Episode 4

193 13 7
                                    

Mengusap lengannya, Rozelle tampak menggigil kedinginan. Hawa dingin malam sisa - sisa musim dingin membuatnya kedinginan. Sepertinya baju serba tertutup tidak bisa mengalahkannya.

Dengan langkah tak pasti, perempuan itu melangkahkan kedua kaki panjangnya menyusuri trotoar. Toko-toko di kanan kirinya tampak sudah akan tutup. Satu persatu lampunya dimatikan, menyisakan lampu jalan, bulan, dan bintang sebagai sumber cahaya.

Sudah mulai sedikit orang yang berlalu lalang, dari penglihatannya, dia cuma menemukan tiga orang selain dirinya. Perempuan itu kembali memutar otak, berpikir apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Mengepalkan tangan, ternyata memang tidak ada hal lain yang lebih baik selain kembali ke Lukedonia. Di sana, ia bisa hidup nyaman di mansionnya. Tapi di sini mungkin ia harus memanfaatkan kemampuan kendali pikirannya untuk bertahan hidup. Tapi jelas itu bukan hal baik.

Memanfaatkan kendali pikiran untuk bekerja ya?

Batinnya bersuara. Hanya ide itu yang terbersit dalam benaknya sejak siang. Tapi perempuan itu tidak kunjung melaksanakannya karena etika yang dijunjungnya. Perempuan itu diam. Ternyata tidak ada yang lebih mudah dari itu.

Mendadak dua orang pria mendekatinya. Mereka tersenyum aneh. Rozelle yang merasa keduanya aneh hanya mengerutkan dahinya, tidak berniat melakukan apapun kecuali menatap kedua pria itu. "Ayo ikut kami, kita bersenang-senang!"

Rozelle menatap keduanya bingung. Bersenang-senang? Um.. memang apa yang biasa manusia lakukan saat mereka bersenang-senang?

Sepersekian detik kemudian perempuan itu teringat saat - saat sebelum ia tertidur panjang. Benar! Biasanya manusia melakukan pesta! Ball season!

Senyum terkembang di wajahnya, perempuan itu mengangguk, "Ayo!"

Sepertinya perempuan itu mengabaikan perintah untuk tidak pernah percaya pada laki-laki. Apa dia sebegitu putus asanya?

-&-

Memilih penginapan biasa ketimbang hotel rupanya menjadi pilihan Frankenstein. Bukan tanpa alasan tentunya. Tentu saja alasannya adalah Raizel. Raizel yang memintanya langsung. Mengernyit lalu menatap bangunan di hadapannya ngeri, Frankenstein memberi tatapan--apa tuan yakin?--pada Raizel.

Dia heran kenapa tuannya memilih penginapan sederhana (yang sebenarnya penghalusan dari kata 'tidak layak') ketimbang hotel berbintang yang bisa mereka dapatkan--walau Frankenstein tidak yakin bisa mendapatkan hotel dengan mudah di kota kecil semacam ini.

Terlihat sekali bahwa bangunan kecil itu sudah tua. Dindingnya kusam meski lantainya cukup bersih. Di sekelilingnya terdapat pagar besi yang berkarat. Plang namanya pun sudah memudar. Sepertinya penginapan ini sepi pengunjung. Sekali lagi, Frankenstein menatap tuannya ragu.

"Tuan..?"

Raizel melangkahkan kedua kakinya dengan mantap. Dengan berat hati, Frankenstein mengikutinya masuk ke dalam. Mendekati meja yang mereka yakini sebagai meja resepsionis, mereka menemukan seorang wanita dan seorang pria tampak menahan kantuk. Mendapati dua tamu, keduanya segera terbangun.

"Dua kamar." Kata Frankenstein. Keduanya mengangguk, memberi kunci dengan cepat.

"Kamar nomor 1 dan 2." Kata yang pria, tangannya mengarahkan keduanya untuk belok kanan, menunjukan arah kamarnya berada." Sementara si wanita memperhatikan kedua tamu di depannya dengan serius. Keduanya terlihat kaya, tetapi kenapa menginap di tempat seperti ini? Mereka bisa mendapatkan hotel dengan mudah. Dan terlebih--

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 06, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Noblesse : ConsanguineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang