Petinya terbakar. Peti mati dengan ukiran bulan di atasnya itu dibakar beserta kastil tua setelah lama teronggok di tempat itu. Sekelompok orang yang membakarnya samasekali tidak berniat membuka peti itu. Katanya peti itu terkutuk. Siapapun yang berani membukanya akan mati pada detik yang sama saat peti itu dibuka. Sayangnya mitos itu benar - benar terjadi--kata mereka yang membakar peti. Mereka menemukan puluhan tengkorak di sekitar benda itu.
Beserta api yang membara, sepasang mata terbuka di dalam peti. Warnanya semerah darah. Selanjutnya, kejadian yang berlangsung cepat. Petinya terbuka dan sosoknya berjalan diantara api yang menjilat-jilat.
-&-
Dalam ruangan seluas 20 × 15 m itu berisi tujuh orang berseragam sekolah, tiga pria berjas hitam, dan seorang pria yang sedang berkacak pinggang mengamati sepuluh orang lainnya. Tidak. Tepatnya mengamati lelaki berseragam yang tampak tidak peduli dengan apapun kecuali tehnya.Pria itu berambut keemasan, dengan panjang mungkin sedada, tubuhnya tinggi tegap, dan parasnya rupawan. Ah, remah-remah keripiknya berjatuhan...kapan anak-anak ini akan pulang? Haah..., batin si pirang--Frankenstein--sambil mengembuskan napas lelah.
"Rai! Ayo kita main board gamenya!" Anak berambut merah dengan plester di hidungnya--Shinwu--berseru. Dia berdiri dan tangannya terkepal antusias. Di sampingnya, anak laki-laki yang lumayan pendek mengiyakan sambil membenarkan kacamatanya. Dia Ikhan.
Anak yang sedang menyesap tehnya itu--Rai--meletakkan cangkir teh di meja lalu menatap kedua temannya tanpa berkata-kata. Tidak ada yang tahu apakah dia tertarik atau tidak. Wajahnya pun datar.
"Uh, Shinwu! Makanlah dengan benar! Remah-remahnya jatuh kemana-mana! Aku kesulitan setiap kali membereskannya." Anak berambut perak, Regis menatap Shinwu tajam. Shinwu memang selalu begitu. Dia mengunyah keripik sambil berbicara bahkan makan ramyeon sambil bercanda.
"Uh.. maafkan aku. Aku yang akan membersihkannya."
"Tidak, ini tugasku. Sudah kubilang berapa kali? Apa kau tidak lelah juga?" Regis menyilangkan tangan di dadanya sambil menggeleng.
"Ayo main board gamenya! Aku sudah tak sabar." Ikhan berseru.
"Tidak, kita tidak bisa main lagi. Ini sudah larut." Yuna, perempuan berambut cokelat melirik jam yang menunjukkan pukul setengah sepuluh. Ah, berapa lama mereka main di rumah Pak Kepsek? Sejam? Dua jam? Mungkin lebih..
Sejak kedatangan Rai di SMA Ye Ran, mereka--Ikhan, Shinwu, Yuna, dan Sui--bermain di rumah kepsek mereka--si pria berambut pirang--setiap hari. Tentu saja mereka bisa melakukannya karena Rai tinggal bersama Pak Kepsek. Pak Kepsek atau Frankenstein bilang Rai adalah kerabatnya. Selain tinggal dengan Rai, di rumah itu dihuni juga oleh 2 siswa lainnya, Seira yaitu gadis berambut perak dengan paras cantik bak boneka dan Regis, lelaki berambut perak dengan kepribadian keras kepala.
Ah, bukan para siswa saja rupanya! Rumah itu juga dihuni 3 penjaga SMA Ye Ran, M-21 yaitu pria dengan bekas luka di wajahnya. Dia cukup pemarah dan sering menjadi lawan debat Regis yang keras kepala. Lalu ada Tao, pria yang sering berpakaian hitam. Rambutnya yang berpotongan ala jamur itu juga berwarna hitam. Lain dengan penghuni rumah itu yang kebanyakan kaku, Tao sangat humoris dan pandai bergaul. Terakhir Takio, pria berambut panjang yang diikat. Dia pria yang cukup serius. Tapi tidak seserius M-21.
Memikirkan penghuni rumah itu, Sui, salah satu anak berseragam itu merasa Seira sangat beruntung. Bukan hal yang perlu diragukan lagi bahwa baik kepsek mereka, Rai, Regis, dan kakak-kakak penjaga sekolah berparas tampan. Apalagi saat memikirkan betapa akrabnya mereka semua. Seperti keluarga sungguhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Noblesse : Consanguine
FanficKetika hubungan darah sudah tidak lagi diperlukan CONSANGUINE