14

3.1K 199 16
                                    

Gadis bersurai hitam itu menerawang. Tatapan matanya kosong. Berpikir sedemikian banyak hal mengerikan yang akan Ia alami selanjutnya. Air mata terlihat mengalir perlahan ke pelipis, namun bibirnya tetap bungkam, menahan sebuah isakan pedih.

Ia masih disini. Ruang gelap, sepi, dan asing. Sendiri. Merasakan dinginnya lantai keabu-abuan yang bersentuhan dengan kulit putihnya. Menikmati segala lara yang Ia rasa pada raga dan batinnya.

Park Hana. Merasakan hatinya begitu kosong. Sebuah sudut di dalam sana terasa lebih dingin tanpa penghuni. Bergetar bibirnya menahan isakan yang semakin tak tertahan.

Ia merindukan sosok Park lain dalam hidupnya. Pria jakung dengan sifat keras kepala dan egois itu mampu membuat Hana selemah ini.

Hana memejamkan matanya. Setitik cahaya dalam lorong di depan sana menariknya. Hana bagai tersedot kedalamnya, membiarkan tubuh ringkihnya terasa melayang mengikuti alur yang terus berjalan. Cahaya itu berubah semakin besar sampai menyilaukan mata Hana yang bahkan sudah terpejam.

.



Hana terbangun. Sebuah tubuh bidang menjadi pusat pandangannya pertama kali saat mata sayu itu terbuka. Hana tersadar, apa yang baru saja terjadi hanya sebuah mimpi— mimpi yang sangat buruk tentang papanya. Ia kembali bergidik ngeri membayangkan hal yang terjadi di mimpinya tadi- tentang kehilangan seorang pria paling penting dalam hidupnya.

Tangan Hana bergerak lemah, kembali mengeratkan dekapannya pada tubuh Chanyeol disampingnya. Ia tersentak kecil saat sebuah pergerakan terasa di punggungnya, membelai lembut, menyalurkan rasa nyaman dan tenang. Hana mendongak, menatap wajah tegas itu dari manik coklat gelapnya.

Chanyeol tersenyum tipis, namun lesung di pipinya langsung tercetak jelas. Ia masih nyaman dengan pejaman matanya, mengoptimalkan tenaganya yang sempat hilang beberapa saat lalu. Chanyeol sadar sepenuhnya akan kehadiran Hana di sampingnya, mendekap erat seolah Hana akan kehilangan dirinya jika sedikit saja melepaskan pelukan itu.

"Pa.. papa?"

Chanyeol terkekeh lirih. Rasanya sangat lega saat mengetahui jika Hana lah yang pertama kali Ia lihat saat tersadar. Meski suhu tinggi terasa pada tubuh Hana, tapi Ia memilih untuk berbaring sesak sesakan dengan Chanyeol daripada istirahat di ruang inapnya sendiri. Itu membuat Chanyeol merasakan kembali kemanjaan Hana saat sakit, masih sama persis seperti Hana ketika balita.

"Maafin Papa, ya?" Chanyeol mengeratkan pelukannya pada Hana.

×

Hana menatap tubuh tegap Chanyeol yang masih sibuk membenahi jas hitam resminya. Ia tak habis pikir dengan Papanya itu, bagaimana tidak, baru satu hari setelah sadar dari masa kritisnya itu Ia memaksa untuk langsung terbang ke Paris untuk urusan pekerjaan.

Bukannya meragukan kesehatan fisik Chanyeol, tapi apa tidak masalah jika seperti itu?

Hana masih terdiam diatas ranjang rumah sakit, menatap Papanya yang menolak telak larangannya untuk tidak pergi hari ini. Berkali-kali Hana menjelaskan jika Ia mengkhawatirkan Chanyeol, tapi percuma, Chanyeol tetaplah Chanyeol; keras kepala.

"Kenapa harus hari ini sih, Pa?" Tanya Hana sekali lagi.

Chanyeol mengakhiri kegiatan menata dasinya dan mendekati Hana, "Hari ini perilisan brand outfit Papa disana, jadi ya emang harus"

Hana menghela nafasnya, "Terus, tentang kasus kemarin, udah ketemu pelakunya?"

"Masih di urus sama Kai" Chanyeol meletakan kedua tangannya di bahu Hana, "Kamu nggak perlu mikirin hal itu. Besok kamu udah harus berangkat sekolah, kan? Maaf Papa nggak bisa antar ke Sekolah baru kamu, tapi Papa udah siapin semuanya"

Daddy × Pcy[End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang