Bacanya dengan backsound di atas ya
Jangan lupa vote and coment ^_^
^Happy Reading^
*
*
*
Tak ada pagi yang paling romantis selain pagi ini. Di mana embun dan gerimis bertemu dengan mesra, menandaskan tiap butiran dahaga rindu. Apa kita seperti embun dan gerimis itu? Yang saling tersipu malu. Entahlah, entah seperti apa rupa pertemuan kita nanti. Masihkah seperti dulu? Saat pertama kali takdir mempertemukan kita.
Empat tahun lalu, mulutku keluh. Semua kata seakan tersangkut di tenggorokan. Seketika duniaku meredup. Saat kamu memutuskan untuk membebaskanku. Tepatnya meninggalkanku tanpa janji, komitmen dan ikatan. Kamu benar-benar melepaskanku seutuhnya. Sungguh, gerimis hari itu tidak seromantis gerimis-gerimis milik kemarin, Han.
"Aku ingin melepaskanmu. Membuat perempuan menunggu terlalu lama kurasa itu tidaklah baik. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti. Dan tidak ada yang bisa menjamin, apakah hati kita tak goyah. Jika takdir yang mempertemukan kita, biarkan juga takdir yang menyatukan kita, Kay."
Detik itu di antara banyaknya daun kering yang menggantung pada ranting, hanya selembar daun kering yang terjatuh. Kali ini terasa beda, sangat beda. Tiba-tiba rasa perih yang luar biasa hadir tanpa diundang. Meski luka ini terasa amat sakit, bagaimana mungkin aku bisa bebas darimu, Han. Sedangkan sepotong hati ini sudah terekat padamu? Tidak, Han. Aku mencintaimu seperti embun mencintai pagi.
Sedikit pun hati ini tak menyesal. Tak usah merasa bersalah karena membuatku menunggu lama. Bagiku pertemuan kita merupakan kecelakaan terindah yang pernah terjadi di dalam perjalanan hidupku. Pertemuan kita yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya adalah sebuah kebetulan yang menakjubkan. Ya, kamu benar kita tidak bisa memaksakan jalan ceritanya. Biarlah cerita kita mengalir apa adanya. Bagaimana pun air sungai bernuara ke laut kan?
***
Ketahuilah bahwa rasa ini tidak berubah, masih sebasah embun pagi. Bahkan, titik-titik air yang tergores pada jendela kaca seakan melukiskan perasaan yang teramat lembut, sangat lembut. Tak ada hal yang paling membahagiakan, selain pulang ke rumah sendiri. Setelah waktu bersemayam lama mengajak kita untuk menggembara dan menyusuri tiap jejak, mencari sebuah defenisi dan pemahaman tentang arti kita.
Dan pada akhirnya, kita baru menyadari ternyata ada yang hilang dari jiwa ini, ketika jarak terbentang jauh. Kini kita tahu bahwa diri ini tidaklah utuh dan tidak kan pernah bisa utuh. Aku ingin segera pulang ke rumah –rumah yang selalu mampu mengendapkan sepi sekaligus menciptakan ketenangan yang paling damai. Ya, rumahku itu adalah kamu. Semuanya berpulang ke kamu.
Jarak telah menggugah rindu, terasa bersedu-sedan. Sungguh, kangen kian meronta-ronta, menelusup perlahan-lahan seperti air yang meresap pada tanah, pun seperti angin yang berhembus. Biarlah rasa itu memenjarai batin. Biarkan pula rintihan tetap menggema dalam ruang jiwa. Aku ikhlas, selagi rindu ini masih milikmu.
Perjalanan ini terlalu singkat untuk dinarasikan. Musabab, waktu tak cukup untuk menjelaskan semuanya. Pun tidak dapat dideskripsikan, karena alfabet terasa kurang untuk melukiskan apa yang terjadi. Maka biarkan ia mengalir seperti air. Lantas, nikmati saja tiap cuil kisah yang sejatinya telah diskenariokan oleh Maha Pemilik Hati. Ya, seaneh apa pun kehidupan, sudah sepatutnya kita syukuri. Karena kehidupan itu sendiri merupakan keajaiban. Sama seperti kamu. Kamu merupakan keajaiban aneh, yang tiba-tiba muncul dalam adaku. Tak terbantah lagi, jika kehadiran engkau membuat perjalanan hidupku semakin beriak. Jangan tanyakan kenapa, karena ini tak memiliki alasan.
***
Gerimis belum beralih menjadi hujan. Masih jarum-jarum halus yang jatuh dan membasahi segala sesuatunya. Dinginnya pagi menebus pori-pori. Sungguh, aku cemburu pada romansa gerimis pagi dan tetesan embun. Betapa tidak? mereka menghabiskan waktu yang cukup lama hingga rindu menuai dan mengalir.
"Duh, pamali ah! Anak gadis pagi-pagi kerjaannya melamun aja," ucap ibu menyapa. Tapi, aku masih terpaku dan terjaga mengingat tentangmu. Hingga suara ibu hanya berupa desauan dedaunan.
"Kay!" Sekali lagi suara ibu menyapa. Dan aku tetap diam mendalam.
