, mendelik padaku. "Eh, kuas blush on! Bawel amat sih! Lo dari tadi juga nggak bantuin gue!"

"Ya ampun, kan elo, Malih, yang sok-sokan mau jadi guide kita. Yang serahin ke google map lah. Yang percaya insting traveler elo lah. Buktinya, malah zonk."

Leta melengos, berkonsentrasi lagi pada kertas lecek dan ponselnya.

"Telepon Mas Komar aja kenapa sih? Minta dijemput gitu. Duh, udah nggak tahan gue sama Medanbencana ini."

"Medansatria, Jul."

"Terserah lo dah!"

Aku memang sudah terbiasa dengan panas Jakarta. Tapi hawa di sini juga benar-benar nauzubillah. Kaus oblong putihku mulai terasa lengket di punggung. Titik-titik keringat malah sudah seluncuran dari leher turun ke belahan dada. Hoshh! Gerah.

Kuambil gelang rambut dari saku celana dan menggulung rambut tinggi-tinggi. "Telepon Mas Komar aja, gih." Rengekku lagi.

"Kalau bisa mah, dari tadi juga dia pasti udah jemput kita." Balas Leta kemudian.

"Lha terus?"

"Nomor ponselnya nggak aktif."

Duh, kurang sial apalagi coba kami hari ini.

"Sini!" Kurenggut kertas kucel dari tangannya. Kali ini dia nggak membantah. Tampangnya sendiri sudah mulai kelihatan frustrasi.

Sepertinya, kami sudah melewati jalan yang benar sih. Dari gang besar tadi, jalan lurus sampai perempatan pertama. Belok kanan. Jalan lurus lagi sampai bertemu perempatan kedua. Dari perempatan itu belok ke kanan, jalan lurus lagi dan cari gang kecil di sebelah rumah tingkat yang dicat ungu tua. Setelah masuk gang itu cari rumah yang dicat kuning tua, yang di sebelahnya ada penjual nasi uduk.

Seharusnya saat ini kami sudah ada di ruas jalan yang terakhir itu. Tinggal mencari rumah yang bercat kuning tua. Masalahnya, di gang ini ada banyak sekali rumah dengan cat warna itu.

"Tanya orang aja gih!" kataku kemudian. Setelah kami mondar mandir mirip setrikaan di ruas jalanan sempit itu.

Leta celingukan mengamati sekeliling. "Nggak kelihatan ada orang sama sekali, Ijul. Mau tanya siapa coba?"

Gang kecil ini sepi. Semua pintu rumah tertutup. Ke mana sih semua orang? Ini memang jam sekolah, jam orang dewasa bekerja, tapi masa iya nggak ada ibu-ibu atau mbak-mbak rumah tangga yang tinggal di rumah?

The Worst JulietteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang