Bab 01 - Arum Widyastuti Wiranto

13 2 3
                                    


Cuaca sangat mendukung diluar sana. Hujan lebat yang mengguyur kota Makassar saat ini menambah rasa betah seorang gadis yang saat ini tengah berada di perpustakaan lantai 3 universitasnya. Dia sibuk menyalin catatan materi akuntansi keuangan milik temannya dengan earphone terpasang di telinga, yang sesekali mengambil ponsel untuk melihat postingan-postingan di akun instragramnya. Arum, gadis yang nampak memiliki dunianya sendiri itu tanpa sadar mengabaikan keadaan perpustakaan yang saat ini sedang ramai dan didominasi kaum hawa karena memang akan memasuki waktunya sholat jum'at.

Kehidupan kampus memang sangat berbeda dengan masa SMA, dengan banyak kategori mahasiswa di dalamnya. Ada mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang kuliah pulang), mahasiswa kura-kura (kuliah rapat-kuliah rapat), mahasiswa kutu buku, mahasiswa famous, mahasiswa TA (Titip Absen), sampai mahasiswa invisible. Khusus mahasiswa kategori terakhir itu julukan untuk para mahasiswa yang katanya kuliah tapi tidak pernah muncul di kelas, sekalinya muncul malah terkesan ada gambar tidak ada suara. TV rusak nih.

Dari sekian banyak jenis-jenis mahasiswa di kampusnya, Arum sadar dia tidak termasuk kedalam satu pun kategori-kategori mahasiswa tersebut. Dia hanyalah seorang mahasiswa yang menjalankan kewajibannya untuk kuliah di jurusan akuntansi demi memenuhi keinginan ayahnya yang menginginkannya untuk menjadi seorang akuntan, sama seperti keluarga-keluarganya yang lain, yang memang kebanyakan bergelut dalam bidang ekonomi.

Dia adalah anak pertama dari tiga bersaudara dengan dua saudara laki-laki bernama Anggara Ade Wiranto yang sebentar lagi akan tamat SMA dan Syahri Ramadan Wiranto yang baru duduk di kelas tujuh. Ayahnya, Wiranto Mukhsin, seorang dosen ilmu ekonomi di salah satu universitas negeri di Makassar dan ibunya sendiri bernama Rahmatia Mukhsin adalah seorang ibu rumah tangga yang menurutnya sangat baik dan pengertian. Menurut Arum, ibunya merupakan sosok yang sempurna sebagai ibu dengan masakan-masakan yang sangat enak, kalau boleh dia menambahkan.

Hujan sudah reda saat ponselnya bergetar menandakan ada pesan WA yang masuk, menginterupsi kegiatannya yang masih sibuk menyalin materi. Dibukanya pesan tersebut saat melihat pesan tersebut dari Anggara adiknya.

Jangkrik Sawah: Kak, dimana lo? Dicariin ayah kali

Arum segera melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, ternyata sudah pukul enam kurang seperempat. Wajar saja ayahnya sudah mencarinya. Perpustakaan universitasnya ini buka sampai jam 8 malam. Jaringan Wifi yang lancar memang sering membuat mahasiswa lupa waktu tak terkecuali Arum. Setelah membereskan buku-buku catatan serta alat tulisnya, ia kemudian bergegas untuk turun untuk mengambil tasnya di tempat penitipan barang sambil membalas pesan dari adiknya.

Me: Di perpus kampus. Udah mau otw pulang

Balasan adiknya datang dengan cepat.

Jangkrik Sawah: Oke hati-hati pulangnya kak, kalau boleh bisalah beli martabak dulu hehehe

Arum mendengus membaca pesan terakhir adiknya. Giliran ada maunya pasti ngomongnya manis dikit. Menutup pesannya, dia pun menuju parkiran motor dan bersiap pulang ke rumahnya.

Tidak seperti kebanyakan teman-temannya yang ngekost sekitaran kampus, dia memang tinggal bersama orang tuanya karena kedua orang tuanya asli dan bertempat tinggal di Makassar. Dia pernah bertanya pada diri sendiri bagaimana rasanya hidup mandiri seperti teman-temannya itu? Tidak ada kekangan ayahnya yang sering melarangnya untuk berkumpul atau menginap bersama teman-temannya yang lain di salah satu kostan temannya. Tidak ada kegaduhan yang harus dia dengar dari adik-adiknya yang sering bertengkar karena hal-hal sepele dan yang pernting tidak ada kewajiban mengerjakan seabrek tugas-tugas akuntansi yang kurang sesuai minatnya.

Menghembuskan napas pelan, dia pun memacu motornya membelah keramaian jalan raya yang memang macet di jam-jam seperti ini.

Setelah bertarung melawan macetnya kota Makassar selama 20 menit, Arum pun tiba di rumahnya. Memarkirkan motornya di halaman rumah, dia lalu masuk kerumahnya mengucapkan salam dan menemukan ayahnya yang duduk di ruang tamu lengkap dengan baju koko dan sarung, pertanda akan ke masjid untuk sholat maghrib.

"Assalamualaikum"

"Walaikumsalam. Kok baru pulang kak?" Ayahnya bertanya sambil menatap Arum dengan kerutan di kening.

Arum berjalan menghampiri ayahnya dan mencium tangan beliau. "Tadi hujan yah, jadi sambil nunggu reda aku di perpus catat materi kuliah"

"Loh? Emang gak bawa mantel?". Tanyanya sambil memperhatikan sang putri yang mengambil tempat pada sofa di depannya.

"Enggak, tadi aku keluarin dari sadel motor kirain hari ini gak hujan"

"Lain kali bawa saja selalu, gak rugi juga kan? Tidak baik soalnya kalau kamu pulangnya sudah malam terus. Kamu gak keluyuran kan kemana-mana? Kalau pulang kuliah itu langsung pulang kerumah, jangan nongkrong terus di kostan temanmu apalagi kelayapan kemana-mana". Arum hanya diam, sudah hafal dengan nasihat ayahnya ini. Dia terkadang sering kesal karena sifat ayahnya yang terlalu protektif .

Merasa bahwa ayahnya sudah selesai bicara, dia pun menjawab

"Iya yah, gak kemana-mana kok, di perpus aja belajar". Ini jugalah yang membuat moodnya sering kali buruk kalau ayahnya seakan tidak mempercayainya.

"Ya sudah, udah mau masuk waktu magrib, kamu belum sholat kan? Sholat dulu"

Arum mengangguk dan bangkit meneruskan langkah ke tangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Melewati ruang keluarga, dia melihat kedua adiknya sedang ribut berebutan remote tv. Melihat itu, Arum menegur dua orang adiknya

"Eh kalian, diam kek jangan berantem terus, maghrib ini, ke masjid sana, sholat."

Salah satu adiknya menyahut "Iya bentar. Kak, martabaknya mana?" Itu Anggara yang tanya.

Arum berdecak "Enak aja, beli sendiri lo. Abis nanti duit jajan gue beliin kalian mulu"

"Yaelah kak, kayak sering traktirin kita aja" giliran Riri ikut nimbrung, terlihat masih berusaha merebut remote tv. See? Mereka emang kompak banget kalau soal minta gratisan.

"Serah kalian dah"

Arum kembali meneruskan langkahnya dengan terburu-buru mengingat waktu sholat magrib akan berlalu, mengabaikan adik-adiknya yang melanjutkan pergulatan perebutan remote tadi.

Sampai di kamarnya, dia menyimpan tas dan men-charge ponselnya lalu masuk ke kamar mandi untuk bersih-bersih dan menunaikan kewajibannya sebagai umat islam.

****

I hope u like it..

Happy reading guys, jangan pelit voment yak :)

~ R

(NO) RegretWhere stories live. Discover now