"Kay!" Untuk kesekian kalinya suara ibu menggema dengan keras. Seketika menghentakan lamunku yang tenang.
"E... iya, Bu. Ada apa?" aku gelagapan. Ya, ampun bagaimana caranya kamu merengkuh sadarku? Sampai-sampai suara ibu terasa seperti bahasa puitis milikmu yang membuatku terhenyu.
"Ke mana saja sih, Kay. Sudah tiga kali ibu memanggilmu. Apa kamu enggak dengar?" tanya ibu agak kesal.
"Ya, sedang bertualang menyusuri jejak kenangan kita lah." Tentu saja bukan kalimat ini yang kuucapkan pada ibu. Cukup hanya hatiku yang berkata dan mendengarnya.
"Ya, enggak ke mana-mana lah, Bu. Dari tadi Kay, ada di sini saja," jawabku mengeles.
"Jasadmu memang dari tadi di sini, tapi jiwanya sudah entah ke mana-mana," ucap ibu protes. "Ya uda, mandi dulu gi sana," perintah ibu. Mungkin ibu pun dapat membaca raut wajahku yang sudah terlihat aneh dan berbeda.
***
Han, hari ini aku mengenakan kemeja warna hijau. Senada dengan jilbabnya. Lihatlah, betapa cantiknya aku bukan? Kamu pernah mengatakan bahwa hijau itu melambangkan kesejukan dan keanggunan. Semoga saja diriku terlihat seperti itu.
Kamu tahu, Han. Inginku sederhana, sangat sederhana. Aku hanya ingin menikmati tiap detik senyuman serta teduhnya kedua bola matamu. Karena senyumanmu yang menenangkan itu, dapat memperbaiki hal yang salah di dalam hidupku. Dan tatapan matamu yang memancarkan sinar, mampu menyinari hidupku yang pekat. Cukup, itu saja! Maka biarkan aku menjelma menjadi daun yang selalu bersemi dihatimu.
Aku bergegas menuju halte. Payung berwarna kuning mengembang bagai kuncup bunga yang baru mekar, melindungiku dari tetesan gerimis. Mengikuti tiap jejak basahnya. Bulir hujan di ujung daun menetes seperti telaga mata air. Ya, sebuah pemandangan yang sering terlewatkan oleh kita. Keindahannya mampu menyusup kedamaian ke landai hati. Jalanan begitu tampak sunyi. Mungkin banyak orang yang memilih untuk tetap bersembunyi di balik selimut, melanjutkan sisa mimpi tadi malam dalam kehangatan.
Meski jejak langkahku terhapus gerimis, namun bayanganmu tetap berkelebat di dalam benakku. Memutar cerita lama tentangmu. Terus-menerus mengikuti arahku. Hugh! Apakah banyak yang berubah dengan dirimu? Entahlah, apa justru aku yang terkejut mengetahui segala perubahanmu itu?
"Assalamualaikum, Kay!" Suara itu berhembus lembut. Terasa akrab di telinga. Getar-getar aneh itu mencuat kembali. Ah, siapa lagi kalau bukan kamu yang mampu menggetarkan perasaan ini. Hari ini kamu tampak serasi mengenakan kaos oblong berwarna hijau-hitam, dibalut jaket hitam.
"Walaikumsalam, Han!" sahutku pelan. Kamu membuka penutup kepalamu. Merapikan rambut yang berantakan dan basah dengan jemari jangkungmu. "Tu, kan. Uda berapa kali kubilangi. Kalau hujan itu, pakai payung," ucapku kesal.
"Hanya gerimis kok, pakai jaket dan topi aja uda cukuplah," ujarmu santai. Kesalku semakin menjadi.
"Apa tadi, Kamu bilang 'hanya'! Justru gerimis itulah yang lebih bahaya daripada hujan deras. Kalo kamu sakit gimana?" Nadaku terasa menahan kemarahan walaupun di ujungnya tersimpan kegetiran dan khawatir yang mendalam.
"Kan ada kamu yang akan jagai," ujarmu dengan santai. Berlagak menggodaku.
Riak tawa kita pun pecah di atas gerimis. Kamu masih yang dulu, tak ada yang berubah. Seperti biasanya, kamu berceloteh menceritakan pengalamanmu selama berada di kota asing itu. Mulai arsitek bangunan tempat kuliahmu yang eksotis. Gedung-gedung yang lebih menjulang tinggi daripada kota kita serta masyarakatnya yang tidak ramah. Sejarah dan budaya yang mereka rawat. Dialog kita sudah melumer ke mana-mana. Tentangku dan tentangmu yang melebur menjadi satu, hingga kita tak sadar waktu sudah mengalir ke ujung petang. Dan basah masih membekas di pohon, dedaunan, pamflet toko, dan di segala tempat. Suasana sangat bening ketika sepotong kalimat yang lama kunantikan itu, bersuara darimu. Kali ini gerimis tidak tersenyum miris.
Dunia KOMA, 2012-2014
KAMU SEDANG MEMBACA
All About Rain
General FictionPilihlah tempat paling hening, lalu bacalah sambil menyeruput secangkir coklat panas. Maka sayup-sayup akan terdengar suara hujan yang sedang bercerita